Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Hadiah untuk Berhijrah

Hadiah untuk Berhijrah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pagi ini udara begitu dingin. Langit terlihat begitu indah dengan hiasan cahaya fajar yang mulai menggantikan sinar bulan dan bintang. Waktu menunjukkan pukul 5.00. Aku segera melangkahkan kaki menuju sekolah. Udara begitu segar menghilangkan kebosananku dan menggantikannya dengan semangat baru.

Sesampainya di sekolah tepat pukul 6.00, Fahmi terlihat berdiri di depan gerbang sekolah seolah menunggu kedatangan seseorang. Aku terus melangkah dengan menyunggingkan sebuah senyuman semangat kepada pak satpam yang selalu setia menyambut kedatangan para siswa.

“Assalamu’alaikum Pak.” Sapaku kepada pak satpam yang bernama Pak Doni.

“Wa’alaikumsalam dik Hana. Semangat ya sekolahnya.” Jawab Pak Doni.

“Iya Pak. Semangat selalu.” Ucapku dengan senyum semangat.

Aku melanjutkan langkahku. Terlihat Fahmi berlari menghampiriku dan berjalan disampingku.

“Hana . . . kamu jalannya jangan cepat-cepat, aku mau minta tolong.” Ucap Fahmi sambil mengejarku.

“Iya kenapa Mi? Mau minta tolong apa?” jawabku singkat.

“Kamu sekelas sama Neisya kan? Dia teman kamu kan?” tanya Fahmi sambil mengejar langkah kakiku.

Seketika aku menghentikan langkahku dan berkata “Iya. Memang kenapa?”

“Menurut kamu dia suka dengan hadiah apa ya? Coklat, bunga, atau boneka?”

“Jilbab.” Jawabku singkat.

Fahmi berfikir sejenak dan mengejar langkahku lagi. “Masa jilbab? Dia kan tidak berhijab Na!”

“Siapa tau nanti jadi berhijab. Lagian kenapa sih kamu pusing-pusing mikirin hadiah? Emang dia ulang tahun?” tanyaku heran.

“Aku mau ngasih hadiah Na sama dia. Kita kan sudah pacaran dua tahun. Sebagai hadiah hari jadi aku dan dia.” Jelas Fahmi.

“Kamu bangga sudah pacaran selama dua tahun Mi? Kamu tuh anak Rohis. Harus memberikan contoh yang baik.” Ucapku sedikit ketus.

“Bukan begitu Na. Aku tahu aku salah maka dari itu aku ingin putus dengan dia, dan setidaknya aku ingin memberikan kenang-kenangan untuknya.” Jelasnya.

“Terserah kamu.” Aku segera berlalu darinya dan memasuki ruang kelas. Seketika aku terkejut karena teman-temanku menarik tanganku. Kelas XI IPA 1 mulai ramai oleh suara teman-teman yang semakin panik dengan tugas fisika yang belum mereka kerjakan. Mereka meminta dengan belas kasihan kepadaku untuk memberikan jawabanku.

***

Tepat pukul 15.00 bel pulang sekolah berbunyi. Aku segera menuju masjid sekolah untuk melaksanakan sholat ashar. Setelah selesai sholat aku segera pulang menuju rumah, karena umi telah memintaku untuk membantunya menyelesaikan jahitan. Sesampainya di rumah aku segera bersiap untuk membantu umi. Pukul lima sore handphoneku berdering.

“Assalamu’alaikum Mi. Ada apa sore-sore telepon?”

“Kamu bisa datang ke depan komplek rumah? Aku tunggu disana.” Jawabnya lalu suara terputus.

“Untuk apa Fahmi menyuruhku sore-sore menemuinya?” aku bertanya dalam hati. Aku segera menuju depan komplek perumahan Victoria. Ternyata Fahmi sudah menungguku di depan komplek dengan motor beat hitam kesayangannya.

“Ada apa Mi? Kenapa tidak ke rumah saja?” tanyaku singkat.

“Maaf Na. Aku tidak enak sama umi kamu. Ini aku mau menitipkan jilbab untuk Neisya. Nanti kamu kasihkan ya. ” Ujarnya.

“Iya ok. Insya Allah.”

***

Keesokan harinya, aku berangkat seperti biasa. Pukul 6.00 aku sudah berada di dalam kelas. Pagi ini Neisya belum hadir, sehingga aku sempatkan untuk membaca Al-Qur’an sembari menunggu kehadirannya.

“Pagi Hana.” Sapa Neisya mengagetkanku.

“Neisya, kenapa mengagetkan sih.” ucapku kesal.

Neisya segera menuju bangkunya untuk meletakkan tasnya. Aku segera menghampirinya dengan membawakan sebuah kotak berwarna merah jambu dengan motif bunga-bunga.

“Ini dari Fahmi untukmu.” ucapku kepadanya.

“Apa ini?” tanya Neisya. Neisya segera membuka kado itu. Ia mendapati sebuah jilbab berwarna putih dengan hiasan sisi-sisi jilbab yang sangat indah.

“Jilbab? Aku kan tidak berhijab Na. Kenapa Fahmi memberiku jilbab?” tanya Neisya keheranan.

“Memang kalo memberi jilbab hanya kepada wanita yang berhijab? Mungkin ia ingin agar kamu berhijab. Aamiin.” ucapku menggoda.

“Tapi aku belum siap Na.” Jawabnya singkat.

“Nanti sepulang sekolah ikut denganku ya Sya. Hari ini anak Rohis akan mengadakan kajian keputrian. Kebetulan sedang membahas mengenai jilbab. Untuk mengisi waktu luangmu saja. Bagaimana?” Ujarku.

“Baiklah.”

Setelah pulang sekolah dan melaksanakan sholat ashar, kami menuju aula dekat masjid untuk mengikuti kajian yang disampaikan oleh Hj. Aisyah yang merupakan alumni dari sekolah kami dan saat ini telah menjadi seorang pengusaha busana muslim yang sukses.

“Berhijab itu tidak harus menunggu perilaku baik dahulu. Bagaimana jika perilaku belum bisa baik-baik lalu kita tiba-tiba meninggal dunia? Nanti tidak sempat berhijab. Berhijab itu merupakan suatu kewajiban bagi para muslimah. Seperti yang telah dijelaskan dalam Q.S. An-Nur : 31. Sehingga siap atau tidak siap, berhijab itu sudah menjadi kewajiban bagi setiap wanita yang beragama Islam.” Jelas Hj. Aisyah.

“Banyak sekali yang beralasan, bahwa banyak wanita yang telah mengenakan hijab namun perilakunya masih belum baik?  Hijab dan perilaku itu dua hal yang berbeda teman-teman. Perilaku baik atau buruk, menutup aurat itu memang tetap menjadi kewajiban bagi wanita yang beragama Islam. Padahal perlu diketahui teman-teman semua, seiring dengan berjalannya waktu ketika kita telah berhijab maka perilaku itu akan menjadi baik. Teman-teman tahu karena apa? Bukan karena malu sama kucing ya, tapi malu sama ini nih.” Lanjut penjelasan Hj. Aisyah sambil menunjuk jilbabnya.

Begitu banyak ilmu yang dapat diambil dari kajian tersebut. Setelah mengikuti kajian keputrian, aku dan Neisyah segera pulang.

***

Keesokan harinya tepat pada hari Jum’at, sesampainya di depan gerbang sekolah terlihat Neisya sedang berdiri mengenakan jilbab putih pemberian Fahmi. Ia menyapaku dan mengajakku untuk menemaninya menunggu Fahmi. Beberapa saat kemudian Fahmi datang dengan menggunakan motor beat hitam kesayangannya.

“Neisyah . .  How beautiful you are!” ucap Fahmi kagum melihat Neisyah.

“Thanks. Aku hanya ingin berbicara sebentar sama kamu Mi. Sebelumnya terimakasih telah memberiku sebuah jilbab sebagai hadiah. Tapi maaf mulai saat ini kita tidak dapat meneruskan hubungan pacaran kita. Aku hanya ingin menjadi wanita sholihah, sehingga aku tidak mungkin untuk tetap berpacaran. Aku ingin mencintai Allah SWT. sepenuhnya. Dan kita bisa menjadi teman.” Ujar Neisya.

Aku dan Fahmi terkejut mendengar perkataan Neisya, namun dalam hati aku merasa bahagia karena Neisya tidak akan terjerumus ke dalam jurang pacaran.

“Hhmm, baiklah Sya. Aku tidak masalah dengan itu. Kita masih bisa berteman, dan memang perbuatan kita selama ini salah Sya.” Jawab Fahmi sambil tersenyum.

“Kalian harus yakin jodoh itu tidak kemana-mana dan tidak mungkin tertukar. Tugas kita sekarang harus fokus untuk belajar dan terus belajar.” Sahutku.

“Nanti ajari aku lebih banyak tentang Islam ya Na.” Pinta Neisya.

“Aku juga Na.” Sahut Fahmi.

“Insya Allah, nanti kita sama-sama mempelajari lebih banyak tentang Islam ya.” Jawabku singkat.

Aku, Neisya, dan Fahmi segera melangkah menuju kelas. Kami merasa sangat bahagia sekali dan hati terasa tentram. Kami menyadari, setiap orang bisa kapan saja berhijrah menjadi lebih baik. Hidup ini adalah pilihan untuk menjadi baik atau buruk. Sedangkan pilihan untuk berhijrah menjadi lebih baik adalah  diri kita yang akan menentukannya bukan orang lain. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi STEI SEBI dan penerima manfaat BEASTUDI Ekonomi Syariah Dompet Dhuafa. Memiliki hoby memasak dan suka merangkai kata.

Lihat Juga

Bermacam Jalan Kebaikan

Figure
Organization