Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Pemilik Surga Terindah

Pemilik Surga Terindah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (nuraurora.wordpress.com)
Ilustrasi (nuraurora.wordpress.com)

dakwatuna.com – Mungkin kalimat “Surga di Telapak Kaki Ibu”, sudah tidak asing lagi di telinga. Kalimat yang menggambarkan seberapa mulianya seorang Ibu di mata Sang Pencipta. Surga yang memang pantas didapatkan oleh Ibu dan anak yang berbakti kepada Ibu.

Begitu lamanya seorang Ibu membesarkan dan mendidik seorang anak. Sembilan bulan sepuluh hari adalah waktu yang tidak singkat untuk setiap hari menggendong anak di dalam perutnya. Membawanya berjalan, makan, shalat, mengaji, hingga tidur. Saat tidur pun tidak jarang seorang Ibu mengalami kesulitan karena kondisi perut yang semakin hari kian membesar.

Ibuku, Siti Fatimah, beliau tidak berbeda dengan ibu kebanyakan. Sebelum akhirnya mendapatkanku, Ibu dan Bapak harus menunggu selama tiga tahun tanpa kepastian setelah hari pernikahan mereka. Betapa senangnya saat mereka tahu akan memiliki seorang anak, mereka tak pernah tahu yang lahir adalah seorang anak yang jauh dari harapan mereka.

Untuk membuatku seperti sekarang, tak sedikit perjuangan yang Ibu lakukan, Ibu memang ikut bekerja untuk membantu Bapak memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Segala usaha telah Ibu lakoni, mengajar di sekolah, mengajar mengaji, bahkan hingga menjual kembali jajanan yang Ibu beli di pasar setiap harinya. Semua itu hanya demi membuatku mampu mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.

Bukan hal yang mudah untuk membiayai kuliahku bagi mereka yang hanya bekerja sebagai guru di sekolah swasta di kota kecil dengan upah yang hanya cukup untuk makan kelima anggota keluarga kami dalam satu hari. Hutang, menjadi jalan terberat yang harus mereka ambil demi kelangsungan hidup.

Keadaan Bapak yang semakin menurun setiap harinya, membuat Ibu harus membanting tulang seorang diri untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, obat Bapak, sekolah adik-adik, dan kuliahku. Tak jarang Ibu berkeluh kesah lewat telepon, “Mba, maafin Ibu ya, gak bisa kirim banyak-banyak. Semoga besok ada rezeki lagi. Mba jangan lupa ditambah sholat dhuhanya, biar rezeki lancar”. Aku hanya bisa terdiam dan menahan tangis, betapa teganya aku masih terus membebani kedua orang tua tanpa melakukan apapun.

Setiap mengingat perjuangan Ibu, aku juga selalu ingat perkataan orang-orang yang meremehkannya saat beliau berencana menguliahkanku, “Alah, ngapain kuliah. Udah suruh nikah aja, anak perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi”, “Yakin mau kuliahin anaknya? Emang sanggup bayarnya?” masih banyak ucapan lain yang berusaha membuat ibu ragu. Tapi, satu kalimat dari beliau ini mampu menghancurkan semua cemooh orang di luar sana, ”Mba harus bisa buktikan ya. Inget banyak orang yang ngeremehin keluarga kita. Mba harus bisa menaikkan derajat keluarga ya mba”.

Bagaimana bisa aku masih terus membuatnya kecewa, padahal segalanya telah Ibu berikan untukku. Bagaimana bisa aku masih terus membuatnya menangis, padahal Ibu selalu menangis setiap mendoakanku. Bagaimana bisa aku masih terus membantah ucapannya, padahal Ibu yang mengajariku berbicara. Aku hanya bisa berdoa di setiap sujudku, mengharap agar Ibu mendapatkan Surga terindah di sisi Allah nanti. Karena mungkin, sampai kapanpun, aku tidak akan bisa membayar seluruh tetesan keringat dan air matanya selama ini. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi semester 4 Jurnalistik PNJ asal Cilacap, Jawa Tengah. Bukan seorang penulis, tetapi bercita-cita menjadi seorang jurnalis.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization