Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Di Antara Dua Mata

Di Antara Dua Mata

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (alaudeen313.deviantart.com)
Ilustrasi. (alaudeen313.deviantart.com)

dakwatuna.com – Ketika dua mata melihat hal yang berbeda maka hati pun kian bimbang. Bukan berarti pandangan kian buram tapi demi menajamkan pandangan pada arah satu mata sangat butuh perjuangan. Kala hati dan pikiran tak bijak mengarahkan mata maka ada kekhawatiran akan timbul banyak kemashlahatan. Kini aku resah saat tergamang dalam pandangan di antara dua mata. Entah mana yang hendak ku lirik aku pun tak tahu.

“Boleh mas menikah lagi, dek…? ”

Bagai kesetrum tegangan tinggi aku terdiam tanpa kata, ada sesak yang seakan tumpah namun berusaha ku tahan. Sesaat aku masih berusaha meyakinkan diri apakah yang barusan ku dengar itu nyata? Setelah tersadar aku pun segera menoleh dan menatap tak percaya hingga akhirnya aku pun bisa bersuara

“kamu serius mas? Kenapa? Apa yang terjadi dengan keluargamu?” pertanyaan yang terlontar pun tak mau keluar bergantian.

“mas gak nyaman lagi dek, kalaupun mas jelaskan kamu takkan bisa faham.” Ujarnya.

Semuanya masih buram bagiku, aku rasa ucapannya barusan belum dapat menjawab pertanyaanku. Aku berusaha mencari kata yang pas untuk menghentikan niatnya itu. Dia mas ku ingin menikah lagi lalu apa yang harus aku lakukan sebagai adik?

“Mas, ku harap kamu memikirkannya berkali-kali sebelum terlanjur memutuskan. Tak masalah jika kau tak nyaman dengan istrimu, lalu bagaimana dengan anak-anakmu…?” air mata semakin sulit ku bendung.

“Mas akan bertanggung jawab terhadap anak-anak mas dek, mas pun akan berusaha adil pada kedua istri mas nanti.” Dia berusaha meyakinkanku.

“Istrimu tahu keinginanmu ini mas?” tanyaku lagi.

“Tidak, bahkan mas belum ingin dia tahu dek, mas akan menjalani ini diam-diam” teramat percaya diri memang jawabannya.

“Mas, apa kau tak ingat berapa banyak saudara perempuanmu? Tidakkah kau takut karma yang sama juga akan menimpa kami? Pikirkanlah lagi mas, aku juga perempuan mas, akan teramat sakit ketika tahu kita dikhianati mas.” Semua ini ku ucapkan dengan harapan di hati agar kesadaran segera menghampirinya.

“Memang kejahatan apa yang mas lakukan? Mas hanya berusaha mencari kenyamanan dek, cobalah sedikit mengerti” pembelaan diri yang terdengar bagai polusi di telingaku.

Ada kesal memenuhi dada, andai dia bukan mas ku maka sudah dari tadi ku tampar dia dengan seluruh energiku, agar dia segera bangun dari lamunan hawa nafsunya. Pikiran yang tak lagi bersih ikut menari-nari di kepalaku, apalagi ketika di telpon aku suara perempuan bersamanya. Padahal setahuku dia sedang menginap di rumah temannya, aku pun menyimpulkan bahwa inilah sebenarnya yang dimaksud “temannya” itu. Aku merasa sesuatu yang tidak benar sudah terjadi di antara mas dan “temannya”.

Aku tak sabar agar waktu segera berlalu, bosan aku terlalu lama menghadapi laki-laki di depan mataku ini. Hingga akhirnya aku merasa lega ketika dia beranjak meninggalkanku dengan keputusan yang tiada jelas. Butuh waktu untukku memulihkan hati yang terlanjur shock dengan keinginan “gilanya”. Meski dia bukan orang lain dalam hidupku, tetap saja kebencian itu menyeruak mendengar keinginannya. Aku bingung ketika tak diizinkan menyampaikannya pada siapapun sekalipun orang tuaku sendiri.

Siang dan malam terus berganti tanpa peduli apa yang terjadi. Sebulan telah berlalu dari dialog kami kala itu, aku pun mulai sibuk dengan aktivitas di tempat kerja yang baru. Sudah tak ada lagi pembicaraan tentang keinginan masku kala itu, hingga tiba hari yang kembali mengaduk-aduk emosiku. Suatu senja yang begitu gerah, dia menghubungiku via telpon dengan alasan butuh pertolongan. Aku tak mengiyakan sebelum dia ungkapkan apa sebenarnya yang dapat ku tolong.

“Temani mas ke rumah wanita yang waktu itu mas ceritakan, hanya kamu yang bisa menolong mas dek,” dengan suara yang teramat memelas

Hatiku tak sedikitpun merasa kasihan mendengarnya, malah benciku semakin menjadi-jadi.

“Mas mau melamar, ” ujarku pura-pura tak mengerti.

“Iya dek, makanya mas minta bantuan kamu, mau ya dek, mas mohon,” ah dia semakin memelas.

Aku semakin bingung mendengar keputusan gilanya. Satu sisi aku tak ingin mengecewakannya sebagai adik, di sisi lain aku tak ingin terlibat jauh dalam urusan rumah tangganya. Aku pun semakin tak mengerti dengan jalan pikirannya ketika ku tahu ternyata dia akan menjalani hidupnya dalam kebohongan. Membohongi istri sah nya dan calon istri barunya. Ku coba tawarkan bantuan untuk berbicara kepada kedua wanita itu, tapi dia malah menolak mentah-mentah dan menuduhku akan menghancurkan hidupnya. Sebisaku telah ku coba memberikan saran yang menurutku mungkin bisa menghilangkan kebohongan dalam hidupnya. Tapi tetap tak berhasil.

Sampai pekerjaan yang halal namun paling di benci Allah pun terpaksa aku tawarkan jika memang hubungan dengan istrinya tak lagi bisa diperbaharui. Alasan kasih sayang pada anaknya pun menjadi alasan tak ingin berpisah, lalu apakah ketika suatu saat nanti kebohongan itu terbongkar tidakkah akan lebih menyakitkan anak dan istrinya? Aku semakin tidak mengerti.

Lalu kejujuran pada wanita yang akan dinikahinya pun aku sarankan agar tak semua hidupnya diselimuti kebohongan. Lagi-lagi tak mempan, dia takut akan terjadi sesuatu yang lebih buruk pada wanita itu. Kecurigaanku pun makin kuat kalau di antara mereka sudah lebih dari sekedar teman dan akhirnya pengakuan itu pun muncul dari mulutnya. Wanita itu telah berbulan-bulan menjaga jabang bayi di perutnya. Memang secara biologis itu anaknya tapi secara agama tetap saja bukan. Emosiku semakin tak tertahankan, ternyata semua pradugaku selama ini benar adanya.

Alasan ketidaknyamanan selama belasan tahun dalam rumah tangga bersama istrinya, seolah menjadi pembenaran setiap tingkahnya. Dia seakan tak dihargai meski sebagai seorang suami. Ketika setahun belakangan harus dijalaninya tanpa dia terima hak bathin dari istrinya. Membuat dia mencari pelampiasan di luar.

“Mas, mas, kamu kan cowok apa salahnya kamu yang minta, jangan hanya nunggu istri yang nawarin”, ujarku.

“Sudah sering mas minta dek, tapi mas juga kadang malu sama anak, masa harus bertengkar hanya gara-gara itu, coba kamu pikir dek, laki-laki mana yang tahan satu tahun bersama istri tanpa mendapatkan haknya, tapi mas masih bertahan”. Jawabnya.

Satu sisi aku menyalahkannya karena sebagai kepala rumah tangga masa tidak bisa menjadi pemimpin yang baik, malah dia yang harus dikendalikan oleh orang-orang yang di- pimpinnya. Ketika dia temukan ketidaknyamanan terhadap yang dipimpinnya mengapa dia tak coba bicarakan secara baik-baik, bukankah ada musyawarah yang lebih afdhol daripada diam memendam dengan persepsi masing-masing. Bisa jadi hanya kesalahpahaman, namun karena tak jua dibicarakan maka ia pun meluber kemana-mana.

Di sisi lain aku juga tak dapat banyak berucap jika memang istrinya juga lalai dalam kewajibannya. Seperti apapun kita mencari kelebihan diri dari suami tetap saja kedudukan kita adalah makmumnya. Jangan hendak mendahului imam pula. Kelebihan dunia yang kita punya tak perlu menjadikan pongah dalam hati lalu memandang rendah suami. Namun aku tak tahu persis bagaimana kebenaran yang sebenarnya, karena hanya aku hanya mendengar dari satu pihak.

Kini aku benar-benar serasa berada di antara dua mata. Sebelah mataku menatap anak dan istrinya. Sebelah lagi menatap wanita yang sedang menjaga bayinya tanpa ikatan yang sah. Bagaimana terlukanya anak dan istrinya ketika tahu suami dan ayah mereka ternyata berbagi kasih di luar sana. Lalu betapa risaunya wanita yang mengandung anaknya. Gusar dia lari dari tanggung jawab, malu dengan lingkungan saat perut kian membesar tanpa seorang suami. Aku bingung, dadaku sesak, air mata pun membuat aku tak mampu memejamkan mata ketika malam menjelang. Tak akan aku berikan keputusan apapun, luka mereka begitu terasa di hatiku. Ngilu, terasa amat menyakitkan.

Semua ini benar-benar pelajaran berharga yang Allah kirimkan untukku dan untuk kita semua. Ayat-ayat Kauniyah yang seharusnya dapat kita baca ibroh di sebaliknya. Tak ada kejadian yang Allah perlihatkan tanpa ada hikmahnya. Rumah tangga bahtera impian setiap jiwa-jiwa muda, namun persiapan menghadapi terpaan badai dan gelombang selama perjalanan jauh lebih penting dan jangan sampai lupa. Semoga kelak ketika Allah telah berikan kesempatan kepada kita yang masih sendiri untuk berumah-tangga maka semoga kita mampu memainkan peran dengan sebaik-baiknya. Bagi yang sudah berumah tangga “Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaykuma wa jama’a bayna kuma fi khayr”, seuntai doa terindah seiring air mata ketulusan aku bisikkan. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization