Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Fenomena Pasca Pemira: Politisasi Anak Gerakan

Fenomena Pasca Pemira: Politisasi Anak Gerakan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (aktual.co)
Ilustrasi. (aktual.co)

dakwatuna.com – Euforia pemira sudah berakhir. Pergolakan politik kampus kembali ke titik normalnya. Proses transisi pemerintahan kampus berlangsung kondusif, meski menyisakan barisan sakit hati.

Realitas pemira menghadirkan sebuah narasi kontestasi politik pada tataran organisasi di berbagai level. Bagi mahasiswa yang belajar mata kuliah ilmu politik, dinamika pemira adalah realitas konkrit bahwa kampus bukan hanya wadah untuk belajar politik secara teoritis. Ia adalah wadah yang mempertemukan teori dan praktik pada tataran praksis. Ia adalah medan pertempuran. Banyak warna yang menghiasi. Menghadirkan para lakon lama yang bermain dengan wajah baru dan manuver baru. Gerakan ekstra hadir merias wajah kontestasi menjadi lebih panas dan seksi. Mereka adalah denyut yang membuat pembelajaran politik menjadi hidup. Mereka hadir sebagai salah satu aktor yang membawa nafas baru atas kejemuan aktivitas kampus yang terlalu didominasi formalitas yang tunduk dan kaku pada sistem.

Rasanya terlalu idealis untuk menemukan para lakon yang bermain di pentas politik kampus ini adalah mereka yang mengusung diri sebagai seorang mahasiswa murni, terlepas dari intervensi gerakan. Bukankah begitu?

Dan apakah dari realitas tersebut dengan seenak jidat-nya kita selalu mengaitkan gerakan ekstra dengan gerakan politik? Dan layaknya Tuhan, apakah kita merasa berhak menilai “anak gerakan” berdasarkan hawa nafsu kita?

Gerakan ekstra dan anak gerakan adalah dua hal yang saling terkait. Dalam pandangan subjektif, label “anak gerakan” adalah suatu terminologi dalam dinamika ke-kampus-an dimana selalu dikaitkan pada mahasiswa yang terlibat secara aktif maupun pasif pada rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh gerakan ekstra kampus seperti; kajian mingguan, forum diskusi, aksi, pelatihan kepemimpinan, dan segala bentuk kegiatan yang diadakan gerakan ekstra ini. Secara administratif, tidak semua mahasiswa yang terlibat pada kegiatan tersebut adalah anggota dari gerakan ekstra. Dan sejauh pemahaman saya, gerakan ekstra bersifat inklusif dan terbuka bagi siapa pun dalam beberapa agenda tertentu.

Terlepas dari kepentingan politik, gerakan ekstra hadir sebagai salah satu institusi alternatif yang mengakomodasi kebutuhan nutrisi otak jiwa-jiwa revolusionis yang jemu atas aktivitas pembelajaran di ruang kelas yang terkadang mempertontonkan sajian-sajian monoton nan teoritis. Maklum, jiwa muda adalah jiwa yang gerah untuk sekedar duduk manis. Mereka tidak datang ke kelas untuk sekedar mendengarkan khotbah sendu yang membuat apatis. Mereka butuh dipancing untuk menjadi kritis. Oleh karena itu, saya melihat gerakan ekstra ini ada untuk kembali membangun budaya kritis bagi mahasiswa dalam mendefinisikan fenomena-fenomena sosial dalam tataran praksis dan menawarkan opsi dalam menyelamatkan keberlangsungan hidup masyarakat yang semakin krisis.

Adalah fakta jika masih ada sebagian orang yang menganggap bahwa keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan suatu gerakan ekstra selalu diasosiasikan dengan motif politik mahasiswa yang bersangkutan. Apa benar seperti itu? celakanya, di sebagian kampus (termasuk di kampus saya) itu sudah menjadi stigma umum. Stigma yang melahirkan Tuhan-tuhan palsu yang merasa berhak memiliki klaim absolut untuk menilai apa yang baik, apa yang buruk dan siapa yang baik, siapa yang buruk. Stigma yang membangun dikotomi antara manusia satu dengan manusia yang lain. Stigma yang secara ideologis memisahkan kita dengan mereka, bahkan aku dan dia.

Ironisnya, pembentukan stigma ini dibangun oleh orang-orang yang menuhankan ego dan “kurang piknik”. Mereka hanya berkutat pada lingkungan yang sama. Mereka sudah terjebak pada zona nyaman. Enggan untuk keluar dan menyaksikan betapa dinamisnya kehidupan di luar sana. Akhirnya perilaku tersebut menghasilkan pola pikir sempit dan sikap suudzonisme (prasangka) jika menemukan hal baru yang tidak sesuai dengan kehendaknya.

Gerakan ekstra dijadikan kambing hitam atas perseteruan ideologis di kampus. Perbedaan prinsip politik dijadikan dasar atas kebencian yang kemudian ditularkan pada mahasiswa-mahasiswa yang masih imut dan polos dalam bentuk agitasi atau provokasi. Api kebencian terus ditiup untuk menghasilkan asap besar yang membumbung tinggi. Membuat rabun pandangan setiap orang dalam melihat sesuatu secara objektif. Jika memang karena sentimen pribadi, sepatutnya dinamika kampus membuat kita semakin dewasa dan semakin bijak dalam menyikapi perbedaan. Dan ingat, penebar kebencian hanya pantas berakhir di kerak dasar neraka. Bukankah begitu?

Kembali muncul pertanyaan. Atas dasar apa eksistensi gerakan ekstra dinilai sebagai sebuah dosa yang membuat orang menjadi takut dan antipati untuk terlibat di dalamnya? Apa yang salah dengan “anak gerakan”?

Saya yakin setiap gerakan dibangun atas dasar kebaikan. Gerakan adalah raga bagi jiwa yang haus ilmu dan ruh bagi jiwa merdeka yang menolak tunduk pada sistem kaku. Mereka adalah upaya untuk merawat kegelisahan atas permasalahan yang tidak mampu ditangani lembaga-lembaga formal kampus, dimana visi mereka hanya hidup selama setahun kepengurusan dan kemudian mati. Berbeda dengan gerakan ekstra yang memiliki visi yang terus hidup selama masih ada nafas dalam gerakannya; Abadi. Saya yakin setiap gerakan adalah wadah bagi mereka yang ingin mengembangkan kapasitas diri. Mereka adalah wadah dimana mahasiswa bisa belajar banyak hal; diplomasi, public speaking, berpikir kritis, bahkan menemukan pasangan hidup. Dan terakhir, yakinlah bahwa gerakan ekstra hakikatnya diciptakan untuk membentuk para kader yang bermanfaat; bagi nusa, bangsa, dan agama.

Akhir kalam, Setiap orang memiliki hak dalam membuat keputusan yang terbaik baginya. Begitupun motif untuk bergabung dengan gerakan ekstra, baik motif politik, agama, ataupun asmara. Sudah sepatutnya kampus menjadi laboratorium sosial bagi kita untuk tumbuh dan berkembang dengan siapa saja dan apa saja. Mari saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan dengan cara yang humanis. Jika memang ada perbedaan prinsip bukankah selayaknya diselesaikan secara harmonis?

Tulisan naif ini lahir sebagai bentuk perlawanan atas fenomena politisasi anak gerakan. Tulisan ini menjadi wajah sebuah perasaan yang gundah atas ketidakadilan yang masih terjadi dalam lingkup elit organisasi sekalipun. Apakah karena mereka anak gerakan, mereka harus tertolak oleh otoriterisme pemegang kuasa? Apakah karena mereka anak gerakan, hak mereka untuk berkontribusi melalui lembaga eksekutif harus dibunuh karena identitas gerakan mereka?

Sesungguhnya diam adalah bentuk kematian. Sudah saatnya kita tidak lagi bersembunyi. Membisu dalam sikap apologis. Ini saatnya kita bangkit dan dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai manusia yang senantiasa bergerak dan menolak kematian. Kebatilan tidak akan terus hidup. Ia akan terkikis dan terkubur oleh mereka yang terus BERGERAK!

Saya rasa ini memang bukan lagi era orde baru. Dimana sikap otoriterisme hanya bisa berkompromi dengan perlawanan. Tetapi jika memang masih ada cecunguk kampus yang bersikap otoriter dengan amanat barunya, hanya ada satu kata; LAWAN! (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Saat ini diberi amanah sebagai Menteri Sosial Politik BEM Undip 2017

Lihat Juga

Falsafah Iqra’ dan Fenomena Kehidupan

Figure
Organization