Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Di Penghujung Rindu

Di Penghujung Rindu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (nuevotiempo.org)
Ilustrasi. (nuevotiempo.org)

dakwatuna.com – Rindu akan terasa sulit jika hanya tersimpan dihati dan akan terasa berat jika tak dapat terucap, rindu adalah rasa dari sanubari yang terasa indah jika dapat dinikmati. Rindu ini, entah sampai kapan terus begini, rindu yang tak pernah berujung dan tak pernah tau tempatnya bermuara. Hati ini masih bergelora saat mendengar suaranya, ketika tersebut namanya dan manakala terlintas wajahnya.

Sudah lama sekali saat pertama kali aku melihatnya, pertemuan yang tak pernah disengaja di usia yang masih belia. Tak pernah saling menyapa apalagi untuk menanyakan namanya, hanya senyum yang terlintas manakala pandangan tak sengaja melihatnya. Hari ini sama seperti sebelumnya, kakiku melangkah menuju halte bus yang mengantarkan ke rumah, tak lama dari kejauhan sebuah bus berhenti perlahan.

“ayok dek, di dalam masih kosong” seseorang dari bus melihat ke arahku

“gak bang, saya nanti aja”

“masuk aja, masih kosong kok itu” ucapnya lagi

Mata minusku masih sulit untuk mengenali orang di dalam bus,aku mencari tempat duduk yang dekat dengan pintu keluar namun sopir bus menyuruhku bergeser karena seorang ibu yang hendak masuk.

“di sini masih kosong”

Aku berjalan mendekati arah suara dipojokan sambil memperhatikan wajah dari pemilik suara yang sejak tadi menyruhku, dan semakin dekat aku tak lagi mampu berkata, awalnya ingin sekali memarahinya karenanya aku harus berpindah kesana-kesini. Namun, entahlah semua kembali diam dan tertahan.

“trus? Udah tau namanya blom Naf?” Ica melototiku dengan wajah seriusnya.

“blom”

“ihh, kok gak nanya sih? Tapi gantengkan? Rumahnya tau dimana? Nanti dia suka aja? Secara mana ada orang yang gak kenal sok perhatian gitu? Ya gak sih? Jawab dong Naf!”

“kayaknya semua orang bakal gitu deh, gak ada yang istimewakan?” aku bertanya pada Ica untuk memastikan apa yang ku pikirkan dan yang diucapkannya barusan.

“entahlah, apa temannya juga gak ada bilang atau sebut-sebutin  namanya?”

“temannya Cuma manggil “suf” gitu aja, ah ya udahlah gak penting jugakan, Ca?”

“heemmm… suf..??? sufyan? Sufhan? Atau Yusuf kali yaa? Kira-kira yang mana Naf? Ganteng gak sih dia?”

“relatif, mungkin versi kebanyakan termasuklah”

“Yusuf. Iya namanya pasti itu, karena dari cerita ustadzah waktu di madrasah dulu nabi Yusuf itu tampan” Ica tersenyum dengan jawabannya, entah apa kini yang ada di pikiran sahabat karibku ini.

Kami bersahabat sejak masih kecil, tapi Ica selalu masuk sekolah asrama jadi waktu libur seperti kali ini saja dia bisa berceloteh ria denganku. Ica tau banyak hal tentangku, dan aku juga tau banyak hal tentangnya tak terkecuali orang yang sedang dekat denganku semuanya ku ceritakan padanya, sekalipun aku tak pernah mengutarakan perasaanku, namun Ica sepertinya tau akan hatiku pada Yusuf.

Sejak saat itu, aku sepakat untuk memanggilnya dengan nama indah tersebut sepertinya itu cocok untuk wajah tampannya sesuai dengan argumen yang disampaikan Ica. Hari terus berganti waktu terus berjalan, wajahnya tak pernah lagi terlihat bahkan kami tak lagi pernah bertemu di dalam bus, dan semua kembali pada semula sepertinya keinginan untuk mengenalnya hanya sebatas ingin semata.

aku senang bisa bertemu dengannya, meskipun aku tak pernah tau siapa namanya tapi Ica memberikan beberapa namanya hingga aku memutuskan untuk menyebut namanya “Yusuf”, saat aku bertemu dengannya aku berjanji akan bertanya siapa namanya dan aku akan mengatakan jika aku mempunyai nama untuknya, dan jika boleh aku akan terus memanggilnya dengan nama itu, nama Yusuf untuk wajah rupawan bagaikan Yusuf.

Tapi.. kalo dia Yusuf, Zulaikhanya siapa? Bukankah Yusuf berjodoh dengan Zulaikha? ah.. aku bingung..

Membaca lembaran-lembaran buku lapuk ini mengingatkanku sosoknya yang dulu pernah hadir dalam hidupku, sosok yang membuat rindu hinggap di hariku, sosok yang hingga kini bayangannya masih di pelupuk mataku, dan sosok yang tak pernah ku tau siapa sosok itu, bahkan setelah 5 tahun berlalu. Handphone yang barada di tempat tidur mengejutkanku, sepertinya pesan masuk.

datang ke rumah ya, aku lagi liburan selama beberapa hari, tenang aja kali ini oleh-olehnya gak ketinggalan lagi. By Ica

Aku bergegas bersiap menuju rumah Ica, tapi bukan Ica namanya kalo gak heboh dan rame. Belom sempat aku keluar kamar, dia telah menggedor pintu kamarku yang sempat menyulut emosiku.

“assalaamu’alaikum cantikkk.. tadaaaaa” Ica langsung duduk di tempat tidur yang baru saja ku rapikan.

“iihhhh, kenapa sih? Gak suka aku datang ya? gak rindu sama aku ya?” Ica berubah menjadi seperti anak kecil dengan cara bicara yang sedikit manja yang membuatku semakin aneh dan bingung melihatnya.

“Naf, kok bengong  sih? Kenapa?”

“Ya Allah, sampai pangling liatnya, hehehe” aku tersadar dari kebingungan.

“hemmm..?” Ica menatap curiga.

Aku menariknya kembali ke tempat tidurku dan duduk di sampingnya.

“kok tiba-tiba udah di sini aja? Kapan nyampe? Aku baru mau ke rumah”

“gak usah repot Naf, aku gak sabar nunggu mau ngasih ini, datang ya, awas kalo gak” Ica meletakkan sebuah kertas berwarna hijau dengan motif bunga yang indah di tanganku

“apa ini? undangan? Siapa?”

“baca dong sayang, masa calon pengantin juga yang harus bacain” ucapnya secara perlahan.

Aku menatap Ica yang sedang menyembunyikan senyuman manisnya, dan aku memeluknya dengan kuat.

“ahhh.. Icaaa.., jadi ini sebabnya ya?” aku menggodanya.

“bagaimana dengan Yusuf? Masih penasaran?” Ica tampak serius.

Yusuf. Bayangan tempo hari kembali mengitari pikiranku saat bertemu seorang pria yang wajahnya mirip dengannya tapi apakah mungkin dia, lalu jika memang iya, apakah gadis kecil berwajah arab putrinya? Kenapa gadis itu begitu dekat dengannya? dan kenapa dia juga terlihat begitu menyayangi gadis kecil itu.

“makasi ya suf udah datang, kayla gak dibawa?” suaminya Ica berbincang dengan seorang pria di depanku.

“mau bawa, tapi bundanya gak ada, takutnya nanti repot”

“makanya cepat cari penggantinya jangan kelamaan”

“yusuf?” sebuah tanya bergelayut di benakku dan sepertinya Ica juga mengetahui apa yang sedang dipikiranku saat ini.

Senang mengenalnya lagi, hari ini membuatku kembali pada masa-masa sekolah, di saat aku hanya bisa melihatnya tanpa mengenalnya dan kini semua mimpi lalu seperti menjadi wujud nyata, bertemu Yusuf yang sebenarnya, bukan tebakan ataupun sebuah nama pemberian lagi karena namanya benar-benar Yusuf, seorang yang pernah bertemu denganku tanpa sengaja, seorang yang dulu tak ku tau siapa dia ataupun  namanya, seseorang yang mengenalkanku pada rindu, kini dia berada di depan mata.

Ramzi suami Ica adalah salah seorang teman dekat Yusuf sewaktu sekolah, namun aku sedikit kesulitan mengenalinya meskipun menurut ceritanya kami juga sering bertemu di angkot, bahkan dia masih ingat kejadian saat di angkot lalu. Namun, meskipun dia mencoba mengingatkan aku tetap saja sulit mengenalinya, wajahnya terjadi banyak perubahan. Ica dan Ramzi terpaksa meninggalkan kami berdua berbincang karena tamu undnagan yang hadir semakin ramai.

“jadi namanya Nafisa?”

“heemm, dan kamu Yusuf?” aku memastikan lagi

Dia menganggukkan kepala.

“dulu kita sering ketemu, masih ingat?” tanya nya lagi.

“gak sepenuhnya ingat, Cuma wajahnya masih ingat”

“heeemmm, kita bisa berteman kan?

Aku menjawab dengan senyuman, pernikahan Ica memberikan warna yang lebih indah di hariku, setelah  pertemuan itu kami cukup sering berkomunikasi, dan cukup aneh rasanya ketika aku menyadari jika kerinduaan yang tak pernah bisa ku tafsirkan ternyata hanya sebatas pertemanan, hanya rasa ingintau, bukan rasa yang selama ini ku bayangkan. Tapi, hal ini jauh lebih baik setidaknya untuk saat ini.

Handphone yang sedang di charger berdering dengan iringan melodi, sepertinya dia telah sampai. Ku amati gerbang, dan tepat di depan gerbang dia berdiri tegak dan terus memperhatikan halaman rumah, menanti seseorang untuk membukakan pintu dan menyuruh masuk.

“udah lama? masuk dulu” ajakku

“gak usah. oya, ini dia. Tolong sekalian buat Ica ya”

“loh, kenapa gak langsung aja?”

“rumahnya kosong, bisa kan?”

Aku tersenyum, mengiyakan.

Ku amati undangan yang diberikan sepertinya semakin diamati semakin terasa mengganjal di hati, apalagi ini pikirku. Bukankah aku telah meyakinkan hati jika bukan rasa itu yang ku miliki untuknya, lalu kenapa sekarang ini? kenapa seperti ini? Kegelisahan menggelayuti pikiranku sejak melihat undangan ini, bukankah sebelumnya aku yakin dengan perasaaanku?

“kenapa Naf? Siapa yang datang tadi?” bunda menghampiriku yang duduk di ruang tamu

“loh, undangan siapa? Ku biarkan bunda melihat undangan yang terletak di meja.

“Yusuf tadi kemari, kenapa gak disuruh masuk, padahal ada hal yang mau bunda bicarakan padanya”

Melihatku tak merespon, bunda menyentuh tanganku, spontan aku terkejut dari ketidak sadaranku.

“Naf, kamu kenapa?” suara bunda terdengar begitu lembut

“ah, gak ada apa-apa kok bun. Reina kapan nyampenya bun?”

“mungkin masih siang, tadi bunda barusan telfonan”

“loh, kita gak ke bandara bun?”

“gak usah, katanya Yusuf yang nanti jemput lagian Reina sama Yusuf nanti sekalian mau beli cincin buat hantaran nanti”

“ohh..” jawabku singkat

Reina adalah adikku yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas di Yogyakarta, dan yang sebentar lagi akan dipersunting oleh Yusuf sebagai istri dan juga ibu untuk anak dari istri yang sebelumnya. Belakangan ku ketahui jika perkenalan mereka adalah rencana yang diatur oleh Ramzi yang merasa perlu membantu temannya untuk mendapatkan pendamping hidup.

Sejak saat itu, Yusuf sering berkomunikasi denganku, bunda, dan terutama Reina, hingga kedatangan Yusuf untuk melamar Reina beberapa bulan lalu akhirnya diterima oleh keluarga kami, meskipun pada awalnya bunda sempat tidak setuju karena aku.

“kak, maafin Reina yaa” tangannya yang lembut menyentuh tanganku.

Aku tersenyum padanya.

“kakak senang bisa liat kamu bahagia, jangan terlalu dipikirkan. Apapun pendapat orang kamu gak perlu pikirin ya”

“tapi, bukannya kakak merasa sakit?”

“sakit ini akan terobati dengan rasa bahagia yang akan hadir hari ini” aku mencoba menahan air mata yang tumpah di wajah.

Reina memelukku dengan begitu kuat, seolah gejolak yang dirasakannya adalah kegundahan tentang diriku, tentang perasaanku, perasaan yang baru ku sadari ketika semuanya telah berada di penghujung kisah, rasa cinta yang semestinya ku ketahui sewaktu di awal pertemuan kami dulu.

Kini Yusuf telah resmi menjadi adik iparku, suami dari adikku Reina. Artinya aku harus bisa berdamai dengan hati yang gundah, yang penuh sesal, aku harus bisa menerimanya sebagai seorang adik ipar, bukan sebagai harapan di masa mendatang. Untuk pertama kalinya aku merasa jika senyuman orang yang ku sayangi menjadi obat dan juga bumerang duka untukku. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Anak ke 5 dari 5 saudara, mempunyai 3 kakak laki-laki dan 1 kakak perempuan. Sekarang sedang berkuliah di salah satu universitas swasta di Medan, dalam bidang psikologi. Bercita-cita bisa menjadi penulis yang sekaligus menjadi seorang psikolog.

Lihat Juga

Merindu Baginda Nabi

Figure
Organization