Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Manusia sebagai Konselor dan Sasaran Konseling dalam Pendidikan Islam

Manusia sebagai Konselor dan Sasaran Konseling dalam Pendidikan Islam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (wallpapers13.com)
Ilustrasi. (wallpapers13.com)

dakwatuna.com – Manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya (QS At Tin: 4), untuk dijadikan sebagai pemimpin di muka bumi. Dalam perjalanannya, manusia tidak dapat berlepas diri dari sesamanya untuk memainkan perannya sebagai pemimpin. Sejak jaman Nabi Adam AS, hingga hari akhir nanti, manusia akan selalu berhubungan dengan sesamanya dan dengan alam di sekitarnya, dengan hubungan yang baik ataupun buruk, salah satu alasannya adalah untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Rasul mengatakan, “Engkau lihat orang mukmin itu dalam keadaan saling mengasihi, saling menolong seperti satu tubuh. Jikalau ada salah satu anggota yang terkena penyakit, maka seluruh tubuh ikut menderita, tidak dapat tidur dan panas dingin.” (HR. Bukhari)

Dalam konteks bimbingan konseling, perkataan Rasul di atas memberikan petunjuk agar manusia senantiasa berbagi suka-duka dengan sesamanya, terutama pada sesama muslim. Manusia di sini dapat berposisi sebagai konselor saat ia sedang memberikan bantuan, dan dapat pula berposisi sebagai klien saat ia sedang memerlukan bantuan dari orang lain.

Al Quran menunjukkan pola-pola kepribadian manusia ada 3 yaitu mukmin, kafir dan munafik, berdasarkan akidahnya. Orang mukmin dapat diketahui dari keimanan yang benar pada Rabb-nya, memegang nilai-nilai kemanusiaan dengan teguh, menghindari yang dilarang-Nya, dalam beramal selalu ikhlas, amanah dan sempurna. Sedangkan orang kafir adalah sebaliknya. Ia dicirikan sebagai manusia yang tidak memberikan manfaat, serta melanggar segala larangan-Nya. Manusia munafik ada di antara keduanya, Ia bimbang dan tidak bisa memutuskan dengan jelas terkait keimanannya.

Dari penggolongan kepribadian di atas, manusia dapat pula disebut sebagai makhluk multidimensi, karena bisa menjadi sangat baik atau sangat hina. Allah mengaruniakan akal kepada setiap manusia untuk memilih ingin menjadi pribadi yang seperti apa. Akal sendiri adalah karunia Allah yang dapat digunakan saat manusia mau membuka pikirannya (open mind) sehingga hikmah-hikmah dari kilatan pemikiran atau dari lingkungan masyarakat sekitar dapat teresapi.

Kesimpulannya, sebaik apapun manusia itu sebagai pemimpin di bumi (khalifah Allah), atau sebanyak apapun prestasinya, manusia tidak akan pernah bisa berlepas diri dari bimbingan dan konseling secara langsung (dari Allah) atau secara tidak langsung (dari sesama manusia). (dakwatuna.com/hdn)

Disarikan dari Buku Isu-isu Kontemporer dalam Pendidikan Islam dari Prof. DR. H. Samsul Nizar, MA dan DR Muhammad Syaifudin, MA

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi S1 Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada || Team Research Disaster Nursing || Peserta PPSDMS Regional 3 Yogyakarta angkatan 7 || Lahir di Gunungkidul tahun 1995 ||

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization