Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Tipisnya Ragaku, Terbentang Luas Jiwaku

Tipisnya Ragaku, Terbentang Luas Jiwaku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (elementaryos-fr.org)
Ilustrasi. (elementaryos-fr.org)

dakwatuna.com – Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuasaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuatannya. (Ibnu ‘Athaillah)

Detak irama hidup manusia terus mengalun. Tiap putaran waktu, tiap tindak dan laku, tiap deruan suaramu. Pernahkah kita menilik sedikit ke belakang, apa yang telah kita tanggalkan? Atau kita terlanjur kagum dengan apa yang kita sulam di hari ini? Raga manusia itu sungguh tipis. Air mata, degup jantung, kedipan mata, lantunan semangat. Semua itu memiliki keterbatasan. Akan tiba saatnya ketika mata terkatup hingga tertutup. Karenanya kita sebagai manusia biasa tidak dapat hidup tanpa ada sumber yang abadi. Ya.. sumber abadi itu hanya bisa kita dapatkan dari Illahi Yang Maha Tinggi.

Dan jangan engkau kira itu mudah serta murah. Untuk mendapatkan kekuatan dari Rabb semesta alam sungguh tidak gampang. Harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Menguras segala pengorbanan dan perjuangan yang diiringi dengan segala risiko dan beban. Sudikah kiranya engkau menggenggam erat tawaran itu, wahai saudaraku?

Allah tidak pernah berjanji pada manusia bahwa kita tidak akan merasakan pahit, getir, sakit, terluka, lemah dan hina. Setiap dari diri kita pasti akan merasakannya, walau itu hanya satu bagian rasa dari derita. Tapi ingatlah, Allah menawarkan pada kita kekuatan, kemuliaan, kesehatan dan kebahagiaan. Tergantung pada diri kita menerima atau tidak.

Tinggalkanlah kebisingan dunia sejenak. Sentuhlah nuranimu yang terdalam. Tanyakan pada hatimu. Dan raihlah kesadaranmu. Mereka akan sepakat mengenai satu kata, manusia itu makhluk yang “lemah”. Kita tidak akan bisa memungkiri bahwa kita membutuhkan Allah. Dalam segala hal. Di setiap ucap kata, di setiap langkah kita. Manusia itu makhluk yang lemah.

Begitu tipis raga ini. Begitu lemah diri ini. Begitu terbatas yang kita miliki. Tapi sungguh sombong manusia yang berjalan di bumi. Tidak sadar bahwa kita hanyalah pengemis dan pengutang. Seluruh jiwa, raga, harta dan yang kita punya hanyalah pinjaman semata. Namun, manusia tidak menjaga ketawazunannya, tidak memenuhi hak dan kewajibannya, dan tidak rela saat Yang Punya memintanya.

Karena itu Ibnu ‘Athaillah berkata “Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kemuliaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuasaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuatannya.” Allah adalah Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Dengan segala kelemahan, kehinaan dan kekhilafan manusia, Dia masih menebarkan kasih dan kemurahannya.

Raih dan genggamlah erat janji Allah. Kita harus berlomba-lomba untuk mendapatkan kedudukan yang terbaik di hadapan-Nya. Agar kita mampu menjadi manusia-manusia yang teristimewa. Sehingga kita akan menuai pinjaman-pinjaman yang terbaik dari-Nya.

Dan keadilan Allah itu sungguh nyata. Ketika raga memiliki batas-batasnya, masih ada satu sisi abadi yang mengiringi. Ya.. jiwa kita. Jiwa manusia adalah sesuatu yang kekal selama Allah menghendakinya.

Jiwa manusia itu sungguh misteri dunia. Tak ada kata yang sanggup meluapkannya. Tak ada warna yang mampu melukiskannya. Bahkan kita  sendiri belum tentu mengenal jiwa kita. Terkadang tak tahu apa yang diinginkan, apa yang diimpikan, apa tujuan yang sekarang telah ada di jalur kebenaran. Namun jiwa itu lebih luas dari langit. Karena itu untuk mengerti jiwa dan diri sendiri itu lebih sulit dan lebih halus dari pada mengenali musuh, begitu ungkap ulama terkenal Sahal bin Abdillah. Benarlah jika kita sering merasa bangga dan takjub dengan setitik hal yang kita lakukan. Seolah-olah kita tak pernah menanam salah. Malu untuk berkaca pada masa lalu.

Jiwa adalah mutiara yang tertanam begitu dalam di balik raga. Hal ini membuat kita sulit mengenali jiwa kita sendiri. Terkadang kita sibuk mencerca orang namun lupa dengan apa yang telah kita tanam. Jangan berpikir untuk lari atau pun sembunyi. Kita menanam maka, kita yang akan menuai. Setiap kealpaan kita, akan mendapat balasannya. Karenanya jangan suka menyibukkan diri dengan kekurangan orang lain. Bermuhasabahlah pada diri sendiri. Jangan malu berkaca pada masa lalu. Jadikan itu sebagai pelajaran jika meninggalkan luka. Dan jangan puas atas setiap kebaikan yang meninggalkan bahagia. Teruslah berlari meraih apa yang abadi. Jangan terlena dengan dunia yang fana.

Kenalilah jiwa kita, sehingga kita tidak akan mudah merasa puas dan menyerah. Untuk mendapatkan cinta dan ridha Illahi berlakulah sebuah perlombaan. Dan di dalamnya hanya ada menang dan kalah. Mulailah sekarang juga. Kenali jiwa. Perbaiki diri kita. Malulah menjadi manusia yang hina. Mari kita sulap kekhilafan dan kelupaan menjadi pacuan untuk sebuah perbaikan.

Ketika manusia telah dapat mengenali jiwanya, beruntunglah ia. Dia akan dapat mengendalikan hawa nafsunya, meluruskan kembali jalannya, dan saat terjatuh dia akan mampu berdiri sendiri.

“Allahumma arrifni nafsii”  Ya Allah kenalkanlah aku pada diriku… itulah sebait doa yang terucap oleh Yusuf bin Asbath. Mengenali jiwa kita bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh keistiqamahan dalam menjaga keimanan, agar Allah senantiasa membuka nurani kita. Sehingga kita dapat menilik bahwa kebaikan yang pernah kita lakukan belumlah seberapa.

Basahilah hati dengan dzikir agar ia tak layu. Pekalah terhadap diri sendiri. Musuh kita adalah diri kita sendiri. Karena yang bisa membebaskan kita dari siksa api neraka hanyalah diri kita sendiri dengan ridha Rabb semesta alam. Ridho itu mahal harganya. Mari saling mengingatkan dan menasihati. Terkadang untuk sebuah kebaikan memang diperlukan pemaksaan. “Genderang perang itu telah lama bertalu di sini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu.” (Muhammad Nursani)

“ Inna min shalahi nafsi, ilmii bifasaadihaa…” Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku. (Wahib bin Wurd). Waallahu ’alam  

Segulung Doa Untuk Jiwa Kelara…

Karena Rindu Pada Rabbnya..

Ya Rabb … bagikan pada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami untuk berbuat maksiat. Yang bisa mengantar kami ke surga-Mu. Yang dapat menguatkan akar cinta kami pada-Mu. Yang terpatri dalam hati yang suci. Tersucikan atas ridha-Mu.

Ya  Illahi Rabbii..

Setiap luapan amarah, sedih, kecewa, tak puas, air mata, lelah, penat, bosan, lupa, tertinggal dan masih banyak lagi rasa milik hati yang dalam keadaan hampir mati. Semua itu benar-benar bisa membunuh hati ini. Hamba takut jika suatu saat hati hamba yang terjangkit virus-virus yang melemahkan ini. Karenanya jauhkanlah Ya Rabb..

Tapi hamba lupa kalau rasa bukan hanya itu saja. Ada bahagia, riang, gembira, tawa, senang, syukur, semangat, dan masih banyak lagi rasa perwujudan akan kebahagiaan. Jika mengingat hal ini hamba tak takut akan penyakit-penyakit tersebut. Hamba akhirnya sadar bahwa semua rasa baik bahagia atau pun kebalikannya… itu semualah yang membuat hati kita kuat. Menempa hati kita agar penat lalu muncul semangat. Karenanya Ya.. Rabb hamba serahkan raga dan jiwa ini hanyalah pada kuasa-Mu. Pada Kehendak-Mu.. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang fisioterapis yang hobi menulis.

Lihat Juga

Belajar Membersihkan Hati

Figure
Organization