Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Konsep Pendidikan Dalam Al-Quran

Konsep Pendidikan Dalam Al-Quran

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (playbuzz.com)
Ilustrasi. (playbuzz.com)

dakwatuna.com – Allah telah menurunkan risalah terakhirnya berupa Al-Quran kepada rasul terakhir pilihannya, Muhammad saw. Sebagai kitab penutup dan juga rasul penutup, maka Allah memberikan nikmat yang tidak diberikan oleh-Nya kepada para rasul dan umat-umat yang terdahulu, nikmat tersebut adalah risalah Islam yang lengkap dan integral berupa Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.

Sebagai risalah yang lengkap, berarti risalah Muhammadiyah mencakup semua lini kehidupan manusia,  tidak ada satu lini kehidupan pun yang luput dari risalah ini. Maka dari itulah Allah menegaskan dalam firman-Nya:

“…Tidak kami luputkan dalam Al-Quran sesuatu apa pun….” (Al-An’am: 38)

Dari ayat tersebut maka kita akan jumpai dalam Al-Quran berbagai pembahasan mengenai kehidupan manusia; hukum, sosial, budaya, politik, ekonomi, peradaban, dan yang terpenting adalah pendidikan.

Pendidikan merupakan satu dari pembahasan-pembahasan yang ada pada Al-Quran. Maka pas jika ayat yang pertama kali Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw. Adalah perintah untuk membaca. Di samping itu, dalam Al-Quran juga banyak sekali kisah tentang para nabi yang mendidik kaumnya, juga para ayah mendidik anak-anaknya sebagaimana Ibrahim mendidik Ismail, Ibrahim mendidik Ishaq, Ishaq mendidik Ya’kub, Ya’kub mendidik kedua belas anaknya termasuk di antaranya Yusuf AS. Tak luput pula, bagaimana Allah menerangkan tentang pendidikan yang diberikan oleh Maryam kepada anaknya Isa as. Juga Hajar kepada anaknya Ismail as.

Dari kisah-kisah yang ada pada Al-Quran tersebut, kita bisa mengambil sebuah hikmah, ibrah, sekaligus metode dalam pendidikan untuk anak, keluarga, masyarakat, bangsa, dan juga negara.

Pengertian Pendidikan

Sebelum membahas lebih lanjut, pengetahuan terhadap pengertian pendidikan merupakan hal yang penting. Sebab jika terjadi perbedaan pengertian dalam hal pengertian pendidikan, nantinya akan muncul kesalahan persepsi dan pemahaman.

Secara bahasa pendidikan yang dalam bahasa Arab disebut “tarbiyah” memiliki tiga asal makna. Makna pertama tarbiyah bermakna az-ziyadah dan an-namâ` yang berarti bertambah atau tumbuh. Makna kedua tarbiyah adalah nasya`a dan tara’ra’ah yang bermakna tumbuh dan berkembang. Dan makna ketiga, tarbiyah bermakna aslaha yang berarti memperbaiki.

Sedangkan secara umum pendidikan atau tarbiyah adalah sebuah amal yang memiliki tujuan dan sebuah seni yang fleksibel dan selalu berkembang. Adapun tujuannya adalah membentuk karakter kebaikan sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri.

Dengan begitu maka pendidikan atau tarbiyah adalah menjaga supaya manusia tetap dalam fitrahnya sebagaimana ia dilahirkan supaya tidak tersusupi oleh hawa nafsu yang dihembuskan setan.

Tujuan Pendidikan dalam Islam

Rasulullah saw. bersabda bahwa “Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau majusi. (HR. Bukhari)

Maka untuk menjaga fitrah manusia tetap dalam tauhid dan karakter kebaikan maka Allah menurunkan risalahnya berupa Al-Quran dan juga Sunnah Rasul-Nya sebagai buku panduan untuk menjaga fitrah tersebut sekaligus mendidiknya dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan yang sempurna.

Jika Al-Quran dan juga sunnah sudah dijadikan pedoman dalam mendidik, tidak diragukan lagi hasil didikan tersebut akan menuai kesuksesan sebagaimana kesuksesan Lukman dalam mendidik anak-anaknya yang secara gamblang Allah tegaskan dalam surat-Nya, surat Lukman.

Ustadz ‘Atif as-Sayid dalam bukunya at-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa manhajuha wa mualimuha menerangkan bahwa pendidikan dalam pandangan Islam adalah pembentukan karakter sehingga menjadi insan yang sempurna dari segi jasad, ruh, dan akhlaq berdasarkan apa yang menjadi misi Islam.

Singkatnya, pendidikan dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai insan yang bertakwa. Sebab takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk menghadapi hari esok. Tanpa takwa manusia akan merasakan kesengsaraan yang amat pada hari mendatang.

Inilah output sesungguhnya dari pendidikan dalam Islam. Takwa yang memiliki maka berusaha untuk melaksanakan apa yang Allah perintahkan sesuai dengan kemampuan hamba-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sekuat tenaga inilah tujuan utama. Sebab, jika seseorang sudah memiliki sifat taqwa, berarti pendidikan terhadapnya telah berhasil.

Tiga Objek Pendidikan Dalam Al-Quran

Al-Quran membagi objek pendidikan menjadi tiga objek. Yang pertama adalah objek individual. Kedua adalah objek keluarga dan orang-orang dekat, dan ketiga adalah objek masyarakat.

Objek individual.  Maksud dari objek individual adalah bahwa objek pendidikan tersebut adalah dirinya sendiri. Yakni seseorang mendakwahi dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sebelum Allah menurunkan wahyu kepada beliau saw. Allah memberikan beliau semacam wahyu untuk menyendiri di dalam gua Hira. Tak lain tujuannya adalah untuk mendakwahi diri sendiri dengan mentadaburi alam dan melihat keadaan sekitar berupa masyarakat Makah yang sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Objek dakwah individual inilah yang Allah singgung dalam Al-Quran surat at-Tahrim ayat keenam. Allah berfirman yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….” (At-Tahrim: 6)

Dalam ayat yang lainnya, bahkan Allah memperingatkan orang yang gemar berdakwah kepada orang lain, tapi dirinya sendiri tidak ia dakwahi, dalam artian dia tidak melaksanakan apa yang ia sampaikan kepada orang lain. Allah berfirman yang artinya:

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 3)

Ayat ketiga dari surat ash-shaf tersebut memberikan kita sinyal bahwa individu kita perlu kita perbaiki, maka dari itulah objek pertama adalah individu bukan yang lainnya. Di samping itu, ketika kita memberikan sebuah pengajaran kepada orang lain, atau orang dekat semisal anak sendiri, namun ternyata apa yang kita perintahkan kepada orang lain tersebut tidak kita kerjakan, kemudian apa yang akan mereka katakan tentang diri kita? pastinya adalah cemoohan.

Selanjutnya yang kedua adalah objek keluarga dan orang-orang yang dekat dengan kita. Ini adalah sasaran kedua setelah individu. Sebagaimana firman Allah di atas, Allah menyebutkan “Jagalah dirimu” setelah itu Allah melanjutkan “dan keluargamu”. Ibarat penjagaan polisi dari terorisme, individu ada di ring pertama dan keluarga ada di ring kedua.

Dakwa seseorang kepada keluarga dekatnya dan juga kepada orang-orang yang hidup bersamanya, mulai dari teman dan kolega, merupakan dakwah yang dilakukan oleh para nabi termasuk Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw. ketika selesai mendapat perintah untuk berdakwah, beliau tidak langsung menuju ke Ka’bah di mana Ka’bah adalah tempat berkumpulnya masyarakat Makah waktu itu, tetapi beliau berdakwah kepada keluarganya terlebih dahulu. Hal ini juga atas petunjuk dari Allah langsung sebagaimana firmannya:

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat.” (Asy-Syu’arâ’: 214)

Sebab itulah mengapa orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan wanita adalah Khadijah, siapa beliau? Istri Nabi. Dari golongan anak kecil Ali bin Abi Thalib, siapa beliau? Sepupu sekaligus anak asuh Nabi. Dari kalangan orang dewasa Abu Bakar, siapa beliau? kolega bisnis Nabi sekaligus sahabat karibnya.

Lihatlah, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah keluarga dan orang-orang dekat beliau. Mengapa? karena objek tarbiyah beliau memang orang-orang terdekat pada mulanya.

Kita juga bisa melihat bagaimana Nabi Ibrahim mendidik Ismail. Dari hasil didikan beliau, muncul sosok Ismail yang sangat taat dengan perintah Allah juga perintah bapaknya, meskipun lehernya harus dipertaruhkan. Lihatlah juga bagaimana Nabi Ya’kub mendidik Yusuf. Hasil didikan beliau memunculkan sosok Yusuf yang pemurah, penyabar, dan pemaaf. Padahal jika mau, Yusuf bisa saja membalas kelakuan buruk kakak-kakaknya ketika beliau menjadi menteri ekonomi di Mesir kala musim paceklik datang.

Selanjutnya, objek ketiga berupa masyarakat. Tentu Islam hadir tidak hanya untuk menshalihkan individu tertentu dan atau keluarga tertentu, melainkan untuk menshalihkan semua orang yang menginginkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Secara tegas Allah memperingatkan kepada kita agar kita tidak tiga egois dengan keadaan orang lain. Allah berfirman yang artinya:

“Dan takutlah kalian terhadap fitnah yang tidak ditimpakan hanya untuk orang-orang yang zhalim saja dan ketahuilah bahwasanya azab Allah amatlah keras.”

Ayat ini memberikan indikasi bahwa kita jangan merasa aman ketika kita sudah shalih. Padahal di samping kanan dan kiri kita masih  banyak orang yang berbuat kezhaliman. Maka dari sini kita paham bahwa objek ketiga dari pendidikan adalah masyarakat umum.

Namun, apakah seseorang harus shalih individunya dahulu sebelum mendidik keluarga dan masyarakat? Tentu tidak. Yang diperlukan adalah sikap tawazun atau keseimbangan antara menshalihkan diri sendiri dengan menshalihkan keluarga dan menshalihkan masyarakat. Sebab itulah Rasulullah menyampaikan, “Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat.” Artinya apa yang kita sampaikan adalah apa yang kita ketahui.

Rasulullah dalam mendidik masyarakat pun tidak menunggu keluarganya shalih semua. Kita lihat paman beliau, Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil, keduanya adalah keluarga dekat Nabi saw. namun mereka tetap ingkar dan Rasul pun tetap melanjutkan tugasnya mendidik masyarakat Makah.

Prioritas pendidikan dalam Al-Quran

Dalam kajian fiqih kita akan menemukan apa yang oleh para ulama dinamakan dengan fiqih urutan masalah atau fiqih prioritas. Fiqih prioritas adalah cabang ilmu fiqih yang membahas amalan apa yang sebaiknya didahulukan atas amalan-amalan lainnya. Fiqih prioritas ini membahas mana yang baik dan mana yang lebih baik. Mana yang buruk dan mana yang lebih buruk. Dengan fiqih prioritas, umat muslim akan dapat mengamalkan ajaran Islam dengan cermat dan efektif.

Begitu pula dalam hal pendidikan. Ada pendidikan yang sedini mungkin harus diajarkan dan ada pendidikan yang harus menunggu waktu-waktu tertentu untuk diajarkan. Orang tua dan juga pendidik semisal guru, ustadz, dan pendidik lainnya, harus memahami hal ini. Sehingga pendidikan yang diberikan lebih efektif dan mengena. Banyak terjadi, karena kecakapan yang kurang dalam masalah prioritas, guru mengajarkan hal-hal yang tidak penting dan meninggalkan hal-hal yang penting. Atau juga mengajarkan hal yang penting namun meninggalkan hal yang lebih penting.

Hal-Hal yang Menjadi Prioritas Pengajaran

Yusuf al-Qardhawi menyebutkan bahwa misi para nabi adalah mengajarkan tiga hal penting. Ketiga hal ini harus diprioritaskan atas hal-hal yang lainnya dan hendaknya ketiga hal tersebut adalah pelajaran pertama yang diterima oleh anak didik. Ketiga hal tersebut merupakan intisari dari risalah para nabi. Ketiganya adalah: dakwah tauhid, dakwah iman kepada hari akhir, dan dakwah menyeru kebaikan.

Pertama, Tauhid. Inilah yang pertama kali harus diajarkan kepada siapa pun. Termasuk anak-anak. Tauhid merupakan kunci dari semua kunci. Puncak ilmu dari semua ilmu. Ibarat rumah, maka tauhid adalah dasar bangunan. Jika dasar rapuh, rumah akan rapuh. Jika kuat, rumah akan kuat.

Tauhid adalah dakwah para nabi dan rasul. Semenjak Allah mengangkat Nuh alaihi salam sebagai rasul sampai Allah mengutus Muhammad saw. sebagai penutup nabi dan rasul, kesemuanya membawa satu risalah, yaitu risalah tauhid. Dalam banyak ayat Allah menerangkan akan esensi dakwah tauhid para nabi dan rasul.

Dalam surat Hud, Nuh as. menyeru kepada kaumnya “Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” Begitu pula nabi-nabi setelahnya. Menyerukan hal yang sama yakni tauhid. Sebagaimana ayat yang sering dijadikan Rasulullah hujjah ketika beliau menyurati para penguasa Timur Tengah:

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali-Imran: 64)

Inilah dakwah para rasul yang utama. Maka seyogianya, setiap pendidik muslim, yang diajarkan kepada anak didiknya adalah ketauhidan. Sebab tauhid adalah kunci dari surga. Siapa yang tidak mendapatkan tauhid, tidak akan pernah mencicipi bau harum surga.

Kedua, Iman kepada hari akhir. Setalah mengetahui hakikat tauhid, maka pelajaran kedua yang diprioritaskan atas yang lainnya adalah keimanan kepada hari akhir. Mengapa demikian? sebab dengan keimanan kepada hari akhir, seseorang akan mengetahui kenapa dia harus dilahirkan ke dunia, dan kenapa diperintahkan ini dan itu di dunia.

Manusia harus paham akan hari akhir. Mengimani bahwa setelah hari akhir ada kehidupan yang lebih abadi dan lebih baik dari pada kehidupan di dunia. yang mana kehidupan yang lebih baik tersebut tidak akan didapat kecuali dengan kebaikan di alam dunia.

Dengan kesadaran bahwa suatu saat dia akan mati, maka seseorang akan sadar bahwa hidup aslinya bukan di dunia melainkan di akhirat. Dia juga akan sadar dengan pendidikan para guru bahwa di akhirat hanya ada dua tempat; surga dan neraka. Jika ia tidak di surga maka ia di neraka. Jika ia tidak di neraka berarti ia di surga. Insan mana yang tidak menginginkan surga?

Dengan pemahaman bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, dan kehidupan tersebut lebih nikmat dari kenikmatan dunia dan lebih sengsara dari kesengsaraan dunia, dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kenikmatan hari akhir.

Yang ketiga, adalah pendidikan untuk beramal kebaikan. Baik dan berbuat baik adalah fitrah manusia. Maka pendidikan berfungsi untuk menjaga kebaikan tersebut dan jangan sampai ternodai oleh kesyirikan dan kezhaliman. Semua nabi dan semua rasul dalam berbagai risalah langitnya telah memerintahkan para kaumnya untuk berbuat baik. Misalnya kaum Madyan. Kaum Madyan adalah kaumnya Nabi Syu’aib. Nabi Syu’aib memerintahkan kaumnya untuk tidak berlaku curang dalam timbangan dan takaran. Nabi Luth memerintahkan kaumnya untuk tidak bersyahwat terhadap satu jenis. Dan juga Nabi Muhammad yang dalam Al-Quran menganjurkan bahkan memerintahkan kita semua untuk melakukan kebaikan dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi keburukan dan kezhaliman.

Tiga hal tersebutlah yang harus diutamakan untuk diajarkan oleh seorang pendidik atau murabbi sebelum mengajarkan hal-hal yang lainnya. Tidak akan ada manfaatnya jika seorang pendidik mampu mendidik anaknya menjadi ahli kimia, ahli fisika, dan lain-lain, namun dia gagal mengajarkan ketauhidan, akhirnya anaknya bermain syirik. Dia juga gagal mengajarkan sopan santun, sehingga akhlak pergaulannya dengan sesama sangat buruk. Semoga Allah mengaruniai kita kekuatan dalam mendidik hawa nafsu kita dan anak-anak didik kita. Amin. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Alumni Ponpes Maskumambang Gresik, Jatim. Kader Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Jakarta.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization