Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Rindu yang Kecewa

Rindu yang Kecewa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (wallpapermania.eu)
Ilustrasi. (wallpapermania.eu)

dakwatuna.com – Masa yang terus berganti, menjadikan semua semakin lama tak berjumpa. Siang malam tanpa kebersamaan tentulah memupuk rindu yang tak berkesudahan. Berharap waktu berlalu segera agar dapat bernostalgia melunasi rindu yang kian berbunga. Harapan tak seindah kenyataan, setiap keinginan bisa jadi akan berwujud sangat jauh dari bayangan. Jika semua itu memang benar adanya maka siapkan hati yang lebih lapang untuk menghadapi semuanya.

Enam belas setengah bulan berlalu dalam hitungan tanpa statistika. Satu tahun empat setengah bulan meninggalkan kampung halaman dan keluarga tercinta. Menapaki satu persatu langkah demi sebuah jejak pengabdian. Mustahil tak ada rindu ingin segera pulang, merasakan damainya alam bebukitan. Menikmati tiap sentuhan sepoi nan membelai. Menatap kabut putih nan menyelubungi bukit seumpama awan turun perlahan menjenguk bumi. Mendekap erat selimut dan guling agar dingin tak keterlaluan menyiksa badan. Semua itu teramat sangat memupuk kerinduan.

Setelah siang malam menanggung rindu akhirnya waktu pun mengantarkanku pada semua keadaan itu. Tak sabar ingin segera menjejakkan langkah di tanah kelahiran yang membuat aku sulit terpejam siang dan malam di perantauan. Harapan bagai khayalan, kenyataan merusak angan, rinduku hancur tanpa kesan, hanya ada air mata yang jatuh ke dalam. Entah kenyamanan di kampung orang membuat khayalku terlalu tinggi berharap kampung sendiri juga seperti itu.

Rinduku kecewa, rinduku sia-sia, rinduku tiada guna. Aku malu dengan diriku, kampungku tak seperti yang dulu. Entah mengapa aku sangat ingin kembali merasakan keramahan yang sudah enam belas bulan kurasakan di seberang sana. Kini di kampung sendiri aku begitu asing, seakan hilang semua keramahan. Tolong menolong pun hampir tenggelam dari permukaan. Apa yang salah dengan diriku, apa yang salah dengan kampungku dan apa yang salah dengan negeriku…?

Akankah  perkembangan zaman yang menjadi salah satu pemicu semua keadaan ini…? Entahlah aku pun tak tahu.  Keadaan yang ada membuatku tak betah di kampung halaman, bahkan aku sampai berat untuk melangkah keluar lingkungan rumah. Bukan tanpa sebab sebenarnya, setiap kali bertemu warga sebagian besar mereka hanya memandang dengan tatapan yang membuat aku risih. Seakan aku ini orang aneh yang baru pertama kali mereka lihat. Masih mending jika hanya pas pertama bertemu, tapi yang jadi permasalahan ini terus berlanjut pada pertemuan berikutnya.

Sebenarnya aku sangat bangga dengan kampungku, pemandangan nan indah, tanah pertanian nan penuh berkah serta penduduknya nan ramah. Mungkin karena rinduku nan terlalu menuntut hingga akhirnya terpaksa meneguk kekecewaan. Atau jua kenyamanan pelayanan di kampung orang membuatku terlalu berangan mendapatkan hal yang sama di kampung sendiri. Kenyataan ini memberikanku pelajaran bagaimana seharusnya mengelola rindu. Menyadarkanku bahwa harapan terindah hanya pada sang pemilik alam semesta beserta isinya. Ketika kita berharap kepada selain-Nya maka persiapkan diri untuk kekecewaan yang tiada tara.

Mungkin rinduku kecewa jika di lihat dari sebelah mata, namun jika kembali dikaji maka sesungguhnya rinduku tak salah. Hanya terlupa bahwa lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Mungkin kini rinduku harus berevolusi memperbaiki diri dari hari ke hari. Bagaimana harusnya memanajemen rindu agar tak terlalu mengambang dalam khayalan semu. Kini aku kembali pergi meninggalkan kampung halaman, bukan karena kebencian atau pun kekecewaan. Pergiku memperbaharui rindu agar di kemudian hari kala aku kembali maka rinduku lebih logis dan lebih realistis. Kutinggalkan kampung halaman dengan harapan akan ada perbaikan dalam setiap segi kehidupan. Kampungku cinta kampungku luar biasa. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Merindu Baginda Nabi

Figure
Organization