Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Kakakku Kuno

Kakakku Kuno

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (Erina Prima)
Ilustrasi (Erina Prima)

dakwatuna.com – Hari ini baru aja selesai. Aduh lelahnya seharian ini jadi karyawan. Seharian jadi suruhan, seharian jadi bawahan, seharian hanya jadi penurut dan selalu ikut perintah yang punya perintah alias si bos. Udah cerewet, tukang bentak-bentak, otoriter, tukang suruh-suruh, ugh.. !!! segalanya  yang berbau penyiksaan batin mesti harus sabar dijalani.

“Hah capek…” keluhku setiap saat.

“Hmm…!!!” Meskipun begitu, hidupku lumayan enak. Walaupun terus jadi bulan-bulanan si boss. Gajiku lumayan besar buat mencukupi kebutuhanku. Terus terang saja, Aku selalu bisa makan enak, beli baju-baju mahal, jalan-jalan liburan terkadang dan lumayanlah lebih baik dibandingkan dengan kehidupan kakak perempuanku yang hanya seorang guru honor SD.

Jujur saja bisa dibilang kakakku tak akan mampu, menjalani hidupnya jika kelak gaji yang ia dapatkan akan terus kecil, seperti saat ini. Hanya berkisar sekitar tiga ratus ribuan. Itupun  tanpa uang transport atau uang makan lalu tanggungan kesehatan seperti aku, yang nilainya bisa mencapai jutaan rupiah.

Dulu sih Aku pernah berinisiatif menawarkannya pindah kerja ditempatku. Dan ia hanya berkata

“Maaf dek, kakak tak mau membuka jilbab demi dunia” ungkapnya serius marah seketika saat aku menawarkannya kerja dengan rok mini dan baju kemeja ketat sepertiku.

“Kakak kuno, zaman sekarang semua harus terbuka bukan tertutup lagi” protesku dan ia tak menghiraukannya.

Ia memang selalu begitu, tak akan pernah mau mendengar saranku untuk kebaikan hidupnya. Ia selalu saja bergumam bahwa aku belum mengerti dengan prinsipnya. Hah !!! Apa yang harus ku mengerti darinya.  Setiap hari ia berpakaian ala kadarnya. Pakaian yang selalu lebar dengan kerudung besar yang tidak modern, begitu sederhana dan membuatku sering kali gerah memperhatikannya. Hm.. Udah tau Indonesia bercuaca panas, tapi tetep aja kukuh dengan style kunonya itu.

Dan tak sampai di situ saja, larangannya untuk pacaran. Dan gumaman untuk selalu melarangku dekat dengan lelaki membuatku selalu geram setiap saat. Ia selalu berkata

“Bahaya dek, jauhi berdua-duaan”

“Hah memangnya kenapa kalau berdua, kakak ini kuno, aku cuman ngobrol, nggak ada apa-apa” protesku.

“Berhati-hatilah dek, nanti ketiganya setan, dia akan menggoda kalian berdua untuk hal yang tidak-tidak” nasehatnya.

“Hah Kakak kuno…” ungkapku lagi padanya dan ia seperti biasa, tetap saja tidak akan menghiraukannya

“Because of you.. Because of you…” lantunan dering handphoneku bergumam.

“Lina…” sebutku membaca layar handphone touchscreen terbaruku dan segera saja ku angkat.

“Hey.. Lin, ada apa..?” tanyaku langsung tanpa basa-basi pada teman seprofesiku di kantor.

“Au..ra……hikss..hiksss,” isaknya.

“Ada apa Lin, kok kamu nangis?”

“Roni..” sambungnya menangis lagi.

“Kenapa Roni.. Kenapa pacarmu?” tanyaku merebahkan diri di tempat tidur.

“Roni gak mau tanggung jawab…hikssss…hiksss..hiksss” ungkapnya.

“Tanggung jawab apa maksudnya..?”

“Aku hamil.. Ra.. hamil.. ” teriaknya menangis.

“Apa… Hamil?!” kejutku.

“Kalian sejauh itu?” ungkapku gak percaya.

“Namanya pacaran Ra, itu semua memang harus dilakukan” sedihnya.

“Kamu gila, Lin, benar-benar gila, udah tau itu beresiko besar, buat apa lakuin itu. Sekalipun kamu cinta sama si Roni itu” marahku

“Aku nyesel Ra, nyesel..” tangisnya.

“Hah.. gak tau deh.. pusing.. pusing”

“Tut….tut…….tut……” tutupku langsung.

xxxx

“Tok…tok..tok..” ketukan itu membangunkanku.

“Siapa..?” tanyaku masih mengantuk.

“Ini kak Tri, Ra…” panggilnya.

“Ya…” sahutku lalu membukakan pintu.

“Ada apa kak malam-malam gini?” tanyaku lemas.

“Antarkan kakak ke rumah sakit”

“Rumah sakit, siapa yang sakit?” tanyaku menggosok mata.

“Adik teman kakak, mencoba bunuh diri?”cemasnya.

“Bunuh diri..?” sebutku bertanya.

“Panjang ceritanya dek, ayo bisa antar kakak”

“Ya, iya..” jawabku lalu mengambil jaket dan kunci motor.

Rumah sakit yang dimaksud kakakku cukup dekat dari rumah. Hanya beberapa blok saja dari rumahku. Dan sebenarnya ia bisa pergi sendiri, tanpaku. Tetapi ia selalu saja berkata bahwa akan berbahaya jika seorang wanita keluar tanpa ditemani mihrim, mahrim, muhrim, atau apalah sebutannya. Dan ia selalu berkata aku termasuk kategori orang-orang yang harus menemaninya setiap saat kemanapun ia pergi. Dan sekali lagi aku ingin berkata “kakakku kuno”.  Zaman sudah modern. Polisi dimana-mana, alat pengaman kejahatan sudah banyak, untuk apa harus takut bila sekedar keluar saja. Apalagi ketempat yang dekat seperti saat ini.

“Assalamu’alaikum pasien atas nama Lina Puspita Sari di kamar berapa Mbak?” tanya kakakku sejenak pada suster administrasi rumah sakit.

“Lina Puspita Sari…” sebutku dalam hati.

“Sepertinya nama itu, tak asing ditelingaku” pikirku.

“Ayo dek” ajak kakakku dan aku mengikutinya berjalan menuju tempat yang ingin dia kunjungi.

“Assalamu’alaikum Ukhty Fara” sapa kakakku dengan wanita yang sejenis dia di sebuah kursi menunggu. Wanita itu sama dengannya, wanita berjilbab dengan baju serba lebar seperti dia.

“Wa’alaikumsalam Ukh…” jawabnya dengan suara parau dan wajah lusuh.

“Ini adikku Aura”. Perkenalannya melihat keadaanku dengan pakaian lengan pendek dan celana jeans ketat.

“Oh Aura, temannya Lina sekantor” sebutnya memandangiku lemah.

“Li…na.. adik kakak?” sebutku terbata-bata bertanya padanya.

“Ya dek, Lina adik kandung kakak” sebutnya lemah dan aku tak habis pikir bahwa kakaknya Lina yang sering ia sebutkan sebagai kakak kunonya bersahabat  dengan kakakku juga.

“Lina tidak cerita apa yang terjadi?” tanyaku langsung.

“Tidak dek, Lina sudah bersimbah darah saat kakak menemukannya”

“Hah… Lin, kenapa seperti ini Lin, kenapa kamu harus lakuin ini” pikirku kecewa.

“Lina, banyak cerita tentang adek, katanya Lina punya banyak kesamaan dengan adek” ungkapnya memandangiku lemah penuh bertanya.

“Kesamaan apa, kesamaan tentang kakak kunonya” gumamku dalam hati. Karena seingatku mungkin itulah satu-satunya kesamaan yang sama denganku.  Tapi kalau dipikir juga pandangan kehidupan atas wanita karir yang sukses serta bebas berkarya sangat sehati dengannya. Tapi bukan wanita karir yang sebebas-bebasnya juga yang ku maksud. Aku memang mencintai kebebasan dalam pergaulan antar manusia, tapi kebebasan itu bukan bebas menjerumuskan.

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Lina?” tanyanya lembut padaku.

“Terakhir, dia telepon aku, dia bilang dirinya…..” ungkapku terhenti.

“Dirinya, kenapa dik….?” tanya kakakku.

“Ia hamil kak” jawabku ringan.

“Hamil…!” kejut kakak si Lina dan kedua matanya mulai berair.

“Astaghfirullahalazim, Lina, Lina, Lina…………” teriaknya menangis histeris.

“Istighfar ukhti, Istighfar ukhti” peluk kakakku menenangkannya.

xxxx

Hari ini kerjaan di kantor tak ada yang seribet seperti hari-hari sebelumnya. Kerjaan yang biasanya menumpuk, tak lagi membuatku berkeluh kesah. Aku heran ada apa denganku. Hari ini otakku begitu encer mengerjakan semua tugas dari si bos besar.

Seketika pandanganku mengarah ke meja tempat Lina bekerja. Sudah seminggu ini meja itu kosong oleh penghuninya. Tak ada kertas berserakan, suara telepon berdering ataupun gerak-gerik jari  yang mengetik.  Suasananya begitu terlihat sangat terlihat sepi  tak ada kehidupan.  Dan aku pikir sepertinya akan butuh waktu lama untuk melihat sosok yang selalu menawarkan segelas kopi hangat padaku, tiap pagi.

“Lina.. Lina.. mungkin inilah hidup” gumamku sambil memeriksa laporan terakhirku.

“Assalamu’alaikum” salam seseorang dan seketika pandanganku mengarah kepada si pemberi salam.

“Wa’alaikum salam Lina…” sebutku tak percaya dengan sosok di hadapanku. Ia berpakaian lebar dan berkerudung besar layaknya kakak kunoku.

“Lina, kau, makan apa, kamu kok berubah kuno?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Hmm…” senyumnya dan ia duduk di kursi depan meja, di hadapanku.

“Aku seharusnya seperti ini dari dulu Ra, oh ya, aku datang kesini, ingin menyerahkan surat pengunduran diri”

“Mengundurkan diri, gak salah Lin, kamu kan semangat sekali jadi wanita karir” heranku.

“Itu dulu Ra, sekarang gak akan pernah lagi, seharusnya dari dulu Aku mendengarkan kakakku. Dia tidak kuno seperti yang aku pikirkan selama ini. Justru ia pemikir hebat, dan panutan yang seharusnya aku banggakan. Pergaulan bebas, pergaulan tanpa arah seperti yang ku jalani dulu adalah kesalahan besar yang memberi pelajaran berarti untukku Ra”

“Benarkah, apakah kamu nyaman dengan keadaanmu sekarang ini?” godaku.

“Hmm…” senyumnya lalu mengeluarkan dua sapu merah muda yang sangat indah.

“Boleh minta plastik hitam itu Ra,” pintanya lembut dan tanpa berpikir aku segera memberinya.

“Lihat Ra” ungkapnya membukus salah satu sapu tangan tersebut dengan plastik hitam tersebut dan satu lagi ia bentangkan di hadapanku.

“Kakakku kunoku, seperti ini Ra” ungkapnya menunjuk sapu tangan yang ia bungkus sederhana.

“Dan waktu itu aku seperti ini Ra” ungkapnya lagi menunjuk sapu tangan merah muda yang ia bentangkan.

“Coba perhatikan, betapa indah sapu tangan ini, siapapun pasti senang memandangi keindahanya, namun sayangnya keindahannya ia perlihatkan bebas begitu saja, hingga seketika….” kata-katanya terhenti lalu mengambil secangkir kopi di hadapanku.

“Ia ternoda..” ucapnya sederhana meneteskan kopi di atasnya.

“Sekarang coba perhatikan sapu tangan yang terbungkus ini Ra, siapa yang  bisa memandanginya bebas? Dan kau tahu, yang paling menakjubkan adalah keindahannya begitu aman tersimpan di balik bungkusnya. Dan ketika…” katanya terhenti lalu meneteskan kopi diatasnya.

“Ada noda yang ingin merusak keindahannya, ia aman, ia begitu terlindungi, ia terjaga,  karena keindahan tersimpan apik di balik pelindungnya. Hmm…. Seperti itulah kakak kunoku Ra, kakak kuno yang ku anggap remeh” ungkapnya mendegubkan jantungku.

“………..”

“Ra…” panggilnya meraih kedua tanganku dan mengenggam erat.

“Pakaian ini adalah pelindung bagi kita sebagai seorang wanita muslim dari mereka yang melihat keindahan kita miliki dengan bebas tanpa pertanggung jawaban. Dan satu hal lagi  pakaian ini juga merupakan identitas kita  sebagai seorang wanita muslimah. Inilah pembeda kita dengan mereka wanita non muslim” ungkapnya memandangiku tegas.

“Lin.. aku..” ungkapku tak menentu.

“Sebelum, sebuah noda menghampirimu, alangkah baiknya engkau melindungi keindahanmu” senyumnya, lalu perlahan melepas genggamannya dariku lalu berdiri, sementara itu pandanganku tak terhenti menatapnya.

“Aku pamit Ra, Assalamu’alaikum” salamnya dan aku terus menatapnya berlalu tanpa berkata-kata.

xxxx

Jam sudah berkutat dengan angka dua belas malam.  Seharusnya jam segini aku sudah tertidur lelap dan bermimpi indah. Tapi ada yang salah denganku malam ini. Mataku sangat susah dipejamkan. Dan Ini pertama kalinya aku susah terlelap. Dalam pikiranku terus saja bergumam perkataan-perkataan Lina yang ku renungi.

“Hah…!!!” ungkapku bangun dari tempat tidur.

“Kalau gini caranya, benar-benar aku gak akan bisa tidur, Lin kenapa kau berikan aku gumaman yang  membuatku tak tenang”pikirku mondar-mandir tidak jelas di depan tempat tidur.

“Kak Tri… Ya.. Kak Tri..” pikirku ingin menuju kamar Kak Tri.

“Tapi..” raguku  sejenak, karena jujur saja, sudah cukup lama aku tak pernah mengunjungi kamar Kak Tri.

“Hah.. sudahlah dari pada Aku gak bisa tidur” pikirku lagi memantapkan langkah membuka pintu kamar.

Langkahku seketika beriring dengan usapan ragu. Namun rasa kegelisahan juga tak henti menghampiri benakku. Aku tak mengerti harus bagaimana, yang aku tahu hanya aku harus melangkah ke kamar Kak Tri.

“Kak…” suara pangillanku terdengar rendah dan aku rasa Kak Tri tak akan mendengarnya.

Lalu tak berapa lama ingin ku ketuk pintunya, tapi perasaan raguku kian meruah.

“Ah tidak….” resahku dan sepertinya Aku ingin kembali ke kamar.

Dan sejenak

“Krek,,,!!!” seketika tanpa berpikir aku menyentuh gagang pintu kamarnya dan ternyata pintu kamarnya tak terkunci.

Aku lalu mengendap-mengendap ringan melihat keadaan yang terjadi.

“Kak Tri sedang sholat” gumamku melihat seorang tengah bersujud.

Dan tanpa berpikir kemudian aku duduk di kursi memperhatikannya dari jarak yang cukup dekat tanpa ia ketahui.

Beberapa saat Ia kemudian terbangun dari sujudnya. Dengan tenang dan perlahan ia berucap sesuatu. Ia lalu menoleh ke kanan dan ke kiri perlahan dengan salam. Dan seketika itu ia kemudian membaca zikir-zikir dengan suara rendah nan damai.

Tak beberapa lama, tangannya lalu menengadah ke atas dan sepertinya ia ingin berdoa

Ya Alloh, ya Rabbku
Hamba ini adalah hamba yang lemah
Hamba ini adalah hamba yang hina
Semua petunjuk ialah milikmu
Tidak ada yang mampu menunjukan jalan
Kecuali jika engkau yang berhendak memberikan petuntuk

Ya Alloh, ya Rabbku
Hamba adalah hambamu yang rendah,
Hamba adalah hamba yang tak bisa merubah keadaan,
Engkaulah yang maha kuasa atas segala sesuatu
Engkaulah yang akan kuasa atas membolak balikkan hati hamba-hambamu

Ya Alloh, ya Rabbku
Sampai detik ini, hamba akan selalu mendoakannya
Sampai detik ini hamba hanya bisa menyampaikan kebenaranmu padanya
Namun Hamba sadar, Hanya engkau yang sanggup membukakan hatinya.
Hanya engkau yang mampu untuk membuka hatinya mengulurkan  kain menutup keindahannya

Ya Rabbku
Hamba tau ia masih terpesona dengan dunia
Hamba tahu dia masih mencintai kegermelapan pakaian dunia yang menjerumuskan.
Dan Hamba selalu tersenyum ketia dia  menganggap hamba kuno,
tak berkelas, atau apapun itu

Ya Rabbku
Hamba sayang dia
Dan hamba mohon sayangilah ia
Bukakan pintu hatinya untuk segera mengulur kain pelindungnya
Bukakanlah pintu hatinya mencintai  kakaknya yang kuno ini
Bukakanlah ia jalan menuju surgamu nan abadi
Dan haramkanlah ia dari nerakamu

Ya Rabbku
Engkaulah yang mengabulkan doa
Dan hamba adalah pemintamu yang setia.
Kabulkanlah doa hamba peminta ini.
Amin. Amin ya Rabb. Amin. Amin “

Akhirnya mengusap air mata dan aku tak sanggup berkata apa-apa, aku hanya…

“Kak Tri,,,,,” tangisku dan memeluknya.

(dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang yang menyukai menulis. Dan ingin mengubah dunia melalui deretan kata.

Lihat Juga

Ketika Waktu yang Berbicara

Figure
Organization