Topic
Home / Berita / Opini / Wahabi dan Deradikalisasi

Wahabi dan Deradikalisasi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Selabaran yang mengatasnamakan Daarut Tauhid. (daaruttauhiid.org)
Selabaran yang mengatasnamakan Daarut Tauhid. (daaruttauhiid.org)

dakwatuna.com – Istilah wahabi berkonotasi dengan kelompok ekstrem yang dianggap berbahaya oleh lembaga intelijen dan masyarakat umumnya. Tulisan ini mempersoalkan terminologi terkait etimologi (asal-usul kata), untuk mencocokkan adakah istilah ini terhubung dengan realitas sebenarnya.

Sejarah mencatat nama intelektual Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1791 Masehi) yang mazhab fiqḥ-nya (ilmu hukumnya) dianggap menjadi mazhab resmi kerajaan Arab Saudi. Ia dan kelompoknya tidak menamakan diri “Wahhabi” melainkan Al-Muwaḥiddun, ‘Pendukung Tauhid’.

Tauhid adalah keimanan kepada Tuhan Yang Ahad, dan menurut Abdul Wahhab tauhid telah dirasuki berbagai hal yang menjurus ke praktik syirk (pengabdian kepada Allah bersama tuhan-tuhan lain). Adapun “Wahabi” adalah julukan yang berasal dari pihak-pihak yang tak menyukai kelompok ini.

Muhammad bin Abdul Wahab adalah pengikut ajaran Ibnu Taymiyah (1263—1328 M), seorang faqih (ahli ilmu hukum) bermazhab Hanbali. Ibnu Taymiyah adalah seorang pembaharu dan pemurni, dengan ajarannya yang terkenal, “Kembali kepada Kitab Suci dan kepada Sunnah Nabi”, dan seruannya untuk meneladani kaum Salaf yang saleh yaitu kaum muslim dari tiga generasi pertama.

Ia memperjuangkan dibukanya pintu ijtihad (upaya merumuskan hukum menggunakan Quran, sunnah Nabi, dan akal) sepanjang masa. Meski bermazhab Hanbali, ia tak segan-segan mengkritik Ahmad Ibn Hanbal sang pendiri mazhab.

Ibnu Taymiyah dikenal menentang sikap-sikap taqlid (menuruti kata orang berdasarkan otoritas semata) dan jumud (beku, statis). Seperti Ibnu Taymiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab juga tak mau ber-taqlid kepada keempat mazhab (Hanbali, Hanafi, Malik, dan Syafi`i). Karenanya, ia tak disukai kalangan ulama.

Apakah Ibnu Taymiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab bertanggung jawab atas gerakan-gerakan ekstrem yang dikaitkan dengan wahabi? Ini tentu tak masuk akal, karena setiap individu menanggung dosa dan pahala masing-masing.

Bisa diterima jika gerakan-gerakan yang disebut “wahabi” (terkadang diimbuhi wa takfiri atau mengafir-kafirkan orang lain) itu ekstrem karena sifatnya yang melampaui batas. Tapi, perlu analisis yang kritis sebelum memberi atribut “radikal” kepada seseorang atau kelompok.

Menyoal Istilah Radikal

Kamus bahasa Inggris (misalnya Oxford Advanced Dictionary) menyebutkan radical sama artinya dengan fundamental, yaitu ‘thorough and complete’ (menyeluruh dan utuh); ‘favouring fundamental reforms’ (mendukung reformasi fundamental); ‘advanced in opinions and policies’ (maju dalam pandangan dan kebijakan).

Setidaknya, tak ada konotasi negatif di sana. Berasal dari kata Yunani radics (akar), kata ini menjadi salah satu ciri studi filsafat yaitu sampai ke akar, tuntas.

Jadi, mengapa harus ada “deradikalisasi”? Term ini mengacu kepada penanggulangan terorisme yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meliputi pencegahan dan perbaikan, yang mengandaikan adanya tindakan radikal dari para pelaku teroris. Padahal, kasus-kasus terorisme di negeri ini, juga di mancanegara seperti yang dilakukan ISIS, melibatkan pembunuhan menggunakan bom atau senjata api.

Itu tindakan yang tidak berkonotasi radikal tapi lebih kepada tindakan ekstrem, bahkan kriminal, dan Anda tak perlu berilmu tinggi untuk bisa berbuat ekstrem. Kita perlu berbuat sesuatu agar semangat deradikalisasi yang ada tidak menjurus kepada anti-intelektual.

Adapun tindakan-tindakan radikal lebih merupakan penafsiran terhadap ajaran agama. Karenanya, bisa benar dan bisa salah. Ini yang terjadi pada awal 2000-an ketika kelompok Islam Taliban di Afghanistan merusak warisan budaya umat Buddha yang dipahat di bukit-bukit batu.

Di Tiongkok, tokoh nasionalis Tionghoa Dr Sun Yat Sen (lahir 1859) sewaktu remaja pergi ke Hawaii dan bergabung dengan gereja di sekolah pemondokan Inggris. Ketika kembali ke Tiongkok pada usia 17, Sun menjadi pemuda yang radikal. Ia merusak patung-patung di kuil lokal karena dianggap berhala, lalu melanjutkan studi di Queen’s College, Hong Kong, dan dibaptis menjadi seorang Kristen di Gereja Congregational di sana.

Pada 1920-an di Hindia Belanda, kedatangan pihak kolonial Belanda di Papua disertai dengan penyebaran agama. Mereka menggantikan religi penduduk lokal Sentani yang dianggap menyembah berhala, dengan membakari rumah-rumah keramat serta lukisan-lukisan kayu karya warga Sentani.

Para Utusan Tuhan

Ibrahim Bapak Para Nabi mewariskan ajaran monoteistik yang lurus kepada agama-agama wahyu.

Dan Ibrahim muda adalah seorang yang radikal. Ia secara demonstratif menunjukkan kezaliman rakyat di negerinya yang mempertuhan patung-patung ciptaan mereka. Itu patung-patung yang bahkan tidak mampu menolong diri sendiri, ketika Ibrahim menghancurkan seluruh patung dan menaruh kapak penghancur itu di pundak patung terbesar seakan ingin menunjukkan bahwa berhala itulah pelakunya.

Aparat kerajaan bisa saja menangkapnya dengan sangkaan melakukan penistaan agama atau penghinaan simbol-simbol negara. Tapi, pesan tauhid Ibrahim tak terpatahkan dari generasi ke generasi: Allah Yang Esa tak boleh diduakan.

Risalah tauhid baru berhenti sampai hadirnya nabi sekaligus rasul terakhir, Muhammad. Dia adalah satu-satunya pewaris kenabian Ibrahim dari garis keturunan putera pertama, Nabi Ismail, yang selama berabad-abad tak menurunkan seorang nabi pun.

Sedangkan putera Ibrahim yang kedua, Ishaq, menurunkan Yaqub atau dikenal juga dengan nama Israil, sehingga keturunannya digelari Bani Israil (Anak-anak Israil). Bani Israil menurunkan nabi-nabi dan para rasul hingga rasul terakhir sebelum Muhammad, yaitu Isa bin Maryam. Suku paling pembangkang dari Bani Israil enggan menerima bahwa rasul terakhir, yang namanya tercantum di kitab suci mereka (Ahmad), ternyata gembala dari Arab. Itu kan negeri padang pasir yang nyaris tak berbudaya kecuali di bidang susastra.

Ahmad, pemalu dan buta huruf, bukanlah orang yang dengan gagah memasuki ka’bah untuk menghancurkan patung-patung berhala yang saat itu memenuhi rumah Allah. Alih-alih, nabi ini dengan sabar menepati perjanjian yang dibuat dengan kaum kafir untuk tak memasuki Mekah dalam jangka waktu tertentu.

Kelak, manusia dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong berhaji ke Mekah mengunjungi rumah yang didirikan Ibrahim. Kejujuran adalah karakter integral dari Muhammad dan ia tidak menyampaikan dakwah kecuali sebatas yang diwahyukan. Bahkan Tuhan pun menggunakan lisan sang Nabi ketika Dia berfirman, “Jika bukan karena Engkau Muhammad, Aku tidak akan menciptakan Adam”.

Muhammad yang konsisten menyampaikan ayat-ayat untuk tak melakukan penyerangan secara verbal terhadap praktik-praktik pemujaan berhala. Secara verbal saja dilarang, apalagi secara fisik. Kini perbuatan itu dinilai ekstrem, dan tampaknya tidak perlu tafsir yang rumit bagi larangan di bawah ini,

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” {QS.  Al An’am : 108}. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang penulis lepas berlatar jurnalistik di media cetak-media cetak maupun internet, termasuk kontributor untuk media cetak-media cetak bulanan, serta penulis buku Islam dan Seni Rupa, Daun-daun Surga (Wedatama Widyasastra 2007) dan (bersama-sama praktisi hukum Maqdir Ismail dan Adnan Buyung Nasution) buku Skandal Bank Bali, Perkara Hukum atau Politik? (Alvabet 1999).

Lihat Juga

Kepolisian Diraja Malaysia Tangkap Pendana Kelompok Teroris ISIS

Figure
Organization