Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Masihkah Uang Menjadi Alat Penyimpanan Nilai yang Ideal?

Masihkah Uang Menjadi Alat Penyimpanan Nilai yang Ideal?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (republika.co.id)
Ilustrasi. (republika.co.id)

dakwatuna.com – Masihkah uang menjadi alat penyimpan nilai yang ideal? Pertanyaan ini terkadang terlintas di benak masyarakat yang mata uang negaranya terus mengalami penurunan daya beli. Uang yang selama ini disimpannya selama bertahun-tahun tidak lagi dapat membeli barang dalam kuantitas dan kualitas yang sama seperti pada saat awal disimpan. Uang merupakan alat tukar yang telah dipakai selama berabad-abad lamanya dan diharapkan dapat menjadi jembatan bagi semua transaksi antar kebutuhan manusia. Uang juga diharapkan menjadi alat penyimpan nilai yang sewaktu waktu dapat dipakai, namun bagaimana jika daya beli uang semakin berkurang?

Berbicara sedikit tentang sejarah uang, sebelum manusia memakai uang sebagai alat tukar, manusia memakai sistem barter atau tukar menukar barang agar mendapatkan kebutuhan. Sebagai contoh, seseorang menukarkan sapi untuk mendapatkan baju sebagai kebutuhan. Namun seiring berjalannya sistem barter, ditemukan berbagai kendala. Kendala yang pertama adalah tidak selalu tersedianya barang atau jasa yang menjadi kebutuhan, terlebih lagi jika dibutuhkan secara cepat. Kemudian sulit menilai antara satu barang dengan barang yang lainnya, sebagai contoh jika ada seseorang yang ingin menukarkan sebuah berlian dengan jagung, maka pertanyaannya butuh berapa banyak jagung yang harus ditukarkan. Tidak ada kejelasan nilai di antara barang yang akan ditukar. Masalah yang selanjutnya adalah barang-barang yang hendak dijadikan alat tukar terkadang tidak awet, mudah rusak dan nilainya bisa berganti sehingga tidak dapat menjadi penyimpan nilai. Seperti halnya jika seseorang menyimpan sapi untuk alat tukar, suatu saat sapi yang disimpan akan mati sehingga sapi tersebut tidak akan dapat menjadi alat tukar dan penyimpan kekayaan untuk periode mendatang. Oleh sebab itu, maka dibutuhkan suatu benda yang ideal untuk dijadikan alat tukar maupun penyimpan nilai. Maka ditemukanlah istilah uang. Uang hadir dengan bentuk yang berbeda-beda dari memakai kerang, gigi, logam, hingga kertas.

Pada dasarnya, fungsi uang dibutuhkan sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai. Uang yang didapat kemungkinan akan dipakai di waktu mendatang yang diharapkan daya belinya tidak berubah. Namun, pada saat ini uang yang dimiliki sering menurun daya belinya. Tampaknya uang tidak lagi ideal sebagai penyimpan nilai tidak seperti awal diciptakan sebagai penyimpan nilai. Jika dicermati penyebabnya, banyak faktor yang melatarbelakangi menurunnya daya beli uang. Dari menurunnya nilai tukar dibanding dengan negara lain, meningkatnya jumlah uang yang beredar di masyarakat dan lainnya. Faktor yang paling terasa cepat adalah ketika nilai tukar melemah dibanding dengan negara lain.

Nilai mata uang tak ubahnya seperti komoditi yang harganya bisa dikendalikan oleh permintaan dan penawaran belaka. Jika mata uang luar negeri lebih banyak permintaannya daripada permintaan uang dalam negeri, maka nilai mata uang dalam negeri akan melemah dan sebaliknya. Keadaan ini dapat menyebabkan harga barang-barang impor dari negara tersebut akan naik. Hal ini sangat berbahaya jika ada yang dengan sengaja membeli secara besar besaran uang suatu negara dengan motif spekulasi dan keuntungan sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian.

Berbeda dengan ekonom Islam, Imam Ghazali, uang tidak dianggap sebagai komoditi yang diperjualbelikan, terlebih lagi dispekulasikan sehingga mendatangkan keuntungan. Uang memiliki peranan sebagai cermin, yaitu menggambarkan nilai dari suatu komoditi, barang atau jasa dan bukan merupakan bagian dari komoditi itu sendiri sehingga tidak ditujukan untuk jual beli yang menghasilkan keuntungan.

Kemudian, masalah fundamental dalam keuangan selanjutnya adalah bahan fisik uang itu sendiri yang memiliki nilai intrinsik tidak seimbang dengan nilai nominalnya. Faktanya, saat ini tidak ada benda atau barang berharga untuk mem-backup uang yang beredar di masyarakat. Sehingga dengan mudah diperbanyak dan nilainya pun mudah berubah bahkan menurun drastis.

Hal ini telah terjadi di beberapa negara yang ekonominya sedang terpuruk. Zimbabwe, salah satu negara di Afrika, mengalami pelemahan mata uang secara drastis. US$ 1 setara dengan 35 ribu triliun dolar Zimbabwe. Pelemahan ini disebabkan oleh pencetakan yang berlebihan oleh bank sentral yang mengakibatkan naiknya harga barang-barang di Zimbabwe. Pencetakkan yang berlebihan seperti ini dapat saja terjadi jika barang pembuat uang atau nilai intrinsiknya memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai nominalnya.

Berbeda halnya dengan sistem keuangan dalam ekonomi Islam, uang terdiri dari dinar dan dirham. Dinar terbuat dari emas dan dinar terbuat dari perak. Sehingga nilai intrinsik dan nominalnya seimbang. Keseimbangan nilai intrinsik dan nominal ini menjadikan nilai mata uang menjadi stabil karena uang itu sendiri berasal dari barang yang berharga. Tidak hanya berharga karena mendapatkan stempel dan pengakuan dari suatu negara. Namun dinar dan dirham akan tetap bernilai di negara manapun. Bahkan, jika negara pencetaknya telah tiada, dinar dirham tetap akan bernilai karena terbuat dari emas dan perak. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang sarjana akuntansi yang tengah bekerja di salah satu lembaga keuangan syariah. Berusaha agar terealisasinya praktek dan tujuan ekonomi syariah sebagai salah satu syariat yang diperintahkan oleh Allah SWT dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. Aktif di beberapa lembaga dakwah mulai dari SMA sampai sekarang.

Lihat Juga

Kiat Bertahan Hidup

Figure
Organization