Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Memaknai Kesukaran, Memahami Kemudahan

Memaknai Kesukaran, Memahami Kemudahan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

ilustrasi-sedih-dan-senyumdakwatuna.com – Hari itu, ia telah bersiap meninggalkan kota itu, bersama suami dan anaknya, demi menyelamatkan aqidah, demi menyelamatkan keluarganya dari siksaan lain dari penduduk kota itu. Sejak mereka menerima aqidah itu, hidup mereka memang bagaikan menggenggam bara api: perih, pedih. Namun karena mereka yakin akan kebenaran aqidah itu, kesulitan itu mereka nikmati saja.

Lalu, seruan untuk hijrah itu datang. Negeri baru yang dikelilingi kebun kurma itu telah menunggu saudara seiman mereka dari tanah Mekkah. Berbondong muslimin Mekkah menuju negeri baru yang lebih ramah itu: Madinah. Maka ia pun turut merencanakan migrasi itu, bersama suami dan anaknya.

Namun ternyata, keluarganya tak ridho. Sesaat sebelum keluarga kecil itu hendak berangkat, keluarganya datang. Mereka berkata pada suaminya, “Kami tidak akan membiarkanmu pergi dengannya ke negeri lain!”.

Mereka memisahkannya dari suaminya. Demi melihat dirinya berusaha dipisahkan, ia pegang erat anak-anaknya. Tapi rupanya keluarga suaminya tak rela. “Kami tak akan biarkan keponakan kami bersama wanita itu kalau kalian ambil istrinya dari saudara kami,” tahan mereka. Lalu mereka mereka merebut anak itu, membawanya pergi.

Demi mengikuti perintah Rasulullah, sang suami tetap hijrah ke Madinah, sendiri. Dan tinggallah ia sendiri.

Wanita mana yang sanggup menahan air mata jika dipisahkan sekaligus dengan dua orang terkasihnya? Sedang kehilangan anak saja sudah menjadi sebuah perih, tapi di sini: ia telah dipisahkan pula dengan kekasih hatinya. Kalau saja bukan karena iman dalam hatinya, tak mungkin ia bisa bertahan. Namun ia tetaplah wanita, sekuat apapun ia berusaha tegar, tapi tangis tak bisa ia tahan. Setelah dipisahkan dari anak dan suaminya, setiap hari, Ummu Salamah pergi ke Abthah -suatu tempat di antara Mekkah dan Mina. Di sana ia menangis, pagi hingga sore, begitu terus setiap hari, hingga hampir setahun lamanya.

Tempatnya menangis memang sepi. Namun tangisan pilunya ini ternyata menjadi kabar yang menyebar dari mulut ke mulut. Kebanyakan mereka tak perduli, sebab rasa benci yang besar akan aqidah baru yang dianut Ummu Salamah. Namun banyak juga yang tak sampai hati mendengar tangisan pilu itu, lalu jatuh iba.

Tentu saja, rasa iba itu tiba di telinga seorang kerabat Ummu Salamah yang dulu telah menahannya dari hijrah ke Madinah.

“Mengapa tak kalian keluarkan wanita miskin ini dari Mekkah. Kalian telah pisahkan ia dari anak dan suaminya,” ujar pembawa berita itu.

Ya, Ummu Salamah diijinkan untuk hijrah. Bani Abdul Asad -keluarga Abu Salamah yang telah menahan anaknya- lalu mengembalikan anaknya.

Bukan main berbinarnya wajah wanita itu demi melihat buah hatinya dikembalikan padanya. Segera ia naiki kendaraannya, dengan memangku buah hatinya. Tanpa berpikir apa-apa, segera ia berangkat menuju Mekkah, menyusul suaminya.

Begitulah. Kesukaran, rasa pedih, serta kesulitan bukanlah sebuah isyarat untuk berhenti. Apalagi jika jalan yang dituju adalah jalan yang terang benderang unsur kebaikannya. Apalagi pekerjaan yang dikerjakan adalah satu hal yang jelas sekali kelurusan syariahnya. Bukanlah satu tanda untuk berhenti adanya sebuah kekusutan, apalagi jika pekerjaan itu jelas dalam koridor keTuhan-an.

Bukan pula sebuah kemudahan itu tanda bahwa jalan itu dipenuhi ridho Ilahiyah, apalagi jika tidak jelas bahwa jalan itu bukan aktivitas Ilahiyah. Bukankah sejak masa kanak-kakaknya, Fir’aun tidak pernah ditimpa kesulitan? Bukankah selama 13 tahun Allah membiarkan mudah bagi Abu Lahab untuk menghujani onak dan duri pada RasulNya? (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Ibu rumah tangga dengan 4 anak luar biasa, serta istri dari seorang suami yang tak kalah luar biasanya. Mengisi waktu senggang menjadi dokter pelayanan kesehatan di sebuah klinik dhuafa di masjid Baitul Ihsan, Kompleks perkantoran Bank Indonesia. Mengisi mentoring mahasiswa di kampus almamater, serta mengisi sebuah rubrik di media online suarajakarta.co

Lihat Juga

Makna di Balik Sabar

Figure
Organization