Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menyusuri Lika Liku Cinta (Bagian ke-2)

Menyusuri Lika Liku Cinta (Bagian ke-2)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (tentangmaknakata.wordpress.com)
ilustrasi (tentangmaknakata.wordpress.com)

dakwatuna.com – Meskipun aku punya empat orang kakak yang dibawa ayahku tetap saja aku merasa aku anak pertama. Jika tidak sedang mengasuh maka aku selalu merasa tak pernah punya adik. Alhasil aku selalu mencari kesibukan sendiri, sebisa mungkin berusaha mandiri. Laki-laki dan perempuan adalah temanku. Ketemu teman perempuan kami main boneka, masak-masak dan sebagainya yang ala anak perempuan. Ketemu teman cowok aku pun main kelereng, layangan dan sebagainya yang ala anak cowok. Bertengkar dan gulat pun aku tak peduli laki-laki atau perempuan.

Kala ayah dan ibu konflik di rumah maka aku tetap mendukung ayah, karena memang dengan ibu aku merasa kaku. Walaupun akhirnya saat ayah harus minggat cari angin segar aku tetap diselamatkan oleh ibu. Kebiasaanku adalah tidur di luar kamar, dengan harapan akan di gendong ayah untuk dipindahkan ke dalam kamar. Suatu ketika aku pun membuat keributan di tengah malam karena perkara ditinggal tidur sendirian.

Saat terbangun ku lihat tak ada siapa-siapa di sekitarku aku pun menjerit sejadi jadinya. Ayah pun terbangun dan menenangkanku, aku marah dan mengamuk mengapa aku ditinggal. Aku dikurung di luar rumah, berhubung rumah kami hanya gubuk maka berhasilah aku mencongkel kayu yang dijadikan kunci pintu, aku pun masuk dan menjerit lagi. Di kurung lagi hingga tiga kali, mungkin ayah sudah kehabisan akal akhirnya aku direndam tengah malam di kali samping rumahku, aku pun memelas minta ampun. Kampungku adalah daerah terdingin di Sumatera Barat dan akan semakin dingin saat harus berendam tengah malam. Hingga kini semua itu masih terbayang, dengan pakaian kaos stelan dengan gambar Batman warna merah hijau itulah aku berhasil di rendam tengah malam.

Keseharianku di sekolah tidak memakai kerudung, karena kami memang SD. Namun semenjak kelas IV kami diwajibkan menggunakan busana muslim sekali seminggu pada setiap hari Jum’at. Tapi sejak kelas VI semester II aku mulai memutuskan untuk pakai busana muslim setiap hari walaupun masih sebatas di sekolah saja. Entah apa alasannya hingga kini pun aku tak tahu pasti, meski pun begitu tetap saja kebiasaanku bermain dengan siapa saja belum bisa dihilangkan. Lambat laun keinginan untuk melanjutkan ke sekolah agama pun semakin kuat.

Semester I kelas VI pada Oktober 2002 aku pun mempunyai seorang adik perempuan lagi, sejak saat itulah ibuku mungkin mulai bosan dengan keluhanku yang entah berapa kali sehari. “Dulu waktu kami Cuma berempat hidup kami senang gak seperti ini, setiap hari sabtu selalu ada rendang bebek, setiap minggu beli baju baru. Ini gara-gara adik satu ini lahir semuanya berubah”. Sering sekali keluhan itu ku ulang-ulang seakan sangat menyesal punya adik lagi. Terkadang ibu mencoba memberiku masukan dengan bahasanya anak-anak, tetap saja aku tak bisa terima. Egoku sebagai anak pertama dan selama ini punya kekuasaan di rumah tak bisa sedikit pun diredakan.

Memang kenyataannya dulu sewaktu masih berempat kami merasa sejahtera. Panen jeruk asam, punya banyak bebek, bahkan punya banyak padi. Setiap minggu dapat baju baru walaupun terkadang ada juga baju second tapi baru di belikan. Ada rendang bebek setiap hari sabtu dengan hati dan ampelanya sudah jadi milikkku walaupun itu bebek belum dimasak. Hati dan ampela itu buat bekalku bawa nasi dalam plastik ke surau untuk mengaji di malam minggu, serta bekal ke sekolah pada hari seninnya.

Pulang mengaji tak selalu aku kembali ke rumah, terkadang aku juga menemani nenek (ibu ayahku) di rumahnya yang besar dan seram menurutku. Nenek tinggal sendiri, dulunya sih beliau adalah wanita tangguh namun semenjak jatuh di sungai beliau mulai lumpuh tapi tetap masih mandiri. Di rumah nenek tidak ada listrik, meskipun semua tetangga beliau sudah punya berbagai rupa barang elektronik, di sini tetap suram. Hanya ada satu lampu minyak dari botol bekas M150, dan hanya akan menyala sebelum beliau mengantuk saja. Kalau ku pinta nenek untuk pake listrik jawaban beliau “itu dari lampu tetangga juga terang ke sini”. Oalah nenekku itu terlalu hemat atau terlalu pelit. Kalau ingin menonton televisi aku harus melanglang buana ke rumah tetangga, kecuali hari sabtu. Aku tidak diizinkan nenek untuk ke rumah tetangga dengan alasan warga pada pulang dari pasar, banyak makanan. Padahal aku kan juga gak akan minta, tapi ya sudahlah apapun kata nenek aku ikutin aja.

Biasanya sebelum tidur aku akan membaca buku lalu didengarkan oleh nenek. Cerita yang paling disukai nenek adalah kisah anak yang termakan tahi kucing. Kala ia sedang memanggang ikannya di abu dapur, ikan yang semula hanya tiga setelah matang malah berubah menjadi empat, ternyata satunya lagi adalah tahi kucing. Nenek akan terkekeh-kekeh mendengar cerita itu. Setelah puas beliau akan meniup lampu dan aku mulai menyusup kebalik selimut nenek yang berlapis-lapis. Ketika bangun pagi hari aku punya kebiasaan untuk memeriksa di bawah bantal dan kasur nenek, kali aja ada recehan-recehan untuk tambahan jajan siang hari nanti. Mungkin saja hingga saat ini nenek tak pernah tahu bahwa aku lah pemulung semua itu, tapi aku merasa bukan mencuri, aku mengumpulkan milik nenek, lagian nenek juga tak pernah mengeluh kehilangan apapun.

Banyak hal unik dari seorang nenekku yang tak jarang membuat aku sangat merindukannya. Walaupun terbilang nakal tapi aku lah cucu yang paling betah dan paling dekat dengan nenek. Hingga suatu ketika, kala aku telah tinggal di asrama dan pulang mengunjungi nenek, maka nenek pun menyampaikan betapa beliau sangat merindukanku, hingga aku yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi beliau. Sesalan terbesar dalam hidupku adalah tak bisa merawat nenek di sisa usia beliau bahkan secara tidak langsung aku telah membiarkan nenek wafat dalam kesendiriannya. Allahummaghfirlaha warhamha.

Sedari kecil aku selalu mengerjakan apa yang ku inginkan sendiri setelah dirasa tak mampu barulah aku akan melibatkan orang lain. Ternyata itu sangat besar pengaruhnya dalam hidupku. Setelah lulus SD aku pun pergi mendaftar ke MTs Pondok Pesantren Dr. M Natsir sendirian. Modalku hanya aku tahu dimana gerbang asramanya, jalan ke sekolahnya, lebih dari itu aku sama sekali tidak tahu. Sesampai di pasar aku pun mencari angkutan untuk menuju MTs tersebut, beruntung aku bertemu wali murid yang akan mengantar anaknya untuk daftar ulang ke sekolah yang sama. Alhamdulillah ada yang bantu juga nich.

Ada ratusan calon santri baru yang ku lihat berkeliaran bersama orang tua mereka tapi hanya aku yang masih menenteng map ijazah. Setelah ku temui gurunya ternyata baru aku tahu kalau hari itu bukan lagi untuk santri yang mendaftar awal tapi hanya daftar ulang dan tes. Beruntung nilai UN ku yang lumayan memuaskan, jadi bisa dijadikan bahan pertimbangan hingga aku pun langsung ikut tes. Alhamdulillah aku pun lulus sebagai santri utama bukan santri cadangan. Bahagianya aku pulang ke rumah hari itu. Selama SD peringkat tertinggiku hanya mentok di juara 3, belum sanggup bergeser ke angka 2.

Kurang lebih seminggu sejak hari itu berlalu aku pun diantar ayahku untuk menetap di asrama pondok. Karena aku masih termasuk ke dalam peringkat lima besar maka aku pun terbebas dari uang pembangunan. Setelah aku masuk ke ruangan untuk orientasi ayah pun pulang, aku hanya sempat melihat ayah memperhatikanku dari jendela ruangan kelas itu. Siangnya datang ibu yang mengantar peralatanku di asrama.

Kebiasaanku yang masih suka mengikuti tabiatnya anak lelaki masih juga belum hilang. Bangun tidur loncat dari dipan tingkat dua, lalu pura-pura mau nendang teman eh malah ketahuan sama kakak pembinanya, hingga langsung di tegur. Pakai jurus cuek dan bergegas ke kamar mandi eh malah kerudungnya yang tidak dipasang jadilah dipanggil lagi. Selalu saja ada yang salah yang membuatku sering ditegur. Meski aku berusaha anggun dengan baju kurung tetap saja ada gelang kaki yang membuat aku nyangkut di kantor yayasan sepulang shalat dzuhur berjamaah karena kelihatan sama ustadznya. Alamak.

Guru aqidah akhlak juga tak ketinggalan untuk ikut memanggilku karena ketahuan pakai celana jeans, untungnya sebelum menemui sang guru aku pun berganti busana yang anggun. Posisi sebagai penguasa di rumah juga terbawa-bawa ke asrama. Tak jarang bertengkar dengan teman yang dirasa sangat sok-sok-an. Alhasil orang tuaku pun mendapat panggilan ke asrama, tapi untung kakakku yang datang hingga aku masih selamat dari cubitan ibuku yang bisa membekas meninggalkan warna biru. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization