Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Pintu Surga Paling Tengah adalah Mereka

Pintu Surga Paling Tengah adalah Mereka

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (cerpendakwah.wordpress.com)

dakwatuna.com – Benda itu masih diam. Sesekali si empunya memandangi benda itu dengan hati penuh harap. Sudah beberapa hari handphone biasa yang hanya bisa digunakan untuk SMS dan telepon itu tak berbunyi sama sekali. Dalam beberapa kesempatan, si bapak ini hanya bisa memandanginya. Dan sesekali dengan berkaca-kaca. Sebelum berangkat bekerja, sepulang dari bekerja, ia sempatkan untuk menengok handphonenya. Dan yang dia dapati tetap sama, dengan mata berkaca-kaca. Bapak ini memang tak begitu pandai mengoperasikan handphonenya. Di usianya yang lebih dari 50 tahun ini, ia baru saja memiliki handphone. Karena di saat itu, semua putra-putrinya tak ada di rumah. Bahkan, yang dia tahu hanya bahwa tombol berwarna hijau untuk menerima telepon dan tombol berwarna merah untuk mematikan telepon.

Rindu. Ya, mungkin itu yang sedang ia rasakan. Yang ia hajatkan untuk anaknya. Ia rindu dengan suara anaknya. Ia ingin tahu bagaimana keadaan anaknya, apakah ia baik-baik saja. Dan hanya handphone itu yang bisa mengobati rindunya. Sesekali ia membolak-balik handphonenya, bilakah ada yang rusak dengannya. Atau yang lebih ia takuti, apa yang terjadi dengan anaknya. Dan apa daya, yang bisa ia lakukan hanya menunggu.

“Nak, tolong perbaiki hape ini.” Pinta bapak itu kepada pemuda di toko handphone ketika pagi-pagi ia membawanya ke sana.

“Iya, pak. Silakan duduk dulu.” Jawab pemuda itu dengan wajah sumringah.

“Bapak,” kata pemuda itu beberapa saat kemudian, “handphone bapak ini tidak rusak, masih berfungsi dengan baik.”

Sang bapak yang mendengar penuturan pemuda itu hanya terdiam. Sesaat kemudian dengan bulir bening menetes dari matanya ia berkata lirih. “Tetapi kenapa tidak ada telepon dari anak saya?”

***

Kisah ini menginsyafkan kita bahwa orang tua adalah pemegang peran penting kesuksesan kita. Sedang ketika sukses itu telah kita dapat, giliran kitalah pemegang secarik kebahagiaan mereka. Bukan harta yang ia minta, bahkan ia lebih ridha harta itu jadi milik buah hatinya. Yang ia harap hanya waktu kita untuknya, kasih sayang kita untuknya. Bahkan untuk tahu kabar, yang ia harapkan bahwa kita baik-baik saja, bahwa kita masih rasakan nikmat sehat dari-Nya. Ia selalu tiupkan nafas cinta, hingga nafas cinta itu menjelma jadi indahnya masa depan kita.

Betapa beruntung kita memiliki orang tua yang sangat menyayangi anak-anaknya. Betapa beruntung kita memiliki orang tua yang di setiap peluhnya bahkan ia relakan untuk kita. Betapa beruntungnya kita memiliki orang tua yang dengan segala kurang dan lebihnya kita, ia selalu kedepankan kesabarannya. Dan betapa dzalimnya kita, kesibukan mengalihkan perhatian kita padanya.

***

Di lintas sejarah yang lain, terkisahlah seorang ibu yang merasakan betapa indahnya kasih sayang anaknya. Betapa kuatnya ikatan antara mereka, betapa berkah karunia Tuhannya. Di masa tuanya, dalam keadaan lumpuh lagi buta ia hanya ditemani seorang anak laki-lakinya. Pemuda yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Pemuda ini adalah pemuda langit. Ia tak terkenal di bumi, tapi terkenal di langit.

Kemudian kita tahu pemuda ini adalah Uwais Al-Qarni. Kemudian kita tahu bahwa pemuda inilah yang tanpa pernah melihatnya, Rasulullah bersabda tentang dirinya.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Dia seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya dan dia berbakti kepadanya. Dia pernah terkena penyakit kusta. Dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia diberi kesembuhan. Tetapi masih ada bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Sungguh, dia adalah pemimpin para tabi’in.”

Kala itu, Uwais Al-Qarni sangat ingin bertemu sang Nabi. Dan imanlah yang mendorongnya untuk bertemu dengan sang Nabi. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan ibunya dalam keadaan seperti itu?

“Pergilah wahai Uwais, anakku!” kata Ummu Uwais dengan haru ketika pada akhirnya Uwais mengutarakan keinginannya untuk bertemu Rasulullah, “Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”

Uwais yang kala itu sangat gembira dengan ijin yang diberikan ibunya, segera berkemas untuk berangkat. Tak lupa ia menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, dan berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.

Sampai di rumah Rasulullah, hanya istri Nabi– Aisyah, yang dapat ia temui. Sebab Rasulullah kala itu sedang berada di medan perang. Keinginan untuk bertemu Rasulullah masih terpatri di hati Uwais Al-Qarni. Ia tak tahu kapan Rasulullah pulang. Sedang kata-kata ibunya masih terus terngiang, “Engkau harus lekas pulang.” Dan bakti kepada ibunyalah yang kemudian membersamai langkahnya pulang dan segera menemui ibunya.

Peperangan telah usai, Rasulullah pulang ke rumahnya. Beliau bertanya pada Aisyah perihal orang yang mencarinya selama ia pergi. Kemudian Rasulullah mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni, anak yang taat kepada ibunya adalah penghuni langit. “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia,” Rasulullah melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, “Perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.”

“Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia,” kata Rasulullah lagi seraya menatap Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, “Mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit.”

Terkisah bahwa ketika wafatnya, demikian banyak orang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazahnya. Inilah, Uwais Al-Qarni. Di dunia tak banyak orang mengenalnya, namun sejatinya ialah penghuni langit.

***

Dari kisah Uwais Al-Qarni, kemudian kita belajar bahwa memuliakan orang tua adalah suatu hal yang harus kita upayakan. Sebab, ketika kita memuliakan keduanya, Allah pun akan memuliakan kita. Allah pun akan mencintai kita, mengistimewakan kita. Dengan cara-Nya.

Demikianlah, orang tua selalu bisa menjadi sebab seorang anak jadi penghuni surga.

“Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Engkau bisa sia-siakan pintu itu atau engkau bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Atau bahkan sebaliknya, menjadi penyebab murkanya Allah. Semoga kita terhindar dari hal ini.

Dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah pada ridha orang tua dan murka Allah pada murka orang tua.” (HR. Al-Baihaqy)

Tersebab kita ingin meraih cinta Allah, kita pun harus mencintai orang tua. Maka ketika cinta itu sudah jadi pilihan, akan kita lakukan apa yang membuatnya suka. Dan akan kita jauhi apa yang tak ia perbolehkan. Dan cinta itu akan tumbuh jadi cintanya Allah. Insya Allah.

Maka sudah jadi tugas kita mengupayakan yang terbaik untuk orang tua. Menjaga hati keduanya agar tak menimbulkan murkanya. Menjaga hatinya agar tetap tenang walau misal kita jauh darinya. Bahkan ketika kita harus jauh dari orang tua, yang mereka inginkan hanya mengetahui kabar putra-putrinya. Memastikan bahwa buah hatinya selalu dalam kondisi baik-baik saja. Maka jangan biarkan khawatir terus menyergapi mereka. Teruslah berkabar agar tenang hatinya dan doa terus terlantun dari bibirnya. Untuk kesuksesan kita meraih cita.

Di mana pun kita berada, merekalah tempat ternyaman untuk kembali. Untuk menceritakan segala cerita. Untuk mengembalikan lagi asa. Hingga kita terus kuat memperjuangkan apa yang kita pilih. Bahkan ketika di tanah rantau untuk mengumpulkan ilmu, atau bahkan memperjuangkan cita-cita.

Maka kelak, ada saatnya kita harus kembali. Berada di samping mereka. Memberikan apa yang bisa kita beri. Mempersembahkan apa yang bisa kita persembahkan. Yang terbaik.

Karena kita yakin, pintu surga paling tengah adalah mereka. Maka jangan sia-siakan. Raihlah dan jagalah. Orang tua, ialah kata yang paling menggetarkan hati setiap anak.

Wallahu a’lam bishshawab.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di Magetan bulan Februari 1993. Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang angkatan tahun 2011. Pernah aktif di Unit Aktivitas Kerohanian Islam (UAKI) UB, Forum Kajian Islam Teknologi Pertanian (FORKITA) FTP UB, MYLIFE Kota Malang, dan Komunitas Kebaikan Kecil (KANCIL) Kota Malang. Kini menjadi salah satu staff pengajar di YLP2AIT Al Uswah Center Magetan.

Lihat Juga

Empat Ciri Wanita Penghuni Surga

Figure
Organization