Topic
Home / Berita / Opini / Jihad dan Pesantren

Jihad dan Pesantren

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Jihad Liberal vs Radikal

dakwatuna.com – Sumanto Al Qurtuby menulis buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progressif (terbit pertama Oktober 2009). Penulisnya adalah alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang yang mengambil program doktor di Boston University, AS, bidang antropoligi politik dan agama. Meski judulnya terkesan Islami dan toleran, namun secara mengagetkan dan sharih (gamblang) buku ini menghalalkan praktik seks bebas dan menolak UU Pornografi dan Pornoaksi. Sumanto menulis:

“Jika seorang dosen atau penulis yang “menjual” otaknya untuk mendapat honor, atau seorang dosen atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki dan perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak dan istri/suami mereka?”

Ia juga menulis, “Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan, dan organ tubuh yang lain. Agama seharusnya “mengakomodasi” bukan “mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas kita yang kotor. Ingatlah bahwa dosa bukan karena “daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan hati kita yang penuh noda.” (Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Perguruan Tinggi Indonesia, hal. 1)

Tentu kita patut bertanya, bagaimana lulusan fakultas syariah bisa menjadi seperti itu? Terlebih lagi pemikiran yang anti Islam itu diklaim olehnya sebagai jihad. Namun, memang demikian ekspresi “jihad” versi Barat. Terma jihad menjadi alat justifikasi kaum orientalis dan liberal untuk memasarkan paham-paham liberalisme. Jihad yang Islamic oriented tidak laku dan dianggap ekstrimis dan radikal. Inilah makna dekonstruksi jihad (penggeseran makna jihad) versi Barat.

Gagasan ini tidak lepas dari asumsi Derrida bahwa dalam mendekati teks kita harus skeptis dan maksud penulis tidak perlu diutamakan, yang ada hanyalah kesempatan untuk menafsirkan dan mengomentari teks tanpa batas. (Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat Refleksi tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi, hal. 218) Ide ini selain cocok dengan doktrin relativisme juga menolak kebenaran dari Tuhan.

Dari sini maka kalangan liberal menawarkan dekonstruksi tafsir jihad. Namun, dekonstruksi jihad yang dimaksud harus pro kepentingan Barat. Hal ini berpijak dari premis-premis orientalis yang Islamophobia bahwa jihad dalam arti perang melahirkan cap kejam pada Islam. Berpegang teguh dan menyarakan syariat dianggap radikal, fundamentalis, terorisme, kekerasan, dan lain-lain. Maka, jihad yang benar bagi mereka adalah pluralisme, desakralisasi teks, kesetaraan gender, dan paham-paham pro Barat lainnya. Sehingga, berjihad malah berarti menghancurkan iman dan takwa. Dan, memang orientalis memahami jihad tanpa iman dan anti ulama.

Di sisi lain, kaum radikal ekstrimis juga menjadi pemicu Barat beranggapan demikian. Meski latar belakang mereka berupa pembelaan terhadap klaim dan usaha mengusir dan melumpuhkan orang-orang kafir bisa dibenarkan, namun tak jarang jihad yang mereka lakukan tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan syariat sehingga malah membuat kaum muslimin sendiri terbunuh dan membuat citra Islam semakin buruk dalam pandangan masyarakat global.

Masih sangat jelas dalam benak kita bagaimana ISIS melancarkan aksi-aksi brutalnya terhadap manusia. Belum lagi berbagai kasus pengeboan dan kamikaze yang dilakukan oleh kaum ekstrimis di Indonesia di gereja dan tempat-tempat umum yang banyak memakan korban bukan hanya orang non muslim namun juga muslim, sehingga pesantren pun kena getahnya dengan stigma “sarang teroris”, “radikal”, “penebar kekerasan”, dan stima-stigma buruk lainnya.

Dalam memahami jihad dan segala terminologi Islam kita harus melihatnya dengan kacamata Islam yang benar sehingga maknanya tidak salah atau bahkan kontradiktif destruktif. Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam memiliki hukum syariat yang adil, universal, dan sesuai dengan setiap ruang dan zaman, serta member kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat.

Makna Jihad

Jihad dalam terminologi fiqh sering diartikan sebagai usaha dengan segala kemampuan fisik untuk menegakkan kalimat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ الله هِيَ الْعُلْيَا ، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ (رواه الشيخان)

Artinya: “Barangsiapa berperang untuk kemuliaan kalimat Allah, maka dia berada di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim)

Jihad pun pada haikatnya adalah jihad pribadi. Hal ini diupayakan untuk menggapai kesempurnaan realisasi kebaikan dan jauh dari kejahatan sesuai aturan Allah Ta’ala. Allah menegaskan:

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ [العنكبوت : 6]

Artinya: “Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al ‘Ankabuut:6)

Dalam Islam ada banyak macam jihad. Syekh Zainuddin al-Malibari menyebutkan beberapa, diantaranya adalah menegakkan hujjah agama, mempelajari ilmu-ilmu syariat seperti tafsir, fiqh, dan hadits, mencegah kemudlaratan muslim yang terjaga darahnya (ma’shum), amar ma’ruf nahi munkar, menyanggupi dan melakukan persaksian, menghidupkan Ka’bah, dan menjawab salam dari satu golongan. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, hal. )

Islam juga menstimulasi satu bentuk jihad khusus dengan sebutan jihad akbar, yaitu Jihad al-Nafs. Salah satu tujuan terpenting dari Islam adalah mengupayakan manusia agar dapat menguasai hawa nafsu yang selalu mendistorsi kecenderungan alami seseorang untuk melakukan keburukan (ammaratun bi al-su’). Hal ini akibat dari lemahnya kepribadian dan kurangnya wawasan. Maka Allah Ta’ala mewajibkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya sehingga tidak keluar dari rel syariah untuk mencari ridla dan pahala dari-Nya. Jihad besar berlaku permanen sepanjang masa dan tidak terkait territorial negara Islam.

Rasulullah bersabda, “Kita baru saja pulang dari jihad kecil (perang), setelah ini kita akan menuju jihad besar.” Kemudian seseorang bertanya, “Apa itu jihad besar wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Jihad al nafs.” (Meluruskan Radikalisme Islam, hal. 267-269)

Dalam fiqh istilah jihad biasa diartikan sebagai jihad bi al-qital (perang). Terkait dengan isu radikalisme dan ekstrimisme yang digulirkan oleh Barat, maka pemahaman yang benar tentang teknis jihad qital menjadi urgen.

Secara umum jihad hukumnya fardlu kifayah (kolektif), namun bisa saja jihad menjadi fardlu ‘ain karena beberapa sebab, diantaranya ketika dua pasukan telah berhadapan, ketika orang kafir telah menyerang Negara, dan ketika seorang imam menunjuk suatu golongan untuk berangkat berperang.

Untuk merealisasikan hukum jihad ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Adapun persyaratan bagi mujahid harus Islam, mukallaf, mampu secara fisik dan materi, serta diridlai orang tuanya. Sedangkan persyaratan orang kafir adalah harus bukan musta’man (diberi suaka), mu’ahad (mengadakan perjanjian damai), atau dzimmi (dilindungi penguasa muslim dengan membayar jizyah). Ada lagi satu persyaratan yang disebutkan oleh DR. Sa’id Romdlan al-Buthi, yaitu harus melalui komando resmi seorang imam a’zhom. Maka tidak dibenarkan ada seorang atau kelompok berangkat berjihad tanpa seizing Imam, baik raja, presiden, atau khalifah, bukan pimpinan golongan tersebut. Nabi bersabda:

الجهاد واجب عليكم مع كل أمير. (رواه أبو داود)

Artinya: “Jihad itu wajib bagi kalian bersama (perintah) setiap pemimpin.” (HR. Abu Dawud)

Untuk menentukan kebijakan jihad tersebut Imam juga harus memandang berbagai aspek dan akibat. Jika penyerangan justru akan berdampak buruk terhadap stabilitas negara, maka Imam tidak boleh sewenang-sewenang menetapkan kebijakan berperang. Hal ini didasarkan bahwa pada zaman Rasulullah jihad baru diperintahkan ketika beliau sudah memiliki kekuatan daulah Islam Madinah dan cukup untuk menghadapi lawan-lawannya. (Syekh Muhammad Najih, Kajian Sekilas tentang Teror, hal 12-14)

Adapun bom bunuh diri (kamikaze) yang menjadi tren kalangan radikal hukumnya haram mutlak baik dalam keadaan normal atau berperang, bahkan termasuk dosa besar karena membunuh dirinya sendiri. Meski mampu membunuh orang kafir, bom bunuh diri menyebabkan musuh Islam bersikap semakin keras dan membabi buta terhadap kaum muslimin, sehingga stigma terhadap Islam akan semakin buruk. (Kajian Sekilas tentang Teror, hal. 16-18)

Pesantren Pengobar Jihad

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu Islam, namun juga menanamkan semangat jihad dan perjuangan disertai keikhlasan hati dan pengorbanan. Pesantren dalam rekaman sejarah Indonesia telah berhasil menjadi benteng pertahanan bagi masyarakat Indonesia. Tidak sedikit kita temukan para pejuang mulai zaman kolonialisme hingga era kemerdakaan berasal dari kaum santri dan kyai yang gigih menyuarakan jihad secara fisik ataupun intelektual untuk menghalau dan melepaskan diri dari imperialism kaum kafir.

Pada zaman kolonialisme Belanda sejarah mengenal sosok para santri berjuang di medan perang seperti Sultan Agung, Imam Bonjol, dan Pangeran Diponegoro. Sultan Agung dari Kesultanan Mataram bersama Dipati Ukur melancarkan serangan terhadap VOC Belanda tahun 1628-1629 M hingga banyak serdadu Belanda ditawan di Yogyakarta. Imam Bonjol bersama para lama menggelorakan perang Paderi tahun 1821-1837 mennghadapi kaum Adat yang bekerjasama dengan Belanda. Pangeran Diponegoro yang pada masa mudanya hidup di lingkungan pesantren Tegalrejo dan serius dalam belajar ilmu agama berjuang bersama para ulama dan santri melancarkan peperangan hingga hampir membangkrutkan negeri Belanda dan menelan korban dari pihak Belanda hingga 700 jiwa dan biaya perang 20 juta Golden.

Pada era kemerdekaan kita mengenal sosok para ulama pejuang kemerdekaan nasional seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. KH. Hasyim Asy’ari melakukan resolusi jihad bersama kaum santri di Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan. KH. Wahab Hasbullah dan Mas Mansoer mendirikan Nahdlatul Wathan (embrio Nahdlatul Ulama) yang berjuang mengembangkan pendidikan dan kesadaran politik nasional terhadap kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Terlebih lagi sikap istiqamah dan ikhlas para ulama pesantren dalam mengajarkan ilmu-ilmu Islam sebagai implementasi jihad intelektual. Pengajaran terhadap kitab-kitab ulama yang luhur seperti Fath al-Qatib, Fath al-Mu’in, Aqidah al-‘Awam, Ta’lim al-Muta’allim, Bulugh al-Maram, Alfiyyah li Ibni Malik, dan lainnya dilakukan secara intens, disiplin, dan konsisten. Mereka juga mengarang kitab dalam berbagai fan iomu untuk mengembangkan keilmuan Islam dan meluruskan berbagai kesesatan dari pihak kafir atau muslim sendiri. Jihad intelektual dan amar ma’ruf nahi munkar inilah yang membuat eksistensi pesantren tetap tegap dan megah melewati dinamika sejarah dan tidak bergeming oleh rekayasa kaum penjajah.

Epilog

Jihad memiliki banyak macam yang semuanya menuju satu tujuan yaitu I’lai kalimatiLlah, dan setiap muslim wajib memiliki semangat jihad dan melaksanakannya sesuai kemampuan dan kemaslahatan kaum muslimin, karena jihad adalah kewajiban agama yang paten dan abadi sampai Hari Kiamat. Dan, sejarah telah menunjukkan bahwa pesantren telah memiliki jiwa jihad tersebut dan melaksanakan bermacam-macam jihad yang telah disebutkan dimuka, baik secara fisik ataupun intelektual. Semangat para pendahulu inilah yang harus selalu dipompa dan diperbaharui oleh kaum santri untuk mencapai kejayaan Islam yang adil dan mengayomi seluruh kaum muslimin. Wallahu A’lam. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis lahir di Pati tahun 1991. Belajar di MI, MTs, dan MA Darul Falah Sirahan Cluwak Pati hingga tahun 2009. Aktif dalam menulis di berbagai media Islam lokal pondok pesantren dan meneliti berbagai pemikiran Islam.

Lihat Juga

Meneguhkan Pesantren Tanpa Rokok

Figure
Organization