Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Karena Hujan Adalah Kesempatan

Karena Hujan Adalah Kesempatan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Curah Hujan - Iustrasi
Curah Hujan – Iustrasi

dakwatuna.com – Lengang. Suasana yang menggambarkan kampung penempatanku akhir-akhir ini. Sekilas kita akan berpikir, bahwa sepertinya semua penghuni kampung ini sedang tidur malas-malasan menghangatkan diri di bawah selimut. Hanya itu selintas alasan yang akan diutarakan melihat keadaan seperti ini. Hujan yang tiada henti dari hari ke hari, jalanan yang teramat becek dengan tanah lengket yang selalu ikut kemana-mana. Maka tetap berdiam diri di dalam rumah adalah pilihan terindah.

Ternyata, semua “tuduhan” itu jauh dari kata tepat. Tidak ada kata malas-malasan yang pantas dilontarkan. Penduduk kampung bukan berdiam diri di rumah, tapi mereka mengumpulkan berkah yang Allah turunkan bersama hujan. Bukan tak ingin mereka mendekam diam di peraduan, hanya saja saat hujan beginilah mereka dapat berusaha untuk bekal hidup mereka ke depannya.

Musim hujan yang datang setelah kemarau sekian lama, tentulah menjadi anugerah terindah dalam hidup mereka. Hujan yang hanya datang hampir di akhir tahun membuat mereka harus kasak kusuk memanfaatkan hujan yang tak begitu lama. Meskipun jalanan becek, mereka tetap berangkat menggarap sawah dan ladang untuk menanam padi. Masyarakat di sini hanya mengharapkan penghasilan dari sawah tadah hujan.

Ketika musim hujan agak lama, maka mereka dapat panen dua kali setahun. Tapi jika tidak, maka hanya cukup satu kali. Kondisi daerah di sini lumayan ekstrim menurut saya. Ketika kemarau, maka kekeringan pun melanda. Sungai hingga sumur pun kering. Sementara kala hujan, maka sungai pun meluap-luap karena banjir. Jika di kampung halaman saya, maka masyarakat tidak akan bekerja sebelum hujan reda. Tapi di sini, mereka tetap menerobos hujan meski deras sekalipun.

Kegigihan mereka patut diacungi jempol menurut saya, karena tidak semua orang mampu seperti mereka. Saya yang sudah hampir setahun membaur dengan mereka belum mampu bergerak cepat seperti mereka. Kalau hujan di pagi hari, rasanya kaki saya teramat berat melangkah keluar dari kamar tidur. Jangankan untuk mencoba ikut ke sawah, melangkah ke sekolah saja rasanya teramat susah. Terkadang saya ingin menangis saat berjalan ke sekolah, jalanan terlalu susah ditempuh.

Sekolah yang hanya berjarak sembilan rumah dari tempat tinggal saya tak ayal juga menjadikan saya mandi keringat menempuh perjalanan. Semua ini karena saya masih belum mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Setiap kali hujan, saya hanya mampu menyeret-nyeret kaki perlahan. Jalanan yang licin serta tanah lengket juga ikut menambah beratnya perjuangan. Terlalu lebay mungkin jika orang sini yang melihatnya. Namun, baru seginilah yang dapat saya lakukan sembari terus berusaha menyesuaikan diri di sini.

Kembali ke masyarakat kampung ini, mereka bahu membahu untuk merampungkan pekerjaan sawah dan ladang. Masa kerja mereka hanya selama musim sawah yang tidak berapa lama. Ketika musim sawah telah berlalu, maka hilang jugalah pekerjaan mereka di kampung. Para ibu-ibu hanya akan diam di rumah, mencari kesibukan dengan membuat makanan tradisional untuk konsumsi sendiri. Sementara para bapak-bapaknya mulai berlalu meninggalkan kampung. Mereka merantau mulai dari luar kecamatan hingga luar provinsi.

Penghasilan mereka satu-satunya adalah padi, maka sudah barang pasti semua kebutuhan mereka berasal dari padi. Mulai dari bahan makanan, pakaian, bikin rumah hingga untuk hajatan sekalipun. Banyak berarti? Iya, mereka panen padi hingga berpuluh puluh karung. Belum lagi ditambah dengan padi ladang yang diikat-ikat. Sebagian besar mereka harus membuat bangunan baru untuk menyimpan padi. Meskipun begitu banyak kebutuhan mereka yang harus menggunakan padi, Alhamdulillah padi mereka masih cukup untuk panen tahun berikutnya.

Semua ini merupakan hadiah dari Allah atas kegigihan mereka. Masyarakat yang selalu memanfaatkan kesempatan yang Allah berikan. Banyak pelajaran yang didapat dari mereka yang jauh dari bermalas-malasan. Bagi mereka, hujan bukan berarti kesempatan untuk liburan. Tapi, hujan adalah saat yang tepat untuk mereka mengharapkan keberkahan. Masyarakat kampung Cihanjuang Kecamatan Cibaliung Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten telah mengajarkan saya banyak hal selama satu tahun kebersamaan. Semoga setiap nilai positif dalam hidup mereka dapat saya ambil dan saya bawa pulang sebagai bekal di kampung halaman.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Jakarta Digenangi Banjir Lagi

Figure
Organization