Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Antara Temujin dan Rajawali Quraisy

Antara Temujin dan Rajawali Quraisy

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (joelsantos.net)
ilustrasi (joelsantos.net)

dakwatuna.com – Dataran stepa Mongol pernah menjadi saksi lahirnya seorang anak, yang kelak akan membuat dunia berubah rona wajahnya untuk sekian zaman. Kini, kita mengenal Mongolia sebagai negeri yang hampir tak pernah lagi terdengar. Letaknya di yang berada dalam himpitan raksasa ekonomi Tiongkok dan negeri Beruang Merah Rusia, membuatnya seperti tak berkutik. Tapi, andaikan saya adalah anak dari bangsa Mongol, pasti pernah ada kebanggan besar dengan sejarahnya.

Di Abad pertengahan, para sejarawan menyepakati bahwa bangsa Mongol adalah satu dari sekian kekuatan besar yang memberi pengaruh luas di dunia. Bahkan Michael Hart dalam bukunya 100 Manusia paling Berpengaruh sepanjang sejarah menjadikan salah satu tokohnya –yang akan kita ulas ini- sebagai pemegang peringkat ke 21, mengalahkan Alexander, Napoleon, ataupun Hitler yang sama-sama pernah melakukan ekspansi besar.

Sekitar tahun 1162 Masehi, bangsa Mongol tak pernah mengira memiliki wanita yang melahirkan tokoh hebat yang diabadikan sejarah. Bayangkan saja, penunggang kuda yang berpindah-pindah, perang antar suku yang berkepanjangan, membuat mereka menjadi masyarakat yang terpinggirkan. Lahirlah seorang anak bernama Temujin. Ia adalah anak dari seorang kepala suku kecil di antara ratusan suku-suku Mongol yang ada kala itu. Di masa kecilnya, ia mesti menyaksikan ayahnya dibunuh di depan matanya, diusir dari kampung halamannya, hingga menjadi budak yang dibeli murah di kerajaan Tangut. Masa kecilnya sungguh berkabut.

Masa remajanya juga tak kalah lesu. Ia menjadi tawanan perang dan dipekerjakan layaknya hewan ternak di sawah-sawah musuhnya. Gelang besi menjuntai di sekeliling lehernya. Penderitaan itu bertambah getir ketika ia sengaja diberi makan setiap hari, agar kelak ketika ia besar, musuh-musuhnya bisa membunuhnya. Sebab dalam adat Mongol, seorang anak tidak boleh dibunuh, maka ia masih bertahan. Temujin tumbuh menjadi seorang yang nuraninya mati, disiksa setiap hari, kabur lalu ditangkap, lari lalu dipenjara.

Kebangkitannya bermula dari keberhasilannya meloloskan diri dari musuhnya, untuk kemudian bergabung bersama rekan ayahnya, Toghiril, dan bersama rekannya yang dulu pernah menolongnya, Jamukha. Ia menjadi seorang pembunuh yang gesit, juga melakukan serangkaian penyerangan kilat untuk membalas dendam pada musuh-musuhnya. Akhirnya terbit sebuah keinginan di hatinya untuk menyatukan semua suku Mongolia dalam kekuasaannya. Sebab ia tahu, bangsa Mongol sangat lihat menunggang kuda, pandai memanah dan suka berperang. Hanya saja tak ada yang menyatukan mereka. Maka, Temujin mengambil kesempatan itu. Ia satukan bangsa Mongol dengan kekuatan juga kecerdasan taktiknya, hingga semua suku bersatu dalam benderanya.

Sejak saat itu, semua bangsa di dataran Mongolia pada tahun 1206 bersatu untuk pertama kalinya di bawah pimpinan Temujin, yang kala itu digelari oleh pengikutnya dengan nama; Kaisar Semesta, atau dalam bahasa Mongolnya adalah, Genghis Khan. Masa muda yang getir, penindasan dan penganiayaan yang menimpa dirinya membuatnya tumbuh menjadi penguasa kejam.

Jangan ditanya berapa wilayah yang telah ia kuasai. Dalam sekejap, pasukan Mongol menguasai Cina, Korea, Asia Tenggara termasuk sebagian wilayah Indonesia, lalu menuju ke barat menyerang Khilafah Islam sampai menjatuhkan Baghdad. Eropa pun ia hadapi, sampai-sampai mengalahkan gabungan pasukan Jerman dan Bulgaria, hampir pula memukul mundur seluruh dataran Eropa. Wilayah yang sangat-sangat luas pada masanya, ditaklukkan dengan cara-cara yang mengerikan.

***

Di zaman yang berbeda, dari bangsa yang berbeda, ada satu kisah yang hampir mirip dengan apa yang dialami oleh Genghis Khan. Namun kali ini berasa dari bintang gemintang kaum Muslimin. Tersebutlah di sebuah zaman ketika dinasti Ummayyah runtuh tahun 750 Masehi, saat itu wangsa Abbasiyah meruntuhkan kepemimpinan wangsa Ummayah di Damaskus. Sejak perebutan kekuasaan itu, banyak sekali anggota keluarga wangsa Ummayah yang dikejar sampai ke sudut negeri, kemudian di bunuh. Saat itu fitnah benar-benar mejangkiti dunia Islam.

Adapun ia, namanya Abdurrahman bin Muawiyah, adalah satu dari sekian cucu Khalifah Bani Ummayah yang dikejar oleh tentara-tentara Abbasiyah hingga ia kabur dari negeri ke negeri untuk mencari bantuan dan pertolongan. Abdurrahman lari dari Iraq menuju Mesir, hingga kemudian ia mendapat pertolongan dari pamannya yang berada di Maroko.

Berapa usianya saat itu? Masih sangat muda, 19 tahun, namun penderitaan yang ia alami begitu dalam, sehingga membuatnya menjadi pribadi yang berbeda dengan remaja sebaya yang lain. Saat itu Abdurrahman adalah satu-satunya cucu yang mengalir di nadinya darah kepemimpinan Bani Ummayah. Ia bingung, sebab jika ia kembali ke timur, yakni ke sekitar Arab dan Syam, ia akan dibunuh. Jika ia tetap berdiam di Maroko, ia juga sedang diincar oleh pemimpin Khawarij saat itu, Abdurrahman bin Habib yang juga membenci Bani Ummayah. Akhirnya, di saat genting seperti itu, ia melihat satu tanah yang paling tepat untuknya; Andalusia.

Andalusia kala itu adalah tanah kaya raya – yang kini adalah Spanyol dan Portugal- namun penduduk muslimnya dalam keadaan terpecah belah, saling membanggakan suku dan bangsanya masing-masing. Banyak sekali ragam suku yang menghuni negeri Andalusia, seperti bangsa Barbar, bangsa Arab, dan bangsa Arab itupun terbagi-bagi menjadi suku-suku yang saling bersengketa. Padahal di utara mereka, kerajaan Kristen sedang bersiap meruntuhkan kekuasaan Islam di Andalusia. Namun Abdurrahman memilih negeri itu, karena ia satu-satunya negeri yang terpisah oleh samudera, dan disanalah banyak sekali orang yang loyal dengan Bani Ummayah.

Tahun demi tahun ia lewati. Abdurrahman bin Muawiyah berhasil menyatukan bangsa-bangsa yang tadinya bersengketa di Andalusia. Bayangkan, uniknya, di masa keberhasilannya yang gemilang, usianya baru menginjak 25 tahun, sebuah pencapaian besar bagi seorang pemuda. Dari Andalusia yang telah ia satukan, ia mengumumkan berdirinya kembali negeri Bani Ummayah yang kedua, yang berdiri terpisah dari Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Karena kecerdasan dan kepiawaiannya mengelola sebuah negeri dengan tangkas, suatu hari Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur –Khalifah Abbasiyah- bertanya pada menterinya, “Apakah kalian tahu siapa itu Rajawali Quraisy?” “Engkau wahai Amir” sahut mereka. “Tidak, bukan aku, sebutkanlah nama-nama yang kalian kenal”, maka para menteri menyebutkan nama-nama besar yang menjadi raja hebat di zamannya. “kalian semua salah”, kata Al-Manshur, “Rajawali Quraisy adalah Abdurrahman bin Muawiyah”.

***

Antara Temujin dan Abdurrahman bin Muawiyah, keduanya adalah bintang sejarah yang melukiskan kisahnya masing-masing dengan caranya sendiri. Baik Temujin yang kelak dikenal dengan Genghis Khan, ataupun Abdurrahman bin Muawiyah, sama-sama mengalami masa kecil yang pahit; diusir, dikejar, diburu, diancam dan menjadi pelarian bertahun-tahun. Namun ternyata di masa jaya mereka berdua, sikap yang mereka anut begitu berbeda. Temujin menjadi kejam, Abdurrahman menjadi bijaksana. Apa yang membedakan keduanya?

Bisa jadi, jika Abdurrahman bin Muawiyah bukanlah seorang Muslim, ia akan lakukan hal yang sama sebagaimana Genghis Khan lakukan dengan kejam pada sepertiga daratan bumi. Namun, dalam jiwa Abdurrahman bin Muawiyah bersemayam darah kepemimpinan, ketangkasan, kehebatan politik Bani Ummayah yang telah dijinakkan sumbu-sumbu potensi kerusakannya oleh Islam. Siapa tak kenal Abu Sufyan, Muawiyah, dan Bani Ummayah lain yang dikenal dengan kehebatannya berpolitik dan berperang. Islam telah memberi celupan tersendiri bagi Abdurrahman sehingga ia menjadi pribadi yang, walau pahit masa lalunya, ia memaafkan dan tetap bijaksana.

Berbeda dengan Genghis Khan. Ia percaya segala kekuatannya bersumber dari Dewa Tengri, sebuah kepercayaan yang dianut oleh bangsa Mongol kala itu. Orangtuanya mendidiknya untuk membunuh tanpa ampun, dan ia hidup di tengah sistem rimba yang membabi buta. Sehingga, dengan adat-adat Mongol yang didominasi hal-hal kasar, ia menjadi penguasa yang kejam. Dalam perangnya, Genghis Khan dan pasukannya membakar bangunan, meluluhlantakkan sebuah kota, dan menyembelih penduduknya. Walau ia membuat hukum yang terkenal dengan ‘Yasiq’ kemudian dijadikan dasar hukum bangsa Mongol, hukum itu tetaplah memiliki banyak kelemahan dan menguntungkan mereka sendiri.

Islam, selalu saja memberi celupan yang menyeimbangkan. Memberi angin segar di tengah padang gersang, dan memberi api hangat di tengah kedinginan. Membuat yang lemah menjadi kuat, mengubah yang kejam menjadi penyayang. Wallahu a’lam. (sb/dakwatuna)

 

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization