Topic
Home / Berita / Profil / Kusmanto, Mutiara dari Timur Indonesia yang Memaknai Amanah dan Jabatan sebagai Jalan untuk Pengabdian

Kusmanto, Mutiara dari Timur Indonesia yang Memaknai Amanah dan Jabatan sebagai Jalan untuk Pengabdian

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Kusmanto, SH, MH., ketua DPW PKS Papua. (Sunardi)
Kusmanto, SH, MH., ketua DPW PKS Papua. (Sunardi)

dakwatuna.com – Amanah besar seolah selalu menghampiri Kusmanto, SH, MH. Meski ia bukanlah tipe orang yang mencari-cari amanah, jabatan ataupun kedudukan, tugas-tugas besar itu selalu mendatangi salah satu kader terbaik dari PKS Papua ini. Sebagai seorang kader partai dakwah, ia pun berusaha untuk selalu siap di lini mana pun partainya menempatkan. Ia harus selalu siap ditempatkan di posisi mana pun, baik sebagai kiper, backwing, ataupun penyerang. Ia pun berusaha memaknai setiap amanah dan jabatan yang diberikan sebagai jalan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Ia ingin setiap amanah dan jabatan yang dimilikinya membawa dampak sebanyak-banyaknya bagi kemaslahatan masyarakat.

Seperti saat ia mendapat amanah untuk menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kabupaten Merauke Periode 2003-2009. Sebenarnya ia ingin menolak amanah ini, karena saat itu ia sedang berkonsentrasi untuk meniti karier di bidang kenotariatan. Namun, karena ia takut tergolong orang yang sombong dengan menolak amanah, maka amanah itu pun diterimanya. Berbagai program pun dirancang untuk mendekatkan PKS pada masyarakat Merauke, salah satu program unggulannya ialah aksi pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat. Kegiatan ini tak hanya dilakukan di wilayah perkotaan, namun juga digelar hingga ke wilayah yang terkategori daerah-daerah terisolir. Salah satu contohnya ialah kegiatan pelayanan kesehatan, khitanan massal gratis, dan pembagian pakaian layak pakai di daerah Muting yang berjarak sekitar 270 km dari kota Merauke. Aksi pada tahun 2003 ini dianggap cukup heroik, mengingat untuk menuju daerah terisolir ini dibutuhkan perjuangan luar biasa. Kerusakan parah mewarnai hampir di setiap jengkal jalan menuju lokasi ini. Karena alasan ini pula lah, ketika itu partai-partai lainnya seolah tak mau melirik daerah ini. Warga pun menyambut antusias aksi yang digelar oleh partai yang masih baru terbentuk di daerah itu. Bahkan tak sedikit warga yang sampai menitikkan air mata demi melihat anak-anak muda yang menjangkau wilayah mereka yang selama ini relatif tak terjamah. Program-program pelayanan seperti ini yang  ia perbanyak untuk semakin mendekatkan partainya kepada masyarakat.

Saat ia menerima amanah sebagai Ketua DPD PKS, ia mempersyaratkan tidak mau dijadikan calon anggota legislatif (caleg). Tidak pede (percaya diri) yang menjadi alasannya. Masih sangat muda, katanya. Karena saat itu usianya masih di bawah 30 tahun. Maka ia sebagai ketua DPD bersama para pengurus lainnya mulai bergerilya mencari tokoh-tokoh berpengaruh yang diharapkan akan bersedia di-caleg-kan. Banyak tokoh didatangi, di antaranya ialah pengusaha sukses, H. Kamiadi dan seorang tokoh masyarakat Merauke, H. Ajnan Rosadi (yang saat ini menjadi aleg dari PKB). Ungkapnya kepada para tokoh itu, “Biar kami yang bekerja di lapangan, nanti bapak-bapak yang duduk di dewan.” Namun, para tokoh itu menolak dengan berbagai alasan, yang sebenarnya adalah karena merasa ragu terhadap partai yang digawangi oleh anak-anak muda selain karena partai ini masih baru dan belum dikenal.

Hingga menjelang batas akhir masa pendaftaran caleg, PKS Merauke belum mendaftarkan seorang pun. Karena tidak mungkin sebuah partai politik tanpa caleg, Kusmanto pun didaulat untuk maju menjadi salah satu caleg di nomor jadi. Ia pun tak mampu menolak. Maka Kusmanto mulai mendapat amanah untuk mengkampanyekan dirinya.

Kusmanto yang saat itu bekerja di salah satu kantor notaris, memanfaatkan waktu  sore hingga malam hari untuk mendatangi warga dari rumah ke rumah di kampung. Pagi kerja di notaris, malam ‘door to door’ ke kampung. Semua dilakukan dengan serba nekat, tak ada sumber dana, semua berjalan apa adanya. Dari RT ke RT, rumah ke rumah, ia menemui warga secara langsung. Ia manfaatkan waktu sore hingga malam hari dan hari-hari libur untuk menyapa konstituennya.

Hasil kerja kerasnya di luar dugaan. Saat hari H perekapan, pleno KPU menyatakan bahwa Kusmanto mendapatkan nomor urut kursi ke-3 dari total 8 kursi di Daerah Pemilihan 2 Merauke (meliputi distrik Semangga, Tanah Miring, Jagebob, Eligobel, Ulilin dan Muting). Ia hampir tidak percaya akan hasil yang diraih. Tidak percaya mendapat kursi.

Hari pelantikan tiba. Ia pun meminta izin kepada pimpinan di kantornya, Bapak Alosius Dumatubun, SH. Saat permohonan izin disampaikan, pimpinannya bertanya, “Siapa dilantik mas, bapak mas atau kakek mas?” Saat dijawab dirinya sendiri yang akan dilantik, bosnya pun kaget, “Kapan mas nyalegnya?” Dalam benak sang bos, Kusmanto tak pernah izin kerja, semua tugas hariannya dikerjakan seperti biasa. Tak ada pekerjaan yang terbengkalai. Tapi, tiba-tiba kini ia dilantik menjadi anggota dewan. Demikian kisah haru Kusmanto melenggang ke kursi dewan.

Sebenarnya kedekatan Kusmanto dengan masyarakat bukan hanya saat ia dicalegkan. Jauh sebelum itu, saat ia memutuskan hijrah dari Jayapura ke Merauke, Kusmanto lebih memilih untuk bekerja sebagai tenaga pendamping desa daripada menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS). Padahal di tahun 1998 saat itu, peluang untuk dirinya menjadi seorang PNS terbuka lebar. Pasalnya, setelah lulus Fakultas Hukum, Kusmanto mengambil akta IV sebagai lisensi untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah. Saat itu sedang dibuka penerimaan PNS secara besar-besaran untuk tenaga guru. Namun, Kusmanto lebih memilih untuk menjadi tenaga pendamping desa yang ketika itu dinamakan Tenaga Kerja Profesional Mandiri (TPM) pendamping daerah transmigrasi. Pilihannya ini menjadikannya telah sejak dini terbiasa mengurus dan melayani kebutuhan warga masyarakat dari satu desa ke desa lainnya di kabupaten dengan julukan kora rusa itu.

Tugasnya untuk mengurus masyarakat ini menjadikan Kusmanto telah sejak dini terbiasa berbagi dan berempati bersama warga di sana. Ia tidak akan menutup mata terhadap masalah yang dihadapi warganya. Karena sifatnya inilah, ia dititipi tiga orang anak dari keluarga yang kurang mampu. Ketiga anak angkatnya itu pun dididiknya sejak balita sebagai mana anak kandungnya sendiri. Semua kebutuhannya dipenuhi dan masing-masing anak disekolahkan sesuai kemauan sang anak. Kini, anak angkat tertuanya sudah diantarkannya sebagaimana cita-cita sang anak menjadi seorang polisi, dan saat ini telah berdinas di Polda Papua. Anak angkatnya kedua kini sedang menempuh perkuliahan semester kedua. Sementara anak angkatnya ketiga kini sedang duduk di kelas XII SMA. Sebenarnya ia tak mau menyebut mereka sebagai anak angkat, mereka pun dianggap anak kandung sebagaimana empat anak kandung yang dimilikinya. Dalam pandangan Kusmanto, rezeki yang dimilikinya ada hak orang lain.

Kembali ke kisahnya menduduki kursi parlemen. Kusmanto berpikir keras, agar keberadaannya di kursi dewan bisa dioptimalkan untuk sebanyak-banyaknya kemaslahatan masyarakatnya. Sebagai anggota dewan ia benar-benar ingin bisa menjadi penyambung lidah rakyatnya. Untuk tujuan ini, Kusmanto senantiasa turun ke tengah-tengah masyarakat, mendengar keluh-kesah mereka dan menyerap apa yang menjadi aspirasi mereka. Agar ia bisa senantiasa dekat dengan konstituennya, Kusmanto membina kelompok-kelompok komunitas dan juga membina hubungan secara personal. Setiap momentum ia gunakan untuk menyerap aspirasi mereka. Ia sering menggelar makan bersama warga sembari mendengar keluhan-keluhan mereka. Dari sini, Kusmanto bisa melakukan advokasi program pemerintah yang diperlukan masyarakatnya. Sebut saja sejumlah program yang dapat diadvokasinya seperti pengembangan perkebunan karet, bantuan peternakan sapi, dan membuka akses jalan yang terputus di wilayah-wilayah terisolasi. Dalam program yang disebut terakhir ini, misalnya ia pernah memperjuangkan terbukanya akses jalan yang terputus menuju daerah Muting.

Lelaki kelahiran Grobogan, 17 Mei 1973 ini juga memberikan perhatian yang besar bagi pembangunan rumah ibadah, baik masjid maupun gereja. Dari perjuangannya, kini puluhan kampung di dapilnya memiliki masjid yang layak, sebut saja di antaranya Masjid Al-Muqarrabin di kampung Waninggakai dan Masjid Al-Istiqomah di Kampung Waninggapsae. Masjid-masjid itu direhab kembali dengan bantuan dana sekitar Rp 100 juta hingga 200 juta untuk setiap masjidnya. Hampir semua masjid dan gereja di Merauke sudah merasakan pemberian bantuan itu. Alhasil, masyarakat di kampung-kampung itu akhirnya bisa melaksanakan ibadah dengan nyaman. Baginya, pembinaan rohani adalah sangat penting. Agar pembinaan rohani warga masyarakat berjalan dengan baik, hal yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu adalah tempat ibadah yang layak dan nyaman.

Hal penting lainnya yang mendapat perhatiannya ialah masalah pendidikan. Kusmanto menyoroti masalah pengelolaan pendidikan di pedalaman yang kurang profesional. Sekolah-sekolah di pedalaman kurang tertangani dengan baik sehingga proses belajar mengajarnya tidak berjalan dengan baik. Ia menyaksikan sendiri ketika berkunjung ke Kampung Kladar Distrik Waan, ada sebuah sekolah diajar guru sukarelawan yang merupakan siswa tamatan SD setempat. Melihat kenyataan demikian, Kusmanto berusaha agar dalam setiap kesempatan pandangan anggota dewan ataupun fraksi, ia mengusulkan solusi atas persoalan tersebut yaitu dengan pemberian tunjangan dari pemda untuk daerah terpencil. Pemberian tunjangan daerah ini diperlukan karena hal ini akan menghadirkan rasa keadilan, mengingat untuk menuju ke daerah-daerah terpencil seperti Distrik Waan, Tabonji, Wanam, Okaba, Tubang, dan lainnya butuh biaya mahal dalam perjalanan. Selain itu, tunjangan tersebut juga bisa dimaknai sebagai penghargaan bagi mereka karena telah bersedia mengajar di daerah yang jauh dari kemajuan tersebut. Tunjangan dari pemda juga diusulkannya diberikan bagi tenaga kesehatan dan pegawai distrik di daerah-daerah terpencil tersebut.

Saat ada kebijakan pemberian fasilitas berupa mobil dinas bagi para anggota dewan di Merauke, Kusmanto menjadi satu-satunya aleg yang menolak fasilitas tersebut. Alasannya ialah mobil dinas berupa Avanza hanya cocok digunakan di kota. Sementara wilayah dakwahnya yang meliputi daerah-daerah kampung dengan kondisi jalan banyak yang rusak, tidak mungkin dikunjunginya menggunakan mobil. Selain itu, ia tak sampai hati menikmati fasiltas mobil tersebut di tengah kehidupan berat masyarakatnya. Ia lebih memilih tetap menggunakan motor GL-Max kepunyaannya untuk terus menyapa konstituennya di distrik Semangga, Tanah Miring, Jagebob, Eligobel, Ulilin dan Muting.

Setelah dua periode duduk di DPRD Kabupaten Merauke (periode 2004-2009 dan 2009-2014), Kusmanto diamanahkan oleh pengurus PKS tingkat provinsi (DPW PKS Papua) untuk maju menjadi caleg tingkat provinsi. Dalam pemikirannya, sebenarnya ia belum siap untuk mendapat amanah yang lebih besar, namun karena ini penugasan maka ia pun tak dapat menolak. Ia diminta maju dari Daerah Pemilihan (Dapil) Papua 7 yang meliputi Kab. Merauke, Asmat, Boven Digul, dan Mappi. Kesemua kabupaten itu secara lokasi berada di wilayah selatan Papua. Faktor kesuksesannya melakukan pembelaan kepada masyarakat selama menjalankan tugas sebagai aleg DPRD Kabupaten Merauke selama dua periode, menghantarkan Kusmanto melenggang ke kursi DPR Papua untuk periode 2014-2019. Kusmanto mendapat kursi ke-4 dari 6 kursi yang tersedia di Dapil 7 tersebut.

Sejak dilantik menjadi anggota DPR Papua (DPRP), Kusmanto mulai terlibat aktif dalam isu-isu tingkat provinsi. Seperti saat ada isu sara pelarangan pembangunan masjid Baiturrahman dan pelarangan jilbab di Wamena, ia pun mewakili teman-temannya dari DPRP mengawal proses rekonsiliasi di Wamena. Pada 2 Maret 2016, Kusmanto memimpin delegasi DPR Papua dalam rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Kabupaten Jayawijaya di Wamena dalam rangka mengawal dan memastikan proses rekonsiliasi berjalan dengan baik. Pelarangan pembangunan Masjid Baiturrahim Wamena akhirnya disepakati untuk dicabut. Pembangunan  masjid tetap dilanjutkan meski mengalami penyesuaian ukuran. Demikian pula dengan masalah pelarangan jilbab dan pelarangan aktivitas ke-Islaman di kabupaten di pegunungan tengah Papua itu pun disepakati dicabut. Kedua kubu yang bertikai sepakat untuk berdamai. Masalah sara yang sempat menyita perhatian, bukan hanya di lokal Papua tapi juga nasional itu pun selesai dengan damai.

Sebagai aleg provinsi, ia mulai memikirkan bagaimana memberi masukan kepada pemerintah provinsi agar menghadirkan pemerataan keadilan pembangunan di Papua. Dalam hal ini, ia juga memberikan perhatian untuk dapilnya. Dalam benaknya, suatu saat dapilnya akan dimekarkan menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) menjadi Provinsi Papua Selatan. Untuk menuju ke sana, Kusmanto mengusulkan dibukanya rute transportasi laut yang siap hilir mudik melayani wilayah-wilayah selatan Papua ini. Hal ini diperlukan, mengingat bahwa kapal yang ada saat ini baru mampu menjangkau sejumlah wilayah di pesisir selatan Papua. Akibatnya, banyak wilayah yang seharusnya bisa dijadikan sentra pertumbuhan ekonomi kawasan, namun karena belum terhubung oleh transportasi, akhirnya menjadi kawasan terisolir.

Jika di wilayah pesisir selatan Papua saja masih ada yang terisolir, apatah lagi dengan daerah yang terkategori pedalamannya. Untuk membuka isolasi wilayah pedalaman ini, selain memperkuat transportasi udara, Kusmanto juga mengusulkan adanya perencanaan yang matang terkait dengan pembangunan infrastruktur jalan yang memadai.

Ia juga mengusulkan agar Merauke dibangun menjadi daerah transit sehingga menjadi pusat pusaran baru di wilayah Papua Selatan. Harus diupayakan membuka isolasi baik darat, laut, maupun udara dari Merauke ke kabupaten-kabupaten sekitarnya. Kusmanto mengusulkan adanya sarana penyeberangan yang menghubungkan Merauke dan Mappi. Dengan sarana penyeberangan ini, kendaraan dari Merauke yang membawa barang bisa langsung masuk ke dalam kapal yang akan membawanya ke Mappi. Demikian pula sebaliknya, hasil-hasil pertanian dari Mappi bisa langsung diangkut oleh kendaraan yang akan diseberangkan oleh kapal menuju Merauke. Dengan terbukanya transportasi di wilayah selatan Papua ini, tentu saja akan mempermudah akses barang dan jasa. Dengan lancarnya akses barang dan jasa, pada gilirannya nanti kemajuan wilayah selatan Papua pada khususnya dan Papua pada umumnya bukan hanya isapan jempol belaka.

Kepindahannya ke Jayapura untuk menjalankan tugas sebagai anggota DPR Papua ternyata diikuti amanah yang lebih besar berikutnya. Sesuai dengan hasil Pemilihan Umum Internal (PUI) kader PKS Papua, Kusmanto diamanahkan untuk memimpin Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS Provinsi Papua masa khidmat 2015-2020. Jika boleh menolak, ia pun akan menolak amanah ini. Karena dalam benaknya masih banyak kader yang layak untuk amanah ini. Namun, karena tidak ada ruang untuk penolakkan itu, ia hanya menjawab ‘sami’na wa atho’na’. Perjalanannya selama ini melatihnya untuk selalu siap ditempatkan di lini mana pun. Ia harus selalu siap, mau diposisikan sebagai kiper, back, wing, ataupun penyerang.

Sebagai ketua DPW, ia ingin membangun PKS Papua sebagai kepanjangan tangan DPP dalam artian menjalankan semua program-program yang diamanahkan DPP PKS. PKS Papua diupayakan menjadi dinamisator DPD kabupaten/kota se-Papua. PKS Papua diupayakannya agar bisa menjalankan fungsi pembinaan, pendampingan, monitoring dan evaluasi kepada DPD PKS kabupaten/kota se-Papua, sehingga capaian-capaian yang telah diraih bisa dilipatgandakan, baik capaian secara struktural maupun secara kultural. Sebagai informasi, capaian PKS Papua pada pemilu 2014 yang lalu yaitu 50 kursi DPRD kabupaten/kota, 3 kursi DPR provinsi, dan 1 kursi DPR Pusat. Capaian politik ini penting, sebab menurutnya sebagai parpol mau tidak mau akan masuk di pusaran kekuasaan, baik di legislatif maupun eksekutif agar bisa berkontribusi kepada rakyat. Muara pendirian parpol adalah bagaimana kita bisa melayani masyarakat. Bagaimana memaksimalkan SDM yang dimiliki untuk berkhidmat pada rakyat. Semakin banyak kader yang menduduki posisi strategis, akan semakin mudah melakukan terobosan-terobosan yang berdampak pada kepentingan masyarakat.

Akhirnya, dengan segala yang telah dilakukan dan dicita-citakannya, tak salah jika kita mengelarinya sebagai salah satu mutiara dari timur Indonesia. Semoga para kader dakwah bisa mencontoh salah satu prinsipnya untuk selalu bersiaga ditempatkan di lini mana pun, baik sebagai kiper, backwing, ataupun penyerang demi kejayaan umat, bangsa, dan negara. Semoga. (dakwatuna.com/ndh)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang guru Fisika di Madrasah Aliyah Darud Da�wah wal Irsyad (DDI) Jayapura, Papua. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Program Studi Fisika dari Universitas Cenderawasih tahun 2004, dan pasca sarjana di bidang yang sama dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2011. Dalam bidang tulis menulis, Sunardi pernah menyabet juara pertama Lomba Penulisan Essay untuk Guru Tingkat Nasional pada tahun 2007 yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah bekerja sama dengan Maskapai Lion Air. Tulisannya saat itu yang berjudul �Menyongsong Fajar Baru Pendidikan di Papua� yang dilengkapi dengan data-data akurat dan dengan gaya bahasa penulisan �semi sastra� telah menambat hati Taufik Ismail sebagai salah satu juri lomba untuk memberikan nilai tertinggi. Sunardi menikah dengan Husnul Khotimah dan dikaruniani seorang putri bernama Billahi Tahya Haniiah (5 tahun).

Lihat Juga

Tegas! Di Hadapan Anggota DK PBB, Menlu RI Desak Blokade Gaza Segera Dihentikan

Figure
Organization