Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Senja di Fort Rotterdam

Senja di Fort Rotterdam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (mobilsewa-makassar.blogspot.co.id)
Ilustrasi. (mobilsewa-makassar.blogspot.co.id)

dakwatuna.com – Benteng Rotterdam begitu memesona dengan ciri khas bangunan Belanda, berdiri di tengah belantara perkotaan, dekat Pantai Losari. Aku termenung sejenak di benteng ini, sambil mempelajari sejarah tentang Sulawesi Selatan dan sejarah umum. Sesekali menengok penjara bawah tanah tempat para pejuang kemerdekaan Indonesia di sekap karena tindakan mereka yang subversif menurut penjajah, namun tindakan yang heroik menurut para pejuang kemerdekaan dan rakyat Indonesia. Berjuang melawan kezhaliman penjajah yang seenaknya menjadikan diri berstatus sebagai tuan, lalu rakyat Indonesia di jadikannya hamba.

Sempat kutengok ruang penjara yang pernah memenjarakan Pangeran Diponegoro, seorang Pahlawan yang meskipun bergelar pangeran di awal namanya, namun tidak dapat ditutup-tutupi lagi beliau juga adalah seorang ‘Ulama. Seorang pemandu wisata pun menyampaikan kepada pengunjung bahwa di dalam penjara tersebut terdapat tempat sang pangeran mengaji. Ilustrasi penampilan Pangeran Diponegoro di buku-buku sejarah pun juga menggambarkan bahwa ia adalah orang Yang taat dalam beragama, terlihat dari sorban dan pakaian yang ia kenakan. Sungguh sebuah gambaran yang ingin menyampaikan kepada kaum muslimin bahwa sejak dahulu kala, agama dan kekuasaan adalah dua hal yang tak bisa di pisahkan. Terlepas dari pandangan sebagian orang yang skeptis dengan dunia perpolitikkan tanah air, ternyata Islam dengan begitu komprehensif juga mengurusi pemerintahan.

Batu-batu berwarna hitam dan hijau karena ditumbuhi lumut mengelilingi Benteng Rotterdam dengan begitu rapi dan artistik, kanal benteng tampak indah dan bersih, bukti pengelolaan pariwisata pemerintah setempat yang profesional.  Dari sudut mana pun bila kita menjejakkan kaki di benteng bagian luar, lalu mengambil foto dari angle mana pun, sangat indah dan bersih, terbukti beberapa model lokal Kota Makassar sedang melakukan pemotretan di sudut benteng. Maka tak heran bila Benteng Fort Rotterdam juga menjadi Icon Kota Makassar. Tetapi pada dasarnya bukan keindahan Fort Rotterdam yang menjadi inti sharing pada kesempatan kali ini. Tetapi lebih kepada sebagian besar masyarakat yang mulai melupakan sejarah, bahkan menganggap mempelajari sejarah bukanlah sesuatu yang urgent. Tampak para anak muda sibuk mengelilingi benteng tanpa ingin tahu apa sebenarnya yang pernah terjadi di benteng tersebut, apa sebenarnya pesan sejarah yang ingin disampaikan oleh benteng Fort Rotterdam kepada generasi muda Indonesia.

Sejatinya aku juga masih tergolong pemuda, hanya saja sedikit prihatin dengan sebagian besar para pemuda pemudi seumuran yang dalam pikirannya masih saja berfoya-foya, menyangka bahwa kebahagiaan hakiki adalah dengan melepas kendali tali kekang hawa nafsu dan syahwat. Padahal justru hal itu akan berujung pada kehampaan dan penyesalan. Apa mungkin keterbatasan frame berpikir mereka yang membuat tumpul analisis dan hilang kekritisan? Sedikit tersentak dengan pesan seorang sahabat di fasilitas media sosial Telegram yang tertulis :

“Begitulah ketika mata dan telinga hanya terpaku sebuah teknologi yang mampu menembus segala ruang, tanpa bingkai jati diri..
Maka bingkainya adalah arus berita media sosial..
Ke mana buih ditiup angin, itu yang dikatakannya tanpa suara.”
(Budi Prasetya, 2016).

Tanpa jati diri apalah arti anak muda, apalah arti seorang pemuda, justru melanglang buananya pemikiran para pemuda di samudera globalisasi, sangat membutuhkan frame berpikir yang jelas dan tepat, di zaman yang arusnya begitu deras. Mempelajari sejarah adalah salah satu opsi dari perbaikan pemikiran pemuda, pemuda yang seharusnya disibukkan oleh hal-hal yang mencakup kemaslahatan umum, malah disibukkan dengan mengunjungi taman hiburan dan tempat-tempat yang justru memberi dampak kontraproduktif. Karena pemikirannya sudah di bingkai oleh media sosial. Maka di saat seperti inilah kuajak engkau para pemuda, ajakan dari diriku yang juga adalah seorang pemuda, untuk lebih giat mempelajari sejarah, agar dapat mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa sejarah. Percayalah padaku, kejadian yang terjadi saat ini adalah kejadian yang sudah berulang kali terjadi, maka dengan mempelajarinya engkau akan bisa mengambil tindakan yang tepat.

Mari kuajak engkau untuk sejenak menyimak kisah lampau para Penduduk Pompeii yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Para penduduk Pompeii membiarkan hawa nafsu dan syahwat merajalela, seks bebas di tempat-tempat umum bukan lagi menjadi hal yang tabu, menyukai sesama jenis pun di anggap normal. Maka kesudahan negeri ini, seperti kita ketahui bersama adalah azab. Larva dari gunung berapi dan awan hitam yang membawa hawa panas membuat penduduknya membatu, sungguh azab yang pedih di dunia, musibah sebelum musibah yang sesungguhnya di akhirat kelak. Maka engkau pun akan melihat ada pola yang berulang, saat ini kita melihat kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, & Transgender) memperjuangkan agar di sahkannya keberadaan mereka dan pelegalan segala tindakan mereka agar diakui oleh pemerintah. Tentu saja perilaku yang menyimpang tersebut, di tambah lagi regulasi pemerintah yang melegalkannya, bukan tidak mungkin kejadian yang dialami oleh penduduk Pompeii dan kaum Nabiyullah Luth ‘alaihissalam akan berulang di zaman sekarang.

Bukannya ingin mendebat kalian para pemuda parlente yang lebih sibuk mencari pasangan hidup dari pada tuntunan hidup, tetapi lihatlah sekeliling kalian! Sungguh perilaku menyimpang ini sangat tidak kita inginkan menjadi penyebab tercabutnya keberkahan dari negeri tercinta kita ini. Maka butuh pundak-pundak dan kepala-kepala kalian untuk bersama-sama menjadi solusi dari penyimpangan yang tercela ini. Sebab engkau perlu untuk kuberitahukan bahwa terhinanya Kaum Yahudi disebabkan karena acuh tak acuh di kalangan mereka, tidak saling menasihati dan memperingatkan akan kebaikan, dan hal ini berdampak pada kemungkaran yang dibiarkan terus terjadi. Bandingkan dengan kaum muslimin di bawah pembinaan Rasulullah Muhammad SAW yang saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran, mencegah kemungkaran dengan tangan-tangan dan lisan-lisan. Sungguh kita ini pun adalah umat Muhammad SAW yang akan mewarisi tugas ini, amar ma’ruf nahi munkar sebagai karakteristik umat terbaik.

Mari tengok lagi sejarah, dan perhatikan sebuah negeri yang di hinakan dan negeri yang di muliakan dengan keberkahan. Banyak pelajaran yang bisa engkau ambil dari setiap kisahnya, di mana para pemudalah yang kemudian menjadi pelopor perubahan. Di mana pun berada, semangat pemuda akan engkau rasakan seakan-akan sedang membakar gairah peradaban. Semangat yang timbul dari rasa rindunya akan sebuah peradaban yang berkemajuan, bukan hanya maju dari segi materi, tetapi juga maju dari sisi ilmiah, maju dari segi pemikiran, dan ghirah memperjuangkan agamanya. Sehingga matang pemikirannya untuk membangun sebuah peradaban yang paripurna. Karena perjuangan secara substansi bukan hanya terlihat dari covernya saja, juga dari kedewasaan pemikirannya. Sungguh saat ini merindukan para pemuda yang seperti itu, yang frame berpikirnya jernih tak ternista oleh glamour dan hiruk pikuk dunia, lalu mempunya pemikiran jangka panjang, meskipun jumlahnya masih sangat sedikit. Mengapa jumlah mereka sangat sedikit? Karena merekalah yang kemudian pantas menerima amanah sebagai pemimpin di antara para pemuda lainnya, menginspirasi teman-teman seangkatannya. Aku sungguh bersyukur bila bertemu dengan mereka yang para pemuda yang sedikit itu, bisa dibilang limited edition. Dan tentunya kita jangan terburu-buru melihat dan menduga-duga akan hasilnya. Sebab para pemuda limited edition tersebut ditempa oleh proses yang tentunya bukan dalam waktu yang singkat. Tetapi melalui proses yang cukup lama dan mereka adalah satu di antara banyaknya yang sudah terseleksi. Aku bertemu pemuda bernama Sahmardan asal Indonesia Timur yang semangat menuntut ilmunya melebihi teman-teman seangkatannya. Aku bertemu pemuda bernama Erwin, pemuda yang memiliki latar belakang keluarga broken home namun berkat kerendahan hati dan semangat kebaikannya yang berapi-api mengubah hidupnya menjadi pemuda yang paling disayangi oleh dosen dan karyawan di kampus tempat ia menempa ilmu, di tambah lagi ia juga menjadi pemuda yang sangat berpengaruh di angkatannya karena mampu menginspirasi lingkungan sekitarnya. Aku bertemu Edi, pemuda asal Kota Palopo yang berprofesi sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan, bekerja secara profesional, pada saat yang sama ia juga menjadi penggerak para pemuda di daerah asalnya, mulai dari pemuda masjid, pemuda kampus, dan sebentar lagi punya proyek pemuda penggerak desa. Bukan tidak mungkin para sosok pemuda seperti ini ada di sekitarmu, bahkan mungkin berada di dekatmu. Bila benar, maka segera dekati mereka, dan  belajar darinya tanpa rasa malu dan ego yang sudah duluan memuncak melampaui hati nurani.

Berjalan-jalan di sekitar Benteng Fort Rotterdam membuatku begitu banyak berimaji tentang yang harus aku lakukan selanjutnya, bahwa rahasia para tokoh yang kulihat menjadi penggerak peradaban sehingga namanya tercatat harum dalam bingkai sejarah adalah mereka yang menyingkirkan kepentingan pribadi lalu berjuang untuk kemaslahatan masyarakat dan rakyatnya. Sosok Sultan Alauddin, sosok Sultan Hasanuddin, berjuang menyelamatkan martabat rakyatnya, dengan bertahan dari gempuran para penjajah yang ingin berlaku sewenang-wenang, berjuang dengan bangga tetap mengenakan identitas keislamannya. Sosok Syaikh Pangeran Diponegoro, yang berjuang merebut kekuasaan dari para penjajah yang menebar kezhaliman, maka yang ia perangi adalah kezhalimannya, bukan karena aqidahnya, lalu memberi pelajaran kepada kita semua bahwa agama dan kekuasaan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Tak terasa, imajinasi ini mengalir begitu deras mencabut setiap hikmah, dan menambah semangat untuk terus belajar dan berjuang, mencabut akar-akar kebodohan dari kepala ini dengan kelembutan hati dan menghancurkan ego. Senja mulai menjelang maka sudah saatnya beranjak pulang sambil terus menulis hikmah dan makna dari setiap renungan perjalanan. Senja di Benteng Fort Rotterdam sebentar lagi akan tiba. Begitupun masa produktivitasmu wahai pemuda, maka teruslah belajar, teruslah menulis, teruslah berproses menjadi lebih baik. Ayo lebih baik! Takkan kulupakan senja di Fort Rotterdam. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Alumni Universitas Tadulako Sulawesi Tengah, Penulis Lepas, Trainer Nasional Faktor Destruktif Remaja Kemenpora RI, Trainer Nasional Character Building Kemenpora RI, Aktif di KAPMEPI Sulawesi Selatan.

Lihat Juga

Pekerja Indonesia Malaysia Adakan Buka Bareng dan Tarawih

Figure
Organization