Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Suap, dari Pembiasaan ke Pembenaran

Suap, dari Pembiasaan ke Pembenaran

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi - (lensaindonesia.com)
ilustrasi – (lensaindonesia.com)

dakwatuna.com – Siang jelang sore itu, saya berangkat untuk menjalankan amanah kantor sebagai seorang penilai aset. Tak seperti biasa, karena semua mobil kantor sedang digunakan, terpaksa saya terima tawaran klien menggunakan mobilnya sekalian beliau menunjukan beberapa lokasi aset yang konon juga tak ada orang suruhannya yang tahu lokasi-lokasi tersebut.

Kami berangkat sekira pukul 13.00, setelah saya enggan ikut permintaan beliau untuk berangkat sebelum waktu dzuhur. Selain agar bisa shalat dan makan terlebih dahulu, saya khawatir malah ditraktir beliau makan dan objektivitas penilaian saya terpengaruh kebaikan yang beliau berikan.

Sepanjang perjalanan dengan ditemani beliau dan dua anak buahnya, hatiku terus berdecak kagum dengan sikap santun dan alunan murotal dari tape yang terpasang pada interior mobil mewah yang kami kendarai.

Sampai hari mulai gelap, tiga lokasi aset selesai disurvey hari itu juga. Satu aset yang belum sempat dilihat tinggal rumah yang beliau tempati. Karenanya, esok harinya terpaksa saya harus kembali bertemu beliau untuk satu aset yang tertinggal tersebut.

Pagi hari berikutnya, saya sudah diantar sopir kantor dan sampai di rumah klien untuk menuntaskan tugas survey atas aset beliau. Tanpa gangguan dan hambatan, survey pun selesai dengan ucap syukur dari saya dan beliau. Saya pun pamitan hendak kembali ke kantor.

Dari sini justru hati saya mulai terganggu. Saat mobil siap melaju, pegawai klien kami menghampiri menyerahkan map yang katanya berisi tambahan copi legalitas aset yang belum lengkap. Sedikit terkejut, setelah saya lihat terdapat juga sebuah amplop cukup tebal di dalamnya.

“Apa ini, Pak?” tanya saya.

“Sekadar tanda terima kasih, Pak.” Jawabnya, sambil bergegas balik kanan.

Saya coba menyerahkan balik amplop tersebut, namun dia tetap menolak dan segera pergi.

Hal seperti ini seharusnya tidak membuat saya terkejut. Sebagai seorang penilai yang banyak digantungi pengharapan pemilik aset, it happens many times. Kekaguman atas kealiman sang klien yang kadang saya saksikanlah yang membuat saya terkejut atau lebih tepatnya kecewa.

Suap atau sogok memang sudah menjadi hal yang terlalu biasa dilakukan masyarakat kita. Masuk kerja, naik jabatan, sampai membuat KTP, sangat mungkin menggunakan alat pelicin bernama suap. Tak lain, tujuannya adalah membuat yang salah menjadi benar. Tak bisa menjadi bisa atau paling tidak. Urusan lebih mudah selesai.

Pembiasaan ini pun sudah sampai pada titik nadir untuk sebagian besar kita. Seolah tak ada dosa karena hampir semua orang melakukannya. Hukum haram untuk suap seolah cukup diketahui tanpa kewajiban untuk dipenuhi.

Luar biasanya, keberanian melakukan dan menerima suap tak berbanding lurus dengan kadar intelektual maupun spiritual seseorang. Tingkat pendidikan, kebangsawanan, lembaga tempat bernaung, atau rajinnya seseorang beribadah tak bisa menjadi acuan terbebasnya dia dari urusan suap-menyuap.

Dalam logika mana pun, suap jelas melanggar keadilan dan itu dilarang dilakukan oleh penganut keyakinan apa pun. Sebagaimana dalam Islam sendiri, hukum suap adalah haram. Mengenai predikat haramnya suap, para ulama bersandar kepada beberapa dalil dan hadist. Dua di antaranya :

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah : 188)

Adapun hadist yang sangat jelas melarang suap adalah:

“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR At-Tirmidzi)

Dari dua dasar hukum di atas, sangat zahar Allah dan RasulNya melarang suap. Pelarangannya sendiri tak gugur hanya karena suap sudah umum terjadi atau karena kekhawatiran kita tak mampu bersaing dalam mendapatkan perkara-perkara dunia.

Saudaraku sekalian, dengan senantiasa berharap Ridha Allah SWT, mari kita kuatkan diri untuk dijauhkan dari menyuap dan disuap. Mendahulukan kekhawatiran terhadap hal yang belum tentu terjadi adalah kelancangan kita yang meragukan kuasa Allah SWT.

Wallahualam… (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Bahasa Jerman UPI Angkatan 2002, Owner My Asad Collections MAC Baju Anak Muslim. Tinggal di ujung timur Kota Bandung bersama istri dan anak tercinta. Hobi menulis sejak kuliah dan insya Allah terus menulis selama ada kesempatan untuk itu.

Lihat Juga

Habits

Figure
Organization