Topic
Home / Berita / Opini / Reklamasi dalam Kacamata Islam

Reklamasi dalam Kacamata Islam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Reklamasi Teluk Jakarta. (wartabuana.com)
Reklamasi Teluk Jakarta. (wartabuana.com)

dakwatuna.com – Mencuatnya reklamasi Pantai Utara Jakarta menimbulkan banyak perhatian publik. Pembangunan yang kini dihentikan sementara dianggap cacat hukum karena melanggar setidaknya 7 undang – undang. Dalam memandang masalah ini, Islam punya sudut pandang tersendiri jauh sebelum adanya undang-undang yang berlaku dan pelaksanaan reklamasi di belahan dunia manapun.

Reklamasi memiliki kesamaan makna dengan istilah Al Islahat al aradhi al bahriyah atau memperbaiki tanah yang ada di laut. Adapun kitab yang membahas tentang hal ini adalah kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf yang hidup di zaman khalifah Umar Bin Khattab dan Al Amwal karya Abu Ubaid di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid dengan menggunakan istilah Ihya al-mawat.

Ihya al-mawat secara etimologi memiliki arti menghidupkan yang mati, namun maksud sebenarnya adalah menghidupkan tanah yang mati (ihya al-ardh al-mawat). Istilah ini memiliki perluasan makna, yaitu tak hanya tanah mati berupa hutan belantara saja yang menjadi objek, namun laut, sungai bahkan kutub sekalipun masuk ke dalamnya.

Setidaknya ada tiga sudut pandang Abu Ubaid mengenai Ihya al-mawat yang dibahas di bab ke-33 dalam karyanya, antara lain:

  1. Seseorang mendatangi wilayah mati, kemudian menghidupkan sampai muncul aktivitas kehidupan di situ. Sehingga dia berhak atas tempat itu. Contohnya seseorang yang menghidupkan sepetak tanah tak bertuan untuk bercocok tanam kemudian tanah itu menjadi miliknya.
  2. Pemerintah memberikan wilayah yang tidak terurus kepada perorangan/swasta untuk dikelola dan dihidupkan, dikenal dengan istilah iqtha. Maka pemerintah tidak berhak atas tempat itu lagi dan menjadi kepemilikan orang yang menghidupkan tempat tersebut.
  3. Seseorang yang membuat patok/batas tanah kemudian dia mengklaim bahwa itu miliknya dan melarang orang lain mengakui kepemilikan atas tanah tersebut.

Abu Ubaid melandaskan hal ini pada hadits Rasulullah SAW:

“Siapa saja yang memakmurkan (mengelola) sebidang tanah yang tidak dimiliki seorang pun, maka dialah yang lebih berhak (atas tanah tersebut).” (HR. Bukhari dari Aisyah RA)

Oleh karenanya, Islam memandang proses reklamasi boleh dilaksanakan. Apalagi bersandar pada kaidah ushul dalam muamalah yakni hukum asal dalam muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya.

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin yang tujuannya adalah mencapai maslahat masyarakat secara luas. Mengapa Rasulullah membolehkan Ihya al-mawat? Karena di sana terdapat tujuan untuk kemaslahatan.

Masalah sekarang adalah, apakah reklamasi ini bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sekitar atau sebaliknya. Jika segolongan orang beralasan bahwa reklamasi ini penting dilaksanakan karena  mendatangkan banyak manfaat di antaranya Jakarta memiliki daratan yang sedikit, reklamasi akan meningkatkan pajak dan perekonomian. Namun kita pun harus memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan di antaranya masyarakat nelayan yang akan kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggalnya, merusak biota laut dan lain sebagainya.

Pasalnya proses reklamasi ini menuai penolakan dari masyarakat sekitar walaupun mereka sudah diberikan sebagian haknya melalui pemberian tempat tinggal dan iming-iming mata pencaharian baru, namun masyarakat tetap melakukan aksi penolakan. Artinya masyarakat tidak setuju adanya reklamasi ini, padahal Rasulullah bersabda:

Said bin zaid RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang merampas sejengkal tanah dibumi ini dengan cara aniaya, Allah akan mengalungkan tanah yang dirampasnya itu ke lehernya di hari kiamat, dan ketujuh petala bumi” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam ushul fiqh, dikenal kaidah “Adhdararu yuzalu” yang artinya kerusakan harus dihilangkan dan kaidah lain “adhdharar ala dhirar”  yang maknanya kemudharatan/kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan melahirkan kemudharatan yang lain.

Pemerintah harus menimbang mudharat bagi siapa yang lebih besar yang akan ditimbulkan dalam reklamasi ini. Bukan hanya mementingkan sebagian golongan dengan merampas hak milik warga penduduk asli dan kemudian mempersilahkan tamu asing masuk untuk menjadi tuan rumah baru. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi STEI SEBI, Depok.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization