Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Kami Saudaramu Juga

Kami Saudaramu Juga

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (vivirconemociones.blogspot.co.id)
Ilustrasi. (vivirconemociones.blogspot.co.id)

dakwatuna.com – “Jika ingin tahu luasnya Indonesia, naiklah kapal dan arungi samudra, maka kalian akan tahu betapa luas tanah air kalian” seru bu guru bersemangat.

“Tanah air kalian membentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote, kalian tidak boleh mengatakan bahwa aku orang Jawa, aku orang Sunda, aku orang Bugis ataupun aku orang melayu, maupun suku lainnya tapi katakan aku orang Indonesia, tanah lahir kita membentang luas anak-anak” lanjut bu guru sembari menunjuki peta yang terpasang di papan tulis.

Pelajaran IPS selalu menarik bukan hanya karena diketahui banyak hal yang ada di luar bangku kami sekolah. Dalam pada itu semua bisa mengkhayalkan seperti angan seorang anak tentang penjelasan ibu guru. Tidak ada yang pernah tahu seperti apa samudra Indonesia, seperti apa suku-suku yang mendiaminya sampai dibuktikannya sendiri kelak kemudian nanti ilmu tidak pernah cukup hanya dipelajari dibangku. Selayaknya murid, semua anak percaya bahwa negeri yang bernama Indonesia memang luas membentang, hanya beberapa yang ditahu seperti apa negeri yang sejak lahir telah didiami tak lebih selain dari apa yang pernah diceritakan paling jelas seperti yang pernah dilihat di acara televisi tapi itu tidak pernah dapat mengurangi antusias para murid Andi hanya salah satu dari seluruh murid yang terhipnotis oleh cerita Bu guru, dan tak dinyana kata-kata itu kembali meruak saat perjalanan menuju salah satu kota di Indonesia timur, Makassar, kata yang didengar saat sekolah dasar. Kata Bu guru yang paling terkenang saat berada di lautan seperti ini, saat tiada lagi yang dapat dilihat lain dari pada luasnya lautan, sepanjang mata memandang hanya akan terlihat luasnya samudra, dan setelah mengarungi satu hari penuh dengan kapal pun, wilayahnya akan masih sama, Indonesia. di tempat Andi berdiri tiada lagi kawan selain siapapun yang turut naik kapal dengan enam dek itu. Sesekali kapal bergetar menerjang ombak, mengingatkan para penumpang mereka masih berada di tengah lautan.  Hujan baru saja reda saat Andi melamunkan masa kecilnya. Dingin angin berembus, masih bercampur dengan rinai hujan yang mereda, hanya sedikit yang berada di luar memandangi lautan, banyak penumpang asyik di dalam, menikmati hangatnya udara sembari menyaksikan siaran televisi di dalam dek kapal.

“Kopi bang?”

Seorang laki-laki mendekat dengan segelas kopi ditangan.

“Makasih mas” diterima secangkir kopi yang ternyata satu satunya.

“Ndak apa mas, sama-sama, mau ke mana mas?”

“Ke Makassar bang” sambil menyeruput kopi, berbagi, segera gelas kopi berputar dari satu tangan ke tangan yang lainnya.

“Abang mau ke mana?”

“Saya lebih jauh mas, Ternate”.

“Katanya dulu Ternate kaya yah mas”.

“Bukan lagi kaya mas, tapi sangat kaya, dahulu kepulauan di sana kaya akan rempah-rempah dan banyak diperdagangkan, tapi kini sudah beda mas, rempah tidak hanya dari Ternate bukan?”

“Iya mas, sekarang petani bebas mau bertanam apa di tanahnya”.

Sembari menyeruput secangkir kopi hangat yang masih mengepul, kopi secangkir berdua, sebagai tanda pengakraban, setelah beberapa di Kalimantan Andi terbiasa juga untuk sekedar menjamah tiap makanan yang di tawarkan. Meskipun kopi akan membuatnya mual jika belum sarapan. Seperti halnya dengan sungkan Andi dengan tawaran kopi yang akan sebabkan Andi mual, kebanyakan penghuni kapal akan menelan pil pahit juga karena kesungkanan, akibat dari keengganan mengingatkan seperti keengganan untuk mengingatkan, alhasil semua saling tidak mengingatkan jadi tidak peduli, saat menjadi perokok di dalam kapal menjadi semakin panas suasana dalam kapal, belum lagi soal sampah dan tidur semua seolah menarik diri mengingatkan sekedar menjadi alasan agar tidak terjadi keributan. Di dalam dek kapal hangat namun juga lebih tepat dibilang pengap dengan kepulan asap rokok, berulang kru kapal mengingatkan, berulang asap dikepulkan.

“Sudah lama di Makassar?”

“Hanya liburan saja mas”.

“Wah liburan sampai Makassar”.

“Ada teman di sana mas lumayan mumpung masih muda”.

“Sama saja mas lebih baik kumpul uang dulu kalau sudah mapan baru liburan serta keluarga lebih seru bukan”.

“Hehe iya juga mas tapi biayanya lebih besar juga”.

“Ada yang bilang lebih baik kehilangan masa depan dari pada kehilangan masa muda kan mas, lagi pula kan bahagianya juga lebih besar mas”.

Kami berdua tertawa bersama, Andi tahu kata itu tapi Andi lebih tahu bahwa masa muda tiada akan kembali, jikalau bisa hari ini kenapa menunda hingga nanti, Andi menghela nafas, seiring dengan embusan Angin masih menyisakan embun, di saat seperti ini, semua akan menjadi kawan, lupakan soal asal dan suku, kopi pun bisa jadi pemersatu. Kapal terus melaju, seolah tidak pernah peduli dengan hiruk pikuk yang terjadi di daratan. Di tengah lautan seolah semuanya terkucilkan, hanya ada sepotong pulau di dunia ini, yaitu kapal yang sedang dinaiki oleh andi. Dari speaker terdengar seruan dari awak kapal.

“Kepada saudara yang beragama Islam, sudah masuk waktu shalat isya, mari kita menunaikan shalat isya berjamaah di masjid yang berada di dek 6”.

Pengumuman terulang hingga tiga kali, tiada percakapan lagi karena adzan lebih dahulu berkumandang.

“Saya pamit dahulu mas, terima kasih untuk kopinya”.

Tidak ada jawaban, Andi juga segera berlalu menuju dek tempat tidurnya, di dek lima, di dek dengan kasur matras lima berjajar, dengan tempat sampah yang tersebar setiap jarak lima meter, berganti baju untuk shalat Andi bersiap. Di samping kanan dan kiri tidak ada satupun yang bergeming, acara tivi nampaknya lebih menarik minat di banding seruan shalat yang di ucapkan berulang.

Di masjid kapal Andi termenung tepat di depan rak sendal, berjajar rak sendal tersedia tapi kosong melompong justru di depan pintu bertumpuk sendal tak beraturan.

“Kita memang bangsa yang susah” gumam andi.

“Sudah ada tempat tidur, tidur di tangga dan jalan dek, sudah ada tempat sampah tapi buang sampah ke laut, diangkat sendal Andi diletakan di rak yang hanya ada dua pasang sendal selain milik Andi, puluhan lainnya berjibun di depan pintu masjid beberapa malah bersembunyi di balik pintu masjid.

Setidaya paling sepi, sembari menunggu iqamah berkumandang, dikerjakannya shalat sunnah, sembari menunggu usai shalat Andi kembali tertegun, dengan penceramah yang memberikan kultum seusai shalat.

“Kita memberikan makan pada yang kelaparan, memberikan kopi pada yang kedinginan, tapi kita tidak memberikan bantuan pada saudara kita yang berada di tepi jurang neraka, yaitu saudara kita yang lalai dalam shalatnya, tidak menunaikan shalat, padahal jumlah kita terbangak di dunia, tapi juga kita lihat betapa banyak yang masih lalai dengan shalatnya, kita bukan hanya saudara se bangsa dan setanah air, tapi kita saudara seiman dan se Islam”.

Ditariknya udara hingga memenuhi rongga dada andi, serasa memenuhi setiap paru parunya, sadar lebih dalam lagi, ikatan persaudaraan bukan hanya karena secangkir kopi, bukan juga karena kesamaan suku ataupun negara. Pikiran Andi terasuki pikiran baru. Dan menjadi lebih sadar lagi bahwa jauh di daerah gurun sana, suatu negara sedang dicabik-cabik oleh negara lain, belasan ribu saudara muslim menjadi korban dan dari banyaknya korban itu Andi tak kuasa berbuat apapun selain dari menarik nafas dalam-dalam, merenungi nasib saudaranya. Seakan dari jauh di sana ada yang berbisik “aku saudaramu juga”.

Bisikan yang tidak pernah terjawab, entah karena jauhnya jarak pemisah atau karena telinga yang sudah terbungkus rapat dengan bisikan lain yang lebih riuh, melangkah Andi kembali ke barak kamar kapalnya, matanya kosong menatap langit-langit dek kapal, bisikan akan saudara berubah jadi teriakan mendengung di telinganya; terenyak bangun dan tersadar kembali Andi masih di atas kapal, terapung di lautan hingga esok hari, memburu nafas andi, sekarang duduk merenungi. Mata tertatap pada salah satu sudut dek kapal, tempat ada tempat sampah dan ada sampah berserakan di sekitarnya, menghela nafas andi, seolah menemu jawab, seorang diri Andi menjawab bisikan yang terus menderu telinganya itu.

“Aku hanya bisa ikut prihatin; seperti jutaan orang lain yang juga prihatin, bukankah kejahatan terus berlangsung bukan hanya karena banyaknya orang jahat? Tapi juga karena diamnya orang baik” bisik andi.

Segera berdiri menuju pojokan sampah yang berserakan justru di sekitar tempat sampah, dimasukkannya satu demi satu hingga tak bersisa, dada Andi mulai lega, disadarinya tidak cukup hanya dengan kata dan nasehat tapi perlu aksi nyata atas kepedulian, Andi kembali istirahat setelah membasuh tangannya; lelap pulas tidurnya; sepulas mentari yang akan bersiap menjemput esok hari. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

[Video] Dua Bersaudara Palestina Ini Dipertemukan Setelah 70 Tahun Terpisah

Figure
Organization