Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Aku Ingin Menjadi Kekasih-Mu

Aku Ingin Menjadi Kekasih-Mu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ariestamerdeka.wordpress.com)
Ilustrasi. (ariestamerdeka.wordpress.com)

dakwatuna.com – Kita mengetahui bahwa terdapat dua jenis manusia dalam kaitannya berhubungan dengan Allah; manusia sebagai hamba dan manusia sebagai kekasih Allah.

Jika menjadi hamba Allah saja sudah begitu mulia, apalagi jika kita bisa menjadi kekasih Allah.

Untuk menjadi kekasih Allah, penting tentunya mengethaui sebab-sebab seorang manusia mencintai Allah. Imam Al-Ghazali menyampaikan ada beberapa sebab seseorang mencintai sesuatu:

Sebab Pertama. Manusia mencintai dirinya, mencintai kesempurnaannya, mencintai kelanggenan eksistensinya dan membenci hal-hal yang menghancurkannya, membenci hal yang meniadakan, mengurangi atau memutus kesempurnaannya.

Orang yang tersengat matahari pasti mencintai naungan sehingga bisa dipastikan bahwa ia juga mencintai pohon yang dari pohon itu naungan itu ada. Semua yang ada di sekitar kita mengikuti keberadaan Allah sebagaimana keberadaan cahaya mengikuti matahari atau keberadaan naungan mengikuti keberadaan pohon.

Manusia bukanlah mahkluk yang bisa berdiri sendiri; keberadaannya, kesempurnannya dan kelanggengannya pasti karena campur tangan Dzat yang Maha Pencipta, Dzat yang Maha Berdiri Sendiri, Allah SWT. Jadi, jika manusia mencintai keberadaan dirinya, maka ia pasti mencintai Dzat yang karena karunia-Nya dia ada.

Sebab kedua. Manusia mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.

Seandainya ada orang yang menyerahkan seluruh hartanya kepada kita, memperlakukan kita dengan lemah lembut, memberi bantuan, memberi pembelaan dan menghalau musuh-musuh kita. Bagaimana perasaan kita?

Tentu kita akan mencintai orang tersebut.

Lalu apakah benar bahwa kebaikan-kebaikan itu berasal dari orang tersebut?

Siapa yang memberikan orang itu kelimpahan harta?

Siapa yang mengajarkannya berlaku lemah lembut?

Siapa yang mendorongnya untuk membantu kita?

Siapa yang menanamkan rasa cinta kepadanya dan memahamkannya bahwa kebaikan dunia dan akhiratnya adalah dengan cara berbuat baik kepada kita?

Seandainya semua itu tidak ada, maka orang itu tidak akan berbuat baik kepada kita. Jadi, yang berbuat baik adalah yang telah memaksa orang itu berbuat baik kepada kita, orang itu hanya sebagai perantara yang menyampaikan kebaikan Allah kepada kita.

“Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya” (An-Nahl: 18)

Sebab ketiga. Manusia mencintai orang yang berbuat baik kepada dirinya sendiri, meskipun kebaikannya tidak sampai pada kita.

Jika kita mendapatkan berita tentang raja yang adil, ahli ibadah, alim, kasih sayang kepada rakyat dan lemah lembut, sedangkan raja tersebut berada di belahan bumi yang jauh disana, kemudian kita mendapatkan berita tentang raja yang zalim, sombong, fasiq dan jahat yang juga berada di belahan bumi lain. Maka perasaan kita tentu berbeda terhadap dua raja tersebut. Hati kita akan mencintai raja pertama dan membenci raja kedua, meskipun kita tak memperoleh kebaikan raja pertama dan keamanan dari kejahatan raja kedua.

Maka Allah adalah sebaik-baik raja.

Ia berjasa terhadap setiap makhluk di seluruh belahan bumi. Ia menciptakan, menyempurnakan, memberi kenikmatan dan mempercantik makhluknya dengan berbagai keistimewaan.

Sebab keempat. Manusia mencintai keindahan, karena keindahan itu sendiri, bukan karena kepentingan yang diperoleh dari balik pencapaian keindahan tersebut.

Keindahan terbagi menjadi dua bagian, lahir dan batin.

Keindahan lahir bisa dicapai oleh anak-anak dan binatang; Kecantikan, ketampanan, pemandangan yang asri, sungai yang mengalir jernih dan lain sebagainya.

Keindahan batin bisa dicapai oleh “orang-orang yang memiliki hati”. Contohnya adalah cinta kepada para Nabi, Ulama dan orang-orang yang berakhlak mulia. Keindahan pada orang-orang mulia ini tetap tergambar, meskipun boleh jadi gambaran wajah dan seluruh anggota badannya tidak indah.

Kita pahami bahwa setiap kebaikan ilmu, kemampuan dan kesucian yang menghiasi pada Nabi dan Ulama adalah bentuk dari kekuasaan Allah untuk menyempurnakan ciptaannya, maka setiap keindahan yang kita lihat seharusnya juga mengingatkan kita akan Sang Pencipta Keindahan, Allah.

Sebab kelima. Kesesuaian (Munasabah)

الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh itu ibarat pasukan yang dibariskan; yang saling kenal diantaranya menyatu dan yang saling tidak kenal diantaranya berpisah” (HR Muslim)

Untuk bisa memperoleh kedekatan dengan Tuhannya, maka seorang hamba diperintahkan untuk meneladani dan berakhlak pada beberapa sifat rububiyah. Sifat-sifat Allah seperti berilmu, berbuat baik, lemah lembut, mengasihi mahkluk, memberi nasihat, membimbing pada kebenaran dan melarang dari kebatilan. Semua sifat itu dapat mendekatkan hamba dengan Tuhannya.

Sebagai penutup, Imam Al-Ghazali berkata:

“Siapa yang mencintai selain Allah, bukan karena adanya keterkaitan kepada Allah, maka hal itu adalah karena kebodohan dan kekurangannya dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW adalah terpuji karena merupakan buah dari cinta kepada Allah. Demikian pula cinta kepada Ulama’ dan orang-orang bertaqwa, karena kekasihnya kekasih adalah kekasih, Utusan kekasih adalah kekasih dan pecinta kekasih adalah kekasih. Pada hakikatnya tidak ada kekasih kecuali Allah ta’ala dan tidak ada yang berhak mendapatkan cinta, kecuali Dia”

Wallahu A’lam Bishawab.

Diringkas dari buku: Ḥawwá, S. and Ghazzālī, (1999). Mensucikan jiwa. Jakarta: Robbani Press.

(dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Santri Tahfidz Smart 4, Indonesia Quran Foundation

Lihat Juga

Sebuah Nasihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Figure
Organization