Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Huru-Hara di Pergantian Tahun

Huru-Hara di Pergantian Tahun

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (wallpapermania.eu)
Ilustrasi. (wallpapermania.eu)

dakwatuna.com – Tak terasa tahun telah berganti, diiringi dengan pergantian bulan desember beralih kembali ke bulan januari. Segala resolusi pun bersahutan saling mengiringi sosoknya di tengah gagap gempitanya gelaran menyambut sang waktu. Resolusi dari para sang penguasa maupun dari rakyat jelata tak mau ketinggalan untuk mengucapkan kutipan resolusi, sebagai bagian dari syarat aktualisasi pergaulan. Arus kutipan resolusi yang muncul pun tak hanya sekedar harapan yang ada di dalam benak semata, namun seiring zaman yang semakin digital kutipan resolusi pun masih gencar di alokasikan para remaja bau kencur, ataupun abang somay di media sosial.

Di samping resolusi yang selalu ngetrend bertebaran, pergantian tahun baru pun selalu identik dengan yang namanya pesta perayaan maupun huru-hara yang menurut penulis semakna dengan gagap gempitanya huru-hara akhir zaman. Menjadi tak trendi ketika pergantian tahun cuma sibuk menyendiri di dalam kamar macam jones (jomblo ngenes) menantikan pergantian status seperti status kalender yang juga bisa berganti, begitulah kira-kira kata yang tepat bagi para kaum muda. Lalu untuk kaum yang menamakan dirinya dewasa?, tak taulah mungkin mereka ingin dianggap anak muda yang gaul dan kekinian.

Resolusi perbaikan bangsa, ekonomi dunia, asmara, maupun pergeseran toga bernamakan wisuda bagi para mahasiswa abadi, hadir di setiap penjuru. Tak peduli resolusi itu hasil karsa cipta sendiri maupun jiplakan dari sang pujangga titisan mbah   google, om yahoo, ataupun tante opera, asal mendapatkan like di media sosial tentu hati berbangga senang. Namun dari itu semua resolusi yang akrab dikemas dalam status facebook, maupun twitter masih tetap dirajai oleh sejumlah kata manis asmara dari para pujangga dadakan, maupun seorang hamba yang tengah berdoa di tengah hiruk pikuk ramainya timeline facebook dan twitter.

Tak hannya sekadar adu jago di ungkapan resolusi namun pergantian tahun juga menjadi ajang pamer gaya hedonisme masa kini.

Tradisi untuk menyelenggarakan pesta pora ditengah gagap gempitanya pergantian tahun tak juga berkurang kemeriahannya, di tengah pasang surut sulitnya ekonomi yang melanda bangsa ini. Gemerlapnya pesta perayaan pergantian beberapa waktu yang lalu, seakan mirip sebuah adegan huru-hara perang dunia karena bisingnya keadaan para masyarakatnya hingga kerasnya suara kembang api di setiap penjuru kota yang saling bersahutan.

Praktik huru-hara pergantian akhir tahun ini tanpa disadari menggiring kita kepada tradisi yang doyan pesta pora tanpa memikirkan nasib orang lain. Bayangkan saja ketika tetangga yang tengah khusyu beristirahat, harus sekuat tenaga mengerahkan kemampuannya hanya untuk menutup telinga demi meredam dampak suara yang mengganggu waktu tidur. Atau seorang ibu yang tengah kerepotan mendiamkan bayinya karena terus menerus menangis diakibatkan oleh suara sahutan silih berganti kembang api yang tengah mengudara tersebut, tanpa ampun membawa suasana mencekam seperti jatuhan bom atom di era perang dunia 2 hirosima dan nagasaki.

Suara kembang api tahun baru lalu selain mengganggu dari segi auditory (pendengaran) namun juga menimbulkan efek polusi udara, oleh asap hasil letusannya. Padahal partikel asap yang terkandung di dalamnya menurut, “penelitian toksikologi telah menunjukkan bahwa banyak partikel logam dalam asap dari kembang api yang bio-reaktif dan dapat mempengaruhi kesehatan manusia ” (News-medical.net).

Selain kesehatan, banyaknya kembang api yang dinyalakan di setiap malam pergantian tahun juga bagian dari bentuk kemubaziran yang nyata. Untuk di samarinda saja, ritual perayaan pergantian tahun menghabiskan dana hingga 3,5 milyar hanya untuk kembang api   (Prokal 1/1/2016). Lantas 3,5 Milyar yang dibakar sia-sia tersebut bisa jadi akan lebih bermanfaat jika dikumpulkan dan di alokasikan   kepada para fakir miskin yang tengah dalam kondisi kemelaratan dan kelaparan. Ditengah kondisi ekonomi sulit ini sangat disayangkan sekali jika tabiat hedonisme tak mampu lagi terkontrol dengan eloknya.

Pergantian tahun seharusnya menjadi sebuah ajang evaluasi diri akan pencapaian yang telah di dapatkannya maupun sebagai bahan renungan untuk berubah ke arah perbaikan. Budaya hedonisme yang terkandung dalam praktik huru-hara pesta menyambut pergantian tahun sudah selayaknya digantikan kepada sebuah evaluasi masal atas apa yang telah di lakukan selama satu tahun. Pemerintah dalam hal ini sebaiknya tidak dengan mudahnya memberikan izin terkait keramaian yang membuat keributan di seluruh penjuru kota untuk menyalakan kembang api masal, dikarenakan suara gaduh yang dihasilkan, bahkan sudah terdengar semenjak umat muslim tengah menjalankan ibadah sholat isya.

Jika hal ini terus menerus dilestarikan, tentu sangat disayangkan mengingat tak sedikit dampak buruk yang ditimbulkan dari sisi psikologis, sosial, kesehatan, hingga ekonomi. Pergantian tahun yang seharusnya membawa perubahan baru, justru menambah kesetresan baru jika tidak merayakan, fungsi sosial yang seharusnya saling menghargai justru saling tersinggung dikarenakan efek gaduh yang mengganggu tetangga, udara yang bersih pun jauh dari harapan akibat terjajah asap letusan kembang api, hingga alokasi keuangan yang mubazir akibat banyaknya uang yang dibakar sia-sia di dalam kembang api.

Berubah untuk menyongsong pergantian sang waktu tak mesti harus melakukan perayaan pesta. Merayakan perubahan tahun pada hakikatnya adalah melakukan perbaikan diri hingga perenungan untuk mengevaluasi kekurangan yang akan digantikan dengan posisi kelebihan yang bermanfaat. Saling menghargai merupakan syarat utama persatuan dalam bingkai perbedaan. Sebuah bangsa indonesia yang katanya bersemboyankan “berbeda-beda namun tetap satu” akan semakna lurus jika saling menghargai itu di implementasikan secara benar. Dari   hal yang sederhana dimulai menghargai tetangga terdekat hingga terhadap seluruh rakyat indonesia.

Dan hal yang paling penting, di negeri mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia adalah ajaran untuk menghargai dan memuliakan tetangga merupakan salah satu dari akhlak islami yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena memang sebagai manusia dan makhluk sosial yang saling membutuhkan orang lain. Kita tidak mungkin terlepas dari apa yang dinamakan dengan tetangga. Untuk itulah menghormati tetangga dalam islam mempunyai peran serta arti penting dalam tuntutnan hidup bermasyarakat dalam agama kita ini.

Apabila pergantian tahun baru praktik huru-hara gaduh perayaan, dan ajang hedonisme yang mengakar tersebut digantikan dengan meningkatkan rasa saling menghargai dan peduli terhadap kondisi sesamanya maka insya Allah bangsa ini tak akan lagi segan menghadapi tantangan kedepan. Terlebih di era Masyarakat Ekonomi Asean ini, dikarenakan masyarakatnya telah siap untuk selalu peduli dan membantu terhadap tetangganya yang tak berdaya oleh persaingan dengan orang asing yang masuk di negeri ini.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mungkin tulisan hanya kan menjadi pajangan, namun dengan tulisan kita mampu mengekspresikan keresahan dan harapan. melalui tulisan pun kita mampu menciptakan perubahan yang akan terekam dalam keabadian. Seorang biasa yang berusaha untuk terus belajar dan melengkapi kekurangan

Lihat Juga

Pertemuan Tidak Membuahkan Hasil, Warga Kampung Deret Lapor Ke KPK

Figure
Organization