Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Suratan Takdir Papa

Suratan Takdir Papa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Terlihat seperti mengabaikan padahal tidak. Terlihat seperti mempunyai watak keras bagaikan batu, tapi memiliki kepedulian seluas lautan. Papa. Satu kata memiliki makna yang berharga dalam hidup.

Kepala keluarga yang aku panggil dengan sebutan Papa, sudah tiada saat aku masih duduk di sekolah dasar. Betapa sedihnya aku melihat Papa tidak bergerak apalagi tersenyum. Tangisku meledak ketika aku melihat Papa dikuburkan. Hanya perkataan Budeku yang membuatku untuk belajar ikhlas.

Ya, aku sudah mengerti apa artinya kematian. Aku mengerti ketika Mama menangis di kamar jenazah menangisi kepergian Papaku, saat Mama menceritakan bahwa tidak akan bisa lagi bersama denganku dan saat Papa tidak menjawab panggilanku lagi.

Kepergian Papa sangat terasa berat bagiku yang masih menjelma menjadi anak kecil. Aku tidak bersemangat lagi untuk pergi ke sekolah. Karena perubahan perilaku yang aku alami, Mama mulai kesal. Seorang Mama yang aku kenal selalu memanjakanku dan melindungiku saat Papa memarahiku. Kini, berbalik arah untuk memarahiku sekaligus menasehatiku.

Tapi, ternyata tidak aku saja yang mengalami perubahan. Mamaku pun mengalami perubahan yang cukup besar. Sebelumnya, Mama memang sudah bekerja di sebuah perusahaan. Kepala keluarga sudah tergantikan oleh posisi mama. Sepeninggal kepergian Papa, Mama lebih menyibukkan diri untuk bekerja, mungkin agar kesedihan tidak menyelimuti hati dan pikiran.

Mama berpesan kepadaku untuk selalu belajar supaya menjadi manusia yang cerdas seperti keinginan Papaku. Aku rindu Papa. Aku ingin memeluk Papa. Aku ingin Papa mengajariku lagi walaupun belajar di rumah sakit. Aku hanya bisa membayangkan apa saja yang Papa sudah lakukan kepadaku walau terasa samar di pikiranku.

Bayangan itu menjadi ingatan yang manis, salah satunya saat aku pertama kalinya menginginkan sebuah boneka barbie asli di pasar swalayan. Aku merengek kepada papa  supaya aku dibelikan boneka tersebut. Papa tidak berkata apa-apa selain memandangku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan apa maksudnya.

Boneka itu mengikutiku di dalam keranjang dorong yang dibawa oleh Papa, jawaban Papa masih tidak aku mengerti. Apakah aku dibolehkan untuk membawanya pulang atau tidak? Hingga tiba untuk membayar semua belanjaan di kasir. Aku mulai menangis, tidak peduli dengan banyak orang di sekitarku. Akhirnya, Papa mengizinkanku untuk membawa boneka cantik itu pulang.

Akan tetapi, aku harus berjanji kepada Papa bahwa aku harus masuk tiga besar. Atas izin Allah, aku bisa menepati janji yang telah aku ucapkan untuk papa. Dan, sudah takdir Allah bahwa boneka barbie tersebut menjadi kado terakhir dari papa.

Kebersamaanku dengan papa tidaklah lama, semua ini telah tertulis dalam suratan takdir di antara kami. Tak ada yang bisa dilakukan selain mendoakan orang yang kita cintai telah tiada. Sampai akhir hayatku, seorang figur Papa dengan kenangan manisnya akan selalu tersimpan di dalam lubuk hati yang terdalam. Dan, tak akan pernah hilang ditelan bumi. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi semester 4 jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan di Politeknik Negeri Jakarta, mempunyai rasa penasaran yang tinggi tetapi masih belajar untuk menyalurkan hasil belajarnya dengan baik dan benar.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization