Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Komunikasi Cinta Bentuk Pribadi Berbudi dan Berkarakter

Komunikasi Cinta Bentuk Pribadi Berbudi dan Berkarakter

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (123rf.com/Jasmin Merdan)
Ilustrasi (123rf.com/Jasmin Merdan)

dakwatuna.com – Komunikasi merupakan komponen dasar dari hubungan antar manusia dan meliputi pertukaran informasi, perasaan, pikiran dan perilaku antara dua orang atau lebih, baik dari orang tua kepada anak maupun antar orang tua (pasangan). Tujuan komunikasi adalah untuk pertukaran informasi dan mempengaruhi orang lain.

Pondasi awal dari terciptanya komunikasi yang baik antara orang tua dan anak bukan hanya berkutat pada bagaimana sang anak bisa menerima dan mendengarkan orang tuanya. Namun juga mengenai bagaimana cara anak dalam menyampaikan apa yang ia rasakan. Dengan demikian, maka orang tua bisa memahami anak-anaknya dengan lebih baik.

Komunikasi bisa menjadi cara untuk membangun sebuah ikatan yang kuat antara anak dan orang tua maupun anak dengan lingkungannya. Selain itu, komunikasi juga diharapkan bisa menjadi jembatan untuk mengungkapkan pikiran anak dengan cara yang tepat.

Dalam penelitian terkini menyebutkan bahwa anak yang tumbuh dengan komunikasi positif dengan orang tua cenderung memiliki kepribadian, daya tahan terhadap stress dan self esteem yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang memiliki hubungan komunikasi yang buruk dengan orang tua. Komunikasi yang positif antar orang tua dan anak hendaknya dimulai sejak dini hingga anak berusia dewasa. Karena komunikasi yang baik adalah kunci dari hubungan yang saling menghargai dan terciptanya pribadi anak yang sehat serta terciptanya tumbuh kembang yang optimal.

Sejarawan ternama, Arnold Toynbee, pernah mengungkapkan, “Dari 21 peradaban dunia yang dapat dicatat, 19 hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pembusukan moral dari dalam, karena lemahnya karakter.

Demikianlah, karakter itu amat penting. Karakter lebih tinggi nilainya daripada intelektualitas. Stabilitas kehidupan kita tergantung pada karakter kita, karena karakter membuat orang mampu bertahan, memiliki stamina untuk tetap berjuang, dan sanggup mengatasi ketidakberuntungannya secara bermakna.

“Kesejahteraan sebuah bangsa bermula dari karakter kuat warganya”. Pernyataan ini disampaikan oleh cendikiawan Republik Roma, Marcus Tulius Cicero (106-43 SM). Kita ketahui, bangsa-bangsa yang memiliki karakter tangguh lazimnya tumbuh berkembang makin maju dan sejahtera. Contoh terkini antara lain India, Cina, Brazil dan Rusia. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang lemah karakter umumnya justru kian terpuruk, misalnya, Yunani kontemporer serta sejumlah negara di Afrika dan Asia. Mereka menjadi bangsa yang nyaris tak punya kontribusi bermakna pada kemajuan dunia, bahkan menjadi negara gagal.

Seperti apakah gambaran orang yang memiliki karakter tangguh? Mereka adalah siapa saja yang memiliki karakter yang baik (good character). Cirinya, mereka tahu hal yang baik (knowing the good), menginginkan hal yang baik (desiring the good) dan melakukan hal yang baik (doing the good). Karakter tampak dalam kebiasaan (habitus). Karena itu, seseorang dikatakan berkarakter baik manakala dalam kehidupan nyata sehari-hari memiliki tiga kebiasaan, yaitu: memikirkan hal yang baik (habits of mind), menginginkan hal yang baik (habits of heart) dan melakukan hal yang baik (habits of action).

Kondisi dan fakta kemerosotan karakter dan moral yang terjadi menegaskan bahwa guru yang mengajar mata pelajaran apapun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan karakter pada peserta didik. Harus diakui bahwa secara faktual lembaga pendidikan di Indonesia masih lebih berorientasi kepada kecerdasan kognitif daripada afektif sehingga pembentukan karakter seolah menjadi sesuatu yang tidak menyatu dengan transformasi ilmu, kecurangan-kecurangan yang terjadi di dalam lingkup dunia pendidikan baik sekolah, madrasah maupun perguruan tinggi, baik itu berupa mencontek ketika ujian, mencuri soal UAN, plagiasi, memberi nilai, bahkan membeli gelar. Semuanya menjadi indikator dari belum berhasilnya pelaksanaan program pendidikan karakter oleh para pengelola bidang pendidikan. Belum lagi kebobrokan moral yang terjadi di dalam masyarakat luas, baik yang dilakukan oleh konglomerat, pejabat birokrat ataupun sekedar rakyat yang hidup melarat, yang mereka semua adalah produk-produk pendidikan.

Sejalan dengan perubahan yang begitu cepat, pemikiran tentang pendidikan karakter kini sudah menjadi suatu keharusan. Melihat masalah- masalah moral yang muncul, mulai dari masalah ketamakan dan ketidakjujuran hingga kekerasan dan pengabaian diri seperti penyalahgunaan narkoba.

Sejak 20 tahun yang lalu, Thomas Lickona seorang Tokoh Pendidikan Karakter Amerika merumuskan 10 penyebab degradasi (penurunan) moral tanda hancurnya sebuah bangsa sebagai akibat dari lemahnya karakter : meningkatnya kekerasan remaja, penggunaan kata-kata yang tidak semestinya, pengaruh peer group (genk/kelompok-kelompok) yang kuat, meningkatnya penggunaan narkoba-alkohol & seks bebas, kaburnya batasan moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu, membudayanya ketidakjujuran (budaya nyontek/kecurangan) serta adanya kebencian dan kecurigaan antar sesama.

Rusaknya suatu bangsa ditandai dengan rusaknya moral generasi. Tidak dapat kita pungkiri, keseluruhan yang menjadi rumusan tokoh pendidikan karakter di atas adalah hal yang kini sudah marak terjadi di negeri Garuda, Indonesia. Sebenarnya banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya kemerosotan akhlak pada anak-anak kita zaman sekarang ini. Selain karena mereka terlahir di zaman digital, tuntutan orang tua yang semata mengutamakan kepintaran akal sehingga mengabaikan kepintaran hati pun bisa jadi penyebab utamanya. Seperti yang kita saksikan sekarang ini begitu ramai lembaga-lembaga pendidikan non-formal menyajikan berbagai bidang kursus (private class). Di mana oleh orang tua, anak-anaknya dituntut untuk kursus ini-itu, private ini-itu, sehingga 24 jam anak full dengan mengejar targetan-targetan diluar kemampuan mereka yang tanpa kita sadari, keseluruhan target-target tersebut bukanlah target anak, melainkan targetan orang tua mereka. Kasihan.

Faktor lain yang menjadi penyebab degradasi (penurunan) karakter pada generasi masa kini ialah kesalahan ataupun ketidakmampuan orang tua dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak-anaknya. Hal yang perlu kita sadari adalah bahwa setiap manusia memiliki ‘tangki cinta’. Apabila tangki cinta itu penuh, maka segala sesutaunya akan berjalan dengan baik. Namun, apabila tangki cinta itu kosong, seorang individu akan menjadi pribadi yang penuh kebencian, kecurigaan, frustasi dan merasa tidak dicintai. Dapat kita bayangkan apabila tangki cinta kedua orang tua itu kosong, akan menyebabkan tangki cinta anak menjadi tidak terisi karena tidak terciptanya komunikasi positif antar mereka. Hal ini akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kejiwaan anak. Anak akan menjadi pribadi yang rapuh, sensitif, sentiment, kacau dan terhambat pergaulannya.

Terutama bagi anak ‘born digital’. Masalah kejiwaan yang timbul akibat tidak terisinya tangki cinta anak dari orang tua mereka, menjadikan mereka mencari cinta di dunia lain (dunia maya). Sehingga, ada ataupun tidaknya orang tua, tidak lagi menjadi kebutuhan mereka.

Hal yang dapat kita lakukan untuk dapat mengisi tangki cinta yang kosong tersebut adalah dengan membangun komunikasi cinta; baik antara orang tua dengan anak maupun antar orang tua itu sendiri (Ayah-Bunda), dengan cara mengenali terlebih dahulu bahasa cinta apa yang dibutuhkan sehingga mereka merasa dicintai.

Ada 5 bahasa cinta untuk mengisi tangki cinta tersebut. Pertama, Dilayani. Seseorang akan merasa dicintai apabila ia diperhatikan, dilayani kebutuhannya, ditemani. Kedua, Saat-saat Kebersamaan/Berkesan. Seseorang akan merasa dicintai apabila diperlakukan istimewa dengan diajak travelling, kumpul-kumpul, jalan-jalan, atau kegiatan kebersamaan lainnya. Ketiga, Diberi Hadiah. Ada lagi individu akan merasa dicintai ketika ia diberi hadiah di hari-hari spesialnya, ulang tahun, hari perpisahan, hari wisuda ataupun tanpa hari special, apabila diberi hadiah, seorang individu akan merasa sangat bahagia dan tersanjung. Keempat, Sentuhan fisik. Bahasa cinta ini khususnya bagi anak tipe kinestetik, yang menjadikan gerak tubuh sebagai fokus utama. Seseorang dengan bahasa cinta sentuhan fisik ini misalnya dengan disentuh, dibelai, digenggam tanggannya atau dipeluk. Kelima, Kalimat-kalimat pendukung. Seseorang  dengan tipe ini sangat sensitive dengan celaan, ledekan atau buli-an. Berbicara sedikit tentang bulli, pakar psikolog mengelompokkan kalimat bullion menjadi 3 jenis; 1. Bully Fisik. Misalnya, tendangan, cubitan, tamparan; 2. Bully Verbal (dengan kata-kata). Misalnya, ejekan, celaan, panggilan jelek, kata-kata yang buruk; 3. Bully secara Psikologis/Mental. Misalnya, pengucilan secara tidak langsung, efek dari ‘peer group/genk’.

Kelima bahasa cinta di atas adalah hal yang harus didapatkan oleh seorang individu agar ia merasa berarti dan dicintai, dan apabila tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana yang mereka butuhkan, akan membuat jiwanya menjadi rapuh, murung, frustasi dan hilang motivasi dalam pertahanan diri.

Hal yang harus kita ingat dan menjadi perhatian kita dalam membangun peradaban yang penuh cinta adalah dengan mengenali bahasa cinta orang-orang di sekitar kita dan berupaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebab, hanya ada 2 kemungkinan bagi orang yang kesulitan untuk mengenali bahasa cinta diri pribadinya; tangki cintanya selalu terisi penuh atau tangki cintanya sudah lama kosong sehingga lupa bagaimana rasanya dicintai. Hati-hati. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang pengembara jalan kebenaran, jalan yang Allah ridhai yaitu jalanNya yang lurus.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization