Topic
Home / Berita / Opini / Agar Tak Menjadi Thaghut bagi Kader PKS

Agar Tak Menjadi Thaghut bagi Kader PKS

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – “Yang kami maksud dengan tsiqah adalah rasa puasnya seorang jundi terhadap qiyadahnya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya. Dengan keikhlasan mendalam yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan, dan ketaatan.” (Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Risalah Ta’lim mengenai Rukun Baiat; Tsiqah).

“Yang kami maksud dengan tsiqah adalah kepercayaan dan ketenangan (kemantapan hati) seorang jundi kepada qiyadahnya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya, sebab kepercayaan dalam hal ini akan menciptakan rasa cinta, hormat, dan taat.” (Imam Syahid Hasan al Banna dalam Arkanul Baiat disalin oleh KH. Rahmat Abdullah pada bukunya yang berjudul “Untukmu Kader Dakwah”.

Rasanya, singkat cerita jika seorang jundi yang merasa tidak adil dan ada upaya meretas atas keputusan qiyadah dianggap sebagai perlawanan, permusuhan, pendewaan jiwa dan nafsu, pembodohan diri, dan lain-lain. Cukup dengan sebutan tsiqah dan tidak tsiqah. Biasanya kita bisa melihat berbagai alasan; antara qiyadah dan jundiyah. Tak berpatok bahwa salah satunya pasti benar. Karena salah satunya adalah manusia biasa. Bedanya, jika qiyadah itu berstruktur sedangkan seorang jundi yang diberi putusan (oleh qiyadah) itu tak berstruktur. Karena kesendiriannya itu membuatnya tak berstruktur dan terstruktur. Kaidahnya tetap sama, yang tak terstruktur akan kalah oleh yang terstruktur. Walaupun yang terstruktur itu adalah kezhaliman.

Seperti halnya bahasa, terstruktur bisa digunakan oleh dua mata fungsi, kebaikan dan keburukan. Jika terstruktur digunakan untuk kebaikan, maka jangankan orang dalam yang tsiqah, bahkan orang luar pun akan merasa tsiqah karenanya. Siapa yang tidak mau dengan kebaikan? Bahkan para penjahat dan kaum musyrik pun menyukai kebaikan. Namun sebaliknya, jika terstruktur digunakan untuk keburukan (atau tak sadar digunakan untuk sebuah keburukan), maka jangankan orang luar, orang dalam pun tak akan tsiqah. Siapa pula yang mau dengan keburukan? Bahkan para penjahat dan kaum musyrik pun tak suka keburukan. Terstruktur yang digunakan untuk keburukan inilah yang akan melahirkan tirani.

Tirani selalu bermula dari sana; saat seseorang atau sekelompok orang atau sebuah rezim kehilangan respek dan penghargaan kepada orang lain atau kelompok lain atau rezim lain. Ketika respek dan penghargaan hilang, persepsi kita beralih ke dalam dirinya. Saat itu hanya satu lagi yang ditunggu oleh tirani untuk muncul menjadi kenyataan; kekuasaan yang meligitimasi. Itu sebab tirani selalu terkait dengan kekuasaan, sekecil dan sebesar apapun skalanya. Kekuasaan adalah otoritas netral yang dapat digunakan untuk melegalkan apa saja. Maka ketika respek dan penghargaan hilang lenyap, berganti dengan kebencian, maka kekuasaan akan memberi jalan mulus bagi wujudnya sebuah tirani.

Dalam kalut internal PKS, saya tak ingin mengatakan bahwa PKS adalah sebuah tirani. Kader merekalah yang lebih memahami. Karena hingga saat ini PKS lah satu-satunya Partai yang memiliki struktur rapi, sistem terkuat, dan tidak tergantung pada tokoh-tokohnya. Namun pemberhentian Fahri Hamzah oleh PKS cukup mengejutkan. PKS telah memberikan bayanat umum pasca bocor dan keluarnya SK Majelis Tahkim PKS. Dan Respon Fahri Hamzah menuai gelombang hingga akar rumpun. Bahkan ini juga menimbulkan gejolak besar bagi pemilih Fahri Hamzah pada Pemilu tahun 2014 lalu. Dengan kata lain, PKS dengan kepengurusan sekarang dapat distempel sebagai penjegal pertanggungjawaban Fahri Hamzah terhadap konstituennya yang jumlahnya terbesar di partai itu.

Bayanat panjang itu juga runut dan runtun dari setiap kronologi peliknya masalah. PKS memberikan bayanat itu untuk meredam kekalutan kader di daerah. Karena sebelum DPP PKS menyatakan resmi memberhentikan Fahri Hamzah dari semua jenjang kepartaian, foto surat keputusan Majelis Tahkim itu telah beredar di dunia maya. Fahri Hamzah mengakui bahwa surat itu muncul pertama kali dari tangan seorang pengusaha. Kita semua tahu perbuatan membocorkan dokumen rahasia atau dokumen yang belum saatnya dipublikasikan itu bagian dari sebuah kejahatan. Bukankah orang tersebut juga layak diberhentikan?

Bayanat panjang itu tentu merujuk pada tindak ketidakdisiplinan Fahri Hamzah terhadap Qiyadah dan kebijakan partai. Ketidakdisiplinan yang dimaksud juga termasuk adanya keperbedaan pendapat antara pengurus dan Fahri Hamzah. Namun pada kepengurusan PKS sebelumnya (Sela Pemilu 2014) kala Ust Anis Matta, Ust Hidayat Nurwahid, Ust Tifatul Sembiring ditanya tentang sikap Fahri Hamzah, mengatakan bahwa apa yang telah dilontarkan Fahri Hamzah adalah pernyataan pribadi, bukan representasi partai. Sehingga tidak perlu dihubungkan, karena ini bagian dari dinamika intelektual kader. Karena apa yang telah dilontarkan Fahri Hamzah semisal mengenai KPK dan Freeport adalah hasil dari pengamatannya yang telah dipresentasikan ke fraksi PKS.

Tentu kita tidak bisa memvonis siapa yang benar dan salah hingga disebut adil sampai kita tahu alasan kedua yang berkonflik. Fahri Hamzah dalam konpersnya selama 41 menit yang diupload di youtube telah menerangkan secara gamblang polemik yang terjadi sekaligus menjawab semua atas bayanat umum yang disebarkan oleh DPP PKS dan isi surat pemberhentian itu. Jika poin di atas tadi adalah mengapa surat bisa bocor, maka poin selanjutnya dari Fahri Hamzah menyatakan bahwa Presiden PKS, Muhammad Sohibul Iman bertindak rangkap dalam proses pemberhentiannya; dimana kata Fahri Hamzah, Presiden PKS bertindak sebagai pengadu, penyidik, sekaligus sebagai hakim, sampai yang menandatangani surat pemberhentian itu. Namun nampaklah orang yang tidak ikut menandatangani, yaitu Ketua Majelis Qadha. Fahri Hamzah juga menjelaskan bahwa Majelis Tahkim serasa dipaksakan dibentuk karena biasanya keputusan pemberhentian itu ada di Majelis Syura. Dan Ketua Majelis Syura tidak terlihat menandatangani surat itu. (Selengkapnya bisa dilihat di youtube).

Masih di tataran umum, banyak upaya dari kader PKS untuk meredam gejolak kader. Seperti halnya menyamakan kasus pemberhentian Fahri Hamzah oleh PKS ini dengan kisah pemberhentian Khalid bin Walid yang menjadi Panglima Perang. Kisah yang disebarkan itu, hanya menuliskan dua hal. Yaitu kekhawatiran Umar akan pemujaan kaum muslim atas kehebatan Khalid dan ketegasan Khalid yang mengatakan bahwa perang yang ia lakukan bukanlah karena Umar namun karena Allah. Padahal ada kisah sebelumnya saat Abu Bakar masih hidup di mana Khalid meninggalkan pasukannya untuk umrah sendiri bersama pengawalnya. Tak hanya itu, Khalid juga pernah menyerang dan menghukum mati Malik bin Numairah serta pasukannya yang menyerahkan diri lalu menikahi jandanya. Umar menganggap ini adalah kecerobohan Khalid, di samping itu Abu Qatadah dan Abdullah bin Umar juga berselisih dengan Khalid. Namun Abu Bakar menganggap ini adalah ijtihad seorang panglima yang harus diambil saat jauh dari khalifah.

Jika kita menarik kisah dari Rasul yang dilanjutkan oleh Abu Bakar dan Umar, maka kita mendapati bahwa ketiganya memiliki jagoan. Jika Rasulullah telah menyerahkan urusan pasukan kepada Usamah bin Zaid, maka Abu Bakar sangat percaya kepada Khalid bin Walid dan meminta Usamah menjaga Madinah. Begitu pun dengan Umar yang sangat tegas memberi kesempatan besar pada Abu Ubaidah al Jarrah. Namun ketiga orang itu telah dijuluki Rasulullah dengan sebaik-baik julukan, Usamah yang disebut sebagai orang yang paling kusayangi setelah ayahnya. Kepada Khalid bin Walid telah disebut si pedang Allah yang terhunus dan Abu Ubaidah dengan mantap ia adalah kepercayaan umat ini.

Kisah pemberhentian Khalid oleh Umar boleh saja jika dijadikan upaya untuk meredam kekalutan kader bawah. Namun, lebih cocok untuk meredam pribadi Fahri Hamzah itu sendiri sehingga para kader memahami karakter Fahri Hamzah apabila beliau telah legowo. Jika tidak, hal ini menjadi sebuah pemaksaan persepsi agar Fahri Hamzah harus bersikap seperti Khalid bin Walid. Terlalu jauh menganalogikan Pak Sohibul Iman dengan Umar bin Khathab sebagaimana menyamakan Fahri Hamzah dengan Khalid bin Walid.

Akankah berani jika kisah tersebut dianalogikan pula dengan kisah pemberhentian sebagian besar gubernur oleh Khalifah Ustman bin Affan lalu diganti dan dijabat oleh orang terdekatnya? Akankah berani jika kisah tersebut dianalogikan dengan pemberhentian Muawiyah sebagai Gubernur Syam oleh Ali bin Abi Thalib? Bukankah semua itu berpolemik? Beranikah jika upaya hukum yang ditempuh oleh Fahri Hamzah kepada PKS pun disamakan dengan upaya Husein bin Ali kepada Yazid bin Muawiyah? Ingatkah bahwa Abu Ubaidah pernah tidak menaati Khalifah Umar. Saat itu Khalifah Umar meminta Abu Ubaidah untuk pulang dan meninggalkan Syam karena sedang wabah penyakit Thaun. Lalu Abu Ubaidah menolak karena tidak mau meninggalkan kaum muslimin yang sedang meregang nyawa di bawah tanggungannya. Akankah sama? Tidak, semua sangat berbeda. Namun jika yang kita maksud adalah agar menauladani sifat dan sikap baik dari para individu tokoh yang tercerita dalam kisah tauladan itu, maka itu sudah tentu diharuskan.

Pemberhentian Fahri Hamzah oleh PKS seakan membuka sedikit tabir dan banyak prasangka, walau kita semua diminta untuk menjauhi prasangka. Pendekatan PKS kepada penguasa juga menarik kekhawatiran. Padahal jika PKS menyatakan diri sebagai oposisi loyal, maka sikap Fahri Hamzah sudah pas. Upaya PKS untuk mencitrakan diri sebagai partai menerima semua golongan pun kini menjadi sulit dipercaya konstituen umum mereka. Terlebih lagi rakyat timur Indonesia yang memilih Fahri Hamzah ataupun yang tidak. Upaya PKS untuk mengkompetisikan pendekatan kinerja daripada rasisme juga dapat dipertanyakan. Mengingat orang timur Indonesia sering kali direpresentasikan sebagai pemilik watak keras, ceplas-ceplos, lekas tanpa kompromi. Akankah hanya satu sifat dan sikap saja yang ada di PKS? Manhaj terbukti merapikan kerja-kerja dakwah, bukan untuk merubah watak. Sebagaimana Islam tak merubah watak Abu Bakar yang pengasih dan watak Umar yang keras.

Harapannya adalah agar kader PKS tidak buta atau dibutakan oleh ketaatan, ketsiqahan, dan ketaklidan. Jika frekuensi keimanan masih sama, mungkin saja hati-hati masih saling terhubung. Jika tidak, beristighfarlah lalu minta bayan khusus. Namun bukan berarti keterhubungan hati membuat nihil akan kesalahan. Para kader masih merindukan apa yang dirindukan para kader di barisan Forum Kader Peduli. Agar PKS dan Qiyadahnya tidak menjadi thaghut bagi kadernya.

Demikian juga untuk pemilih dan fans Fahri Hamzah. Kita semua telah membuktikan bahwa berharap kepada manusia hanya akan menambah kekecewaan. Bukan hanya karena manusia mutlak berdosa, tapi karena manusia juga banyak keterbatasan. Tokoh-tokoh yang kita idolakan sekarang ini bisa saja wafat, khilaf, atau difitnah. Kita perlu menakarkan semua dengan kadarnya. Karena setiap zaman, akan ada rahim-rahim yang mengandung benih-benih calon pemimpin hebat untuk dilahirkan sebagai solusi lalu mereka pun bernasib sama. Kalau tidak wafat, maka ia lenyap dalam khilaf atau tenggelam karena fitnah. Semua ada usianya. Agar Fahri Hamzah tak menjadi thaghut baru bagi kader PKS, para pemilih dan fansnya.

Kepada diri saya juga, mari perbaiki diri kita semua. Jangan lupakan target dakwah kita, nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk) dan Li i’laai kalimatillah (meninggikan kalimah Allah), hatta laa takuuna fitnatun wa yakuunaddiinu kulluhu lillah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Dan menjemput sebab-sebabnya. Karena hanya yang paling dekat dengan Allah (muadzifatullah) dan yang paling bermanfaat kepada umat (khairunnas anfauhum linnas)-lah yang akan diberikan kemenangan oleh Allah. (sb/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Debu semesta di bumi Palembang

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization