Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kritik Terhadap Studi Al-Quran Hadits Fazlur Rahman

Kritik Terhadap Studi Al-Quran Hadits Fazlur Rahman

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (pusatbikinpin.com)
Ilustrasi. (pusatbikinpin.com)

dakwatuna.com – Fazlur Rahman (1332 H/1919 M–1408 H/1988 M), dikenal sebagai salah seorang tokoh intelektual Islam modern sebagai tokoh utama neo-modernisme, yaitu aliran pemikiran dalam Islam yang mencoba melihat secara kritis tradisi pemikiran Islam dan wacana keilmuan Barat, namun sekaligus tetap apresiatif terhadap warisan pemikiran Islam sendiri. Pemikiran Rahman dimulai dari hasil riset historisnya bahwa sejak penghujung abad pertama hijriyah, kaum muslimin telah mengembangkan suatu sikap yang kaku dengan pendekatan-pendekatan a-historis (tidak mengikuti zaman) dan literalis (kaku) dalam memahami kedua sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi. Dalam konteks ini, Fazlur Rahman hadir dengan tawaran pemikiran dan rumusan metodologi bagaimana Al-Quran sebaiknya dipahami sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selalu aktual dan relevan dengan isu-isu dan problem yang dihadapi umat Islam.

Pandangan Fazlur Rahman tentang Tuhan

Fazlur Rahman melihat pentingnya rumusan pandangan dunia (worldview) yang menyeluruh dan utuh sebagai landasan filosofis bagi metodologinya. Konsep Tuhan seperti dinyatakan di dalam Al-Quran bagi Fazlur Rahman pada dasarnya semata-mata adalah fungsional, yakni Tuhan dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan.[i]

Gagasan Fazlur Rahman tentang Tuhan yang kemudian mewarnai berbagai pandangannya yang lain. Dalam pandangannya, Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dan alam raya ini. Tuhan telah menjadikan alam dengan seperangkat aturannya yang dia sebut dengan istilah qadar. Qadar baginya bukanlah seperti apa yang dipahami oleh mayoritas para teolog (mutakallimun) sebagai ketentuan yang deterministik, mengikat serta membatasi kebebasan manusia, melainkan segala ketentuan yang ada pada alam ini, terutama benda-benda fisik. Qadar itulah yang memberikan karakteristik dan sifat khusus padanya.[ii]

Selain itu, sudah merupakan anggapan umum bahwa Tuhan dalam Islam adalah transenden secara mutlak, hal ini terbukti dengan adanya penekanan tegas yang diberikan Islam terhadap pengesaan Tuhan, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan lain-lain. Akan tetapi, lanjut Fazlur Rahman, gambaran semacam ini tidak muncul dari Al-Quran, melainkan dari perkembangan teologi Islam belakangan.[iii] Bagi Rahman, Tuhan itu imanen (membumi), namun tentu saja imanensi Tuhan ini sedikit pun tidak berarti perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh alam atau manusia secara nyata dilakukan oleh Tuhan. Tuhan bukanlah saingan atau pengganti bagi manusia atau agen-agen alam dalam menghasilkan efek-efek, dan Dia tidak pula campur tangan dalam proses kerja mereka.[iv]

Dari beberapa pandangan Fazlur Rahman di atas tentang Tuhan dan manusia, terlihat bahwa ia menerima “Tuhan fungsional” dan menolak “Tuhan personal”. Dengan kata lain, Tuhan diterima keberadaannya jika ia berguna, bagaimanapun rupa dan bentuk Tuhan yang disembah. Hal ini jelas ingin menggiring pemahaman kepada pluralisme agama. Yang keliru lagi bahwa Al-Quran hanya menjelaskan Tuhan secara fungsional, tidak menyebutkan tentang pengenalan Tuhan terhadap diri-Nya dan sifat-sifat-Nya. Padahal, dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menunjukkan tentang “diri” Tuhan dan sifat-sifat-Nya, serta menolak keras pemahaman tentang diri-Nya yang menyimpang serta mengecapkan sebagai kafir dan tidak.

Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. (1) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (2) Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, (3) Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (4)” (QS. Al-Ikhlash: 1-5); “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam.” (QS. Al-Maidah: 17); “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa.” (QS. Al-Maidah: 73); “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)

Dapatkah Fazlur Rahman menolak fakta adanya ayat-ayat di atas? Di mana letak keilmuan Fazlur Rahman terhadap Al-Quran?

Darimana pula ia menuduh bahwa transendensi Tuhan bukan dari Al-Quran namun berasal dari pemahaman teologi Islam belakangan? Padahal, ayat-ayat yang telah disebutkan di atas sudah menjadi cukup bukti kesalahan fatal pemahamannya tersebut.

Selain itu, pemaknaan Fazlur Rahman tentang Qadar di atas juga menyimpang dari pemahaman umat Islam. Hal ini karena ia terpengaruh dengan pemikiran usang Mu’tazilah dan sekularisme, terlihat dari pernyataannya di atas, bahwa “Tuhan tidak campur tangan dalam proses kerja manusia dan alam semesta.” Padahal dalam Al-Quran telah dijelaskan: “Tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 102); “Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” (QS. Al-Ra’d: 16; Az-Zumar: 62; Ghafir: 62); “Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut Qadar (ukuran).” (QS. Al-Qamar: 49)

Menurut akidah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, Allah telah menetapkan segala sesuatu pada zaman azali (Qadla) lalu mewujudkannya sesuai ukuran yang telah ditetapkannya (Qadar). Islam menolak pemahaman Mu’tazilah tentang kekuatan mandiri alam semesta tanpa campur tangan Tuhan karena hal ini menyimpang dari Al-Quran dan Hadits. Lalu, bagaimana pemikiran yang telah dikelirukan para ulama Islam selama berabad-abad dahulu dipakai kembali oleh Fazlur Rahman? Masihkah dapat diakui otoritasnya sebagai intelektual Muslim tersohor, apalagi ia berani mencetuskan penafsiran baru bagi Al-Quran?

Dasar Pemikiran Fazlur Rahman tentang Al-Quran

Fazlur Rahman mengidealkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat keadilan, kesejahteraan, kedamaian, serta perilaku masyarakat yang dilandasi nilai-nilai moral yang tinggi, dalam hal ini nilai-nilai tauhid sebagaimana ditunjukkan Al-Quran. Baginya, nilai-nilai universal yang menjadi pesan Al-Quran itu hendaknya menjadi acuan dan basis etis sebuah masyarakat. Selain itu, banyak ayat Al-Quran yang senada dengan semangat persatuan, egalitarianisme, dan keadilan sosial. Hal ini mengandaikan Islam menerima—sekalipun secara rinci tidak dijelaskan—gagasan dan ide demokrasi. Ide demokrasi ini pun telah diisyaratkan (implied) Al-Quran. Sebagai indikator misalnya, beberapa ayat menyebut tentang musyawarah (syura), perintah berlaku adil terhadap siapa saja, bahkan terhadap musuh atau orang yang sangat kita benci sekalipun.

Makna universalitas yang ditafsirkan Fazlur Rahman, nampak berbeda dengan golongan muslim tradisionalis ketika memandang Islam yang universal itu. Muslim tradisionalis selalu merujuk kepada apa yang telah dilakukan Nabi dan para sahabatnya ketika berada di Madinah, yakni dalam bentuk seperangkat aturan formalistik. Artinya apa yang telah dipraktikkan Nabi dan para sahabat pada zamannya dicoba diterapkan pada masa kini dengan, seringkali, tanpa kompromi. Makna universal di sini bagi Fazlur Rahman tidaklah demikian adanya. Baginya, makna universal dalam Islam harus disesuaikan dengan kondisi di mana konsep dan gagasan itu hendak diterapkan. Fazlur Rahman tampak yakin betul bahwa makna Al-Quran tidaklah dapat diambil atau diwujudkan dengan cara yang pertama tadi. Jadi bagi Fazlur Rahman -karena pengaruh dari metodologi historisnya- semangat Al-Quran itulah yang terpenting.

Dari sinilah maka Fazlur Rahman membuka gagasan perlunya metodologi baru dalam memahami teks Al-Quran dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Quran, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965). Cara penafsiran baru inilah yang diklaim Rahman sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “the correct method of Interpretating The Qur’an”.[v]

Dalam kajian historisnya ini, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi s.a.w. dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi s.a.w. yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Fazlur Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal Nabi s.a.w. di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum Muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain.

Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadits secara besar-besaran menggantikan proses sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakatan-kesepakatan masa lampau. Puncak dari proses reifikasi (proses pembendaan, pembakuan) ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.

Dari hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur Rahman mengkritik doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.[vi]

Fazlur Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Quran yang merupakan elan-vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah Islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai.

Karena itu, tujuan metodologi tafsir bagi Fazlur Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal Al-Quran yang objektif itu, dengan cara membiarkan Al-Quran berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Fazlur Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan formal Qur’an. Untuk inilah Fazlur Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Quran. (Islamic Methodology in History, hlm. 130)

Dari pernyataan Fazlur Rahman di atas, tentu kita mengapresiasi dan mengakui universalitas nilai-nilai Syari’ah Islam (maqashid al-Syari’ah) terdapat dalam Al-Quran seperti yang dia katakan. Namun Al-Quran juga menjelaskan bahwa hukum-hukum formal yang terdapat di dalamnya juga bersifat statis, sempurna, universal, berlaku lintas zaman, serta tidak dapat mengalami perubahan. Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari Ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3); “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7); “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 115)

Fazlur Rahman mengaku sebagai tokoh intelektual Muslim yang kritis dengan westernisasi Barat sekaligus terhadap khazanah keilmuan Islam sendiri. Namun kenyataannya ia tetap terjebak dalam apologia Barat tentang kemajuan sehingga menjadikannya begitu semangat memikirkan penafsiran baru terhadap Al-Quran dan Hadits supaya dapat sesuai dengan nilai-nilai modern. Ia melakukannya melalui pendekatan historis penubuhan hukum Islam yang terjadi di generasi awal Islam (Rasulullah, Shahabat, Tabi’in). Namun, ada beberapa masalah dalam pendapatnya. Bagaimana ia menyamakan antara perilaku Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam dan perilaku para Shahabat sebagai Sunnah, kemudian membedakan antar keduanya sebagai “sunnah ideal” dan “sunnah hidup”? Sunnah adalah segala ucapan, perilaku, pengakuan, dan sifat yang ada pada Rasulullah saja, tidak memasukkan perilaku atau ijma’ para Shahabat.

Tentang penerimaannya terhadap proses penubuhan hukum melalui fase sunnah-ijtihad-ijma’ dan menolak fase sunnah-ijma’-ijtihad, maka perlu ditegaskan dahulu beberapa hal. Pertama, kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Quran telah menjadi ijma’ umat Islam. Kedua, hal-hal yang dipastikan hukumnya oleh Sunnah menjadi ijma’ kaum Muslimin dan tidak berlaku ijtihad di sana karena hukumnya qath’iyy al-tsubut (permanen, statis). Ketiga, ijtihad baru dilakukan oleh para ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, dan setelahnya ketika ada permasalahan yang tidak dijelaskan oleh Al-Quran dan Sunnah.

Dari beberapa hal di atas, maka disimpulkan bahwa kedudukan ijma’ secara historis wujud terlebih dahulu daripada ijtihad. Pembalikan kedudukan menjadi ijtihad-ijma’ oleh Fazlur Rahman terbukti tidak sesuai fakta sejarah generasi awal Islam. Selain itu, bagaimana pula ia menyalahkan gerakan penulisan Hadits oleh para ulama sebagai “biang keladi” tertutupnya pintu ijtihad? Darimana juga ia mengatakan pintu ijtihad telah tertutup pada abad 4 Hijriyah atau 10 Masehi? Para ulama tidak pernah mengatakan ijtihad telah tertutup, ijtihad tetap terbuka bagi siapapun yang telah mencapai kualifikasi yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab Fiqh.

Akan tetapi, jika Fazlur Rahman akhirnya menolak kualifikasi ijtihad menjadi ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab, lalu solusi apa yang dia tawarkan? Jika ia mengatakan ijtihad bersifat demokratis dan terbuka untuk semua orang, maka apakah ijtihad boleh diserahkan kepada pemabuk, pezina, dan kaum ateis? “Demokratisasi ijtihad” malah membuka pintu pengrusakan hukum Islam karena menyerahkan urusan kepada selain ahlinya. Selain itu, secara historis tidak semua shahabat melakukan ijtihad. Ibn Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in menyatakan bahwa shahabat yang ahli ijtihad hanya 130 saja.

Tentang kasus ijtihad Umar bin Khaththab, maka harus dipahami bahwa beliau pernah menafikan hukum potong tangan dalam suatu kasus seorang pencuri karena dua alasan. Pertama, pada waktu itu sedang terjadi krisis pangan sehingga pencuri tersebut melakukannya dalam keadaat darurat. Kedua, posisinya sebagai kepala negara (khalifah) mempertimbangkan nasib rakyatnya yang kelaparan. Jadi kebijakan khalifah Umar ini terjadi hanya dalam kasus tertentu di mana harta rakyat pada waktu itu berada dalam posisi syubhat (semu), sehingga hukum potong tangan tidak bisa dijalankan karena terbentur kaidah al-hudud tasquthu bi al-syubuhat (pidana had gugur karena syubhat). Jadi shahabat Umar tidak keluar dari hukum tekstual Al-Quran, sehingga keliru jika Fazlur Rahman menjadikannya sebagai justifikasi untuk meninggalkan hukum-hukum formal Al-Quran.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Fazlur Rahman berusaha meninggalkan tekstual Al-Quran dan hanya mengambil intisari makna yang sesuai dengan proyek penafsiran barunya terhadap Al-Quran. Hal ini tidaklah berguna bagi Islam, karena dari proyeknya itulah lalu bermunculan orang-orang yang berani menggugat hukum Al-Quran dan Hadits yang sebenarnya tidak memberikan kontribusi apapun terhadap kemajuan Islam bahkan malah merusaknya dari dalam.

Menelaah Teori Tafsir “Double Movement” Fazlur Rahman

Dalam mengkaji pemikiran Fazlur Rahman, kita perlu mengetahui metode pendekatan yang digunakan dalam menulis karya-karyanya. Fazlur Rahman, sering menyebutkan dua istilah metodik dalam buku-bukunya yaitu Historico critical method dan Hermeneutic method. Menurut Fazlur Rahman, kedua metode ilmiah ”critical history” dan Hermeneutic, merupakan dua buah metode yang berkaitan erat. Metode ”critical history” berfungsi sebagai upaya dekonstruksi metodologi, sedangkan metode Hermeneutic difungsikan sebagai upaya rekonstruksinya.[vii] Sementara dalam kajian normatif (penerapan metode Hermeneutic dalam menafsirkan Al-Quran), Fazlur Rahman menggunakan metode sosio-historis sebagai alat bantu dalam menentukan konteks sosial yang terkait.

Karena itu, Fazlur Rahman menyadari kurangnya perspektif kesejarahan dalam kecendekiawan Muslim yang pada gilirannya menyebabkan minimnya kajian-kajian historis Islam. Menurut Fazlur Rahman, umat Islam memerlukan kajian sejarah agar mereka dapat menimbang lebih lanjut nilai-nilai perkembangan historis tersebut untuk bisa melakukan rekonstruksi disiplin-disiplin Islam untuk masa depan. Sehubungan dengan ini, Fazlur Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu: Islam Normatif dan Islam Historis.

Fazlur Rahman sebenarnya telah merintis rumusannya tentang metodologi sejak dia tinggal di Pakistan (dekade 60-an). Namun rumusan metodologinya ini secara sistematis dan komprehensif baru diselesaikannya ketika dia telah menetap di Chicago. Metodologi yang ditawarkannya ini, yang dia sebut sebagai “double movement”, merupakan kombinasi pola penalaran induksi dan deduksi; pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum kepada yang khusus.

Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Quran, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Quran muncul. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri.

Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan prioritas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Quran akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial mutlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja ahli etika.

Fazlur Rahman yakin bahwa dengan penerapan teori “double movement”nya ini di dalam penafsiran teks, ijtihad dapat dihidupkan kembali. Apabila hal ini dapat dilakukan, pesan-pesan Al-Quran dapat ‘hidup’ dan menjadi efektif sekali lagi. Gerakan ganda seperti yang dikemukan oleh Fazlur Rahman dianggap strategis dalam upaya mengaitkan kerelevanan teks Al-Quran pada konteks kekinian, terutama untuk merumuskan kembali hukum dari Al-Quran.

Setelah membaca secara ringkas konsep “tafsir double movement” Fazlur Rahman, terlihat bahwa dia berusaha untuk menangkap kembali makna-makna universal (maqashid al-syari’ah) yang terdapat dalam Al-Quran karena dia meyakini bahwa Al-Quran akan selalu relevan sepanjang zaman. Akan tetapi, ia telah keliru dengan mengarahkan dekonstruksinya terhadap keseluruhan ayat Al-Quran sehingga semua hukum formal di dalamnya berpotensi dan dapat diubah-ganti sesuai perkembangan zaman. Bentuk penafsiran seperti tidak pernah dilakukan oleh ulama tafsir manapun, bahkan dalam tataran akidah hal ini tidak boleh dilakukan karena dapat merombak semua hukum Al-Quran hingga yang bersifat qath’i (pasti).

Dampak dari penafsiran ala Fazlur Rahman ini, dapat dilihat dari pernyataan para aktivis liberal yang menggunakan teori dekonstruksi yang sama untuk menemukan makna-makna dalam Al-Quran, seperti bahwa ayat Hudud (cambuk, potong, jilbab, ayat kawin beda agama, ayat kewarisan, dan sejenisnya adalah ayat yang bersifat partikular, tidak universal dan kekal. Ayat-ayat ini berlaku tentatif dan temporer karena hanya cocok dengan kondisi bangsa Arab abad ke-7 M, dan kini sudah irrelevan dan ahistoris.[viii]

Maka sewajarnya kita memahami konsep maqashid syari’ah ini dan menerapkannya sesuai dengan kerangka berfikir (framework) ulama salaf yang melahirkannya, bukan malah keliru membacanya sesuai kaum liberalis yang sudah jauh menyimpang, rancu, dan bias terhadap konsep ini. Imam Syathibi sebagai “Bapak Maqashid Syari’ah” tidak keluar atau merevolusi sistem dan kerangka ushul fiqh bayani ala salaf yang dibangun oleh Imam Syafi’i, sebab ia selalu menekankan dimensi bahasa/redaksi Arab sebagai titik tolak memahami maqashid. Imam Syathibi berkata, “Akal itu tidak independen sama sekali dan bukan tanpa dasar/asas yang kuat. Tetapi akal itu harus berdiri di atas fondasi kuat yang disepakati/ditaati secara absolut. Dan tak lain fondasi yang absolut itu adalah wahyu/naqli.”[ix]

“Orang yang ahli Al-Quran dalam menggali dan mencari dalil darinya, harus menempuh metode orang Arab dalam menetapkan makna redaksionalnya dan kecenderungannya dalam jenis-jenis pembicaraannya. Terlebih, banyak orang yang mengambil dalil-dalil Al-Quran hanya sebatas apa yang diberikan akal, dan bukan dalam batasan apa yang difahami dari metode peletakan asal makna dalam bahasa Arab. Inilah pangkal kerusakan yang besar dan mengingkari maksud/tujuan Syari’ah.”[x]

“Jika dalam Syari’ah ada kaidah umum dalam soal primer, sekunder, atau tersier, maka tidak bisa dianulir oleh dalil-dalil partikular. Demikian pula, kaidah umum Syari’ah atau partikularitasnya harus sama-sama dipelihara. Sebagai bentuk partikular itupun diinginkan dalam rangka menegakkan dalil kulli, supaya dalil kulli tidak tertinggal yang menyebabkan kemaslahatan yang diinginkan menjadi hilang. Maka harus ada kebenaran maqashid untuk menghasilkan dalil-dalil partikular. Sebagian soal itu tidak lebih utama dari sebagian lainnya, sehingga tujuan Syari’ah dapat diperoleh semuanya. Itulah yang hendak dicari.”[xi]

Kesimpulan

Metodologi baru yang ditawarkan Fazlur Rahman untuk menafsirkan Al-Quran berangkat dari upaya untuk mendekonstruksi (merombak) hukum Islam dan merekonstruksinya kembali sejajar dengan kehidupan modern. Meskipun dia mengaku kritis terhadap Barat, namun mindset berfikirnya masih terjebak dalam ‘saran-saran’ Barat untuk merubah hukum formal Al-Quran. Jika teori tafsir “double movement” Fazlur Rahman ini diterapkan, maka dampaknya akan semakin menjamurnya kalangan yang berani merombak hukum Al-Quran dan Hadits seenaknya mengikuti hawa nafsu dengan alasan reaktualisasi (penyesuaian) makna-makna universal Al-Quran untuk mendukung nilai-nilai modern. Langkah penyesuaian hukum Islam dengan tuntutan zaman memang selalu diperlukan, namun bukan berarti upaya tersebut ujung-ujungnya merusak hukum formal qath’i yang sudah ada dan harus diamalkan secara ta’abbudi (dogmatis). Ingatlah, umat Islam tidak hanya harus diupayakan berjaya di dunia, namun yang lebih penting adalah keselamatan manusia di akhirat nanti dengan mematuhi hukum-hukum Allah Ta’ala. Wallahu A’lam bi al-shawab.

Daftar Referensi

Al-Quran al-Karim

Al-Syathibi, al-I’tisham, shamela ishdar 3.15.

Al-Syathibi, al-Muwafaqat, shamela ishdar 3.15.

Fazlur Rahman, 1980, Major Themes of Qur’an, Minneapolis: Bibliotheca Islamica.

Fazlur Rahman, 1993, Tema-tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.

Fazlur Rahman, 1994, Islamic Methodology in History, Delhi: Adam Publisher and Distributors.

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas.

Ulil Abshar Abdalla Cs, Metodologi Studi Al-Quran.

[i] Fazlur Rahman, Major Themes of Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica), 1980, hlm. 93.

[ii] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 70.

[iii] Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 70.

[iv]  Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka), 1993, hlm.  26.

[v] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher and Distributors), 1994.

[vi] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 5.

[vii] Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 6.

[viii] Lihat: Ulil Abshar Abdalla Cs, Metodologi Studi Al-Quran, hlm. 136.

[ix] Al-Syathibi, al-I’tisham, juz 1 hlm. 45.

[x] Al-Syathibi, al-Muwafaqat, juz 1 hlm. 41.

[xi] Al-Muwafaqat, juz 1 hlm. 371-373.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis lahir di Pati tahun 1991. Belajar di MI, MTs, dan MA Darul Falah Sirahan Cluwak Pati hingga tahun 2009. Aktif dalam menulis di berbagai media Islam lokal pondok pesantren dan meneliti berbagai pemikiran Islam.

Lihat Juga

Perlunya Belajar Tafsir Al-Qur’an Bagi Setiap Muslim

Figure
Organization