Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Mengatasi Kegagalan

Mengatasi Kegagalan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sites.google.com)
Ilustrasi. (sites.google.com)

dakwatuna.com – Mungkin sebagian kita pernah merasakan kegagalan. Di saat telah merasakan berjuang, telah melakukan usaha maksimal tapi malah kegagalan yang kita temui. Lalu kita bertanya apa yang salah? Apa yang kurang dari usaha kita? Bukankah kita telah merasakan melakukan usaha yang begitu maksimal dan telah berjuang semampu kita? Mungkinkah Allah tidak adil?. Lalu kita bercermin kepada mereka yang melakukan usaha hanya sedikit atau  biasa-biasa saja tapi mereka lulus atau sukses, sedangkan kita kenapa? Pertanyaan di dalam batin selalu menghentak-hentak tanda tidak terima. Apa yang salah dari usaha kita? Inilah yang kadang menjadi pertanyaan masing-masing dari teman-teman kita termasuk penulis sendiri.

Bagaimana seharusnya kita mengatasi suatu kegagalan ketika kita menjumpainya? Apakah harus menangis begitu lama, berdiam diri saja di kamar atau malah mengakhiri hidup karena tidak kuat dengan sebuah kenyataan? Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menggunung di kamar kita membuat sesak sehingga kita tidak bisa melihat cahaya yang di luar. Seakan dunia menjadi gulita tidak ada mentari hanya hujan yang terus mengguyur menambah pilu kesedihan kita. Apa yang mesti kita perbuat? Sering kali kita terlalu terjebak pada suatu kondisi dan lupa dengan kondisi lain yang ada di luar sana. Dan juga ketika kegagalan mampir kita sempat mengumpat Tuhan bahwa Tuhan tidak adil atau Tuhan begitu jahat. Kenapa bisa terjadi? Bukankah usaha kita sudah maksimal, kita juga sudah sungguh dalam berjuang. Terus kita bilang kepada Tuhan, curhatan-curhatan kita malah kita sering menyalahkan Tuhan. Betapa ironinya kita. Sampai berani-beraninya menyalahkan Tuhan. Aneh bukan?

Permasalahan ini tentu pernah dirasakan oleh siapa pun juga, termasuk penulis sendiri. Mengatasinya bagaimana sih? Mungkin di sini saya tidak menuliskan tips-tipsnya karena akan berbeda masing-masing persepsi dari kita. Tapi coba kita bercermin kepada diri kita sendiri. Melihat sesuatu ke atas tidak akan membawa kita kepada pengevaluasian diri, malah membuat kita semakin jatuh dan terpuruk. Tapi cobalah melihat sesuatu itu ke bawah, kita akan menemukan betapa masih beruntungnya kita dari saudara-saudara kita. Kegagalan itu sudah biasa. Pepatah bijak pernah mengatakan, “bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”. Hanya saja ketika kegagalan mengetuk pintu kita, kita belum siap untuk menyambutnya. Kita maunya sekali berjuang berhasil. Bukankah Rasulullah di uji dengan kegagalan terlebih dahulu? Dakwah kesini ditolak, ke sana ditolak malah dilempari batu, dihina, dicaci, dilempar tai pula. Apakah rasul bersedih hati? Ya, Rasul pernah merasakan sedih. Tapi beliau tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Anak kecil yang baru belajar jalan pun mesti terjatuh terlebih dahulu, lalu bangkit jatuh lagi begitu seterusnya hingga ia benar-benar bisa berjalan dengan lancar. Thomas Alfa Edison penemu bola lampu pernah merasakan hampir seribu kali dia gagal, dan hingga akhirnya dia sukses. Orang-orang sukses hampir seluruh mereka pernah merasakan terlebih dahulu. Bukankah Allah mengasih semua itu untuk menjadi bahan pembelajaran agar lebih baik ke depannya? Lantas, kenapa kita masih asyik dengan nuansa romantisme kesedihan dan kelaraan?

Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul “Aku” mengatakan “Biar peluru menembus kulitku//Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari//Berlari//Hingga hilang pedih perih. Kalau kita maknai luka itu adalah sebuah kegagalan jangan sampai berhenti untuk terus berjuang. Jatuh bangkit lagi, jatuh bangkit lagi begitu seterusnya. Hingga hilang pedih perih, hingga kegagalan hilang kesuksesan datang. Begitulah mental seorang juara atau pejuang. Kita kembali kepada diri kita masing-masing. Ketika berusaha semaksimal mungkin siapkah kita untuk jatuh dahulu atau siapkah kita menerima keadaan yang tidak kita harapkan? Selalu bertanya kepada diri kita. Jangan lupa sertai Allah dalam gerak-gerik kita dalam keseharian-harian kita. Penuhi apa yang Allah mau, insya Allah akan memberikan juga apa yang kita butuh. Ingat bukan yang kita mau. Wallahu’alam.  (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Parlemen Turki Tetapkan Libur Resmi di Hari Kudeta Gagal Sebagai Simbol Persatuan Nasional

Figure
Organization