Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Cinta Guruku Pembawa Kesuksesan

Cinta Guruku Pembawa Kesuksesan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Sri Wahyuni)
Ilustrasi. (Sri Wahyuni)

dakwatuna.com – Di sebuah sekolah, ada seorang guru mengajar dengan tulus dan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk siswa-siswanya. Guru tersebut merupakan wali kelas 5, salah satu siswa dalam kelasnya selalu berpakaian sembrono, acak-acakan dan kumel. Anak ini malas, saat berlangsung proses belajar mengajar ia selalu mengantuk di kelas, dan sering datang terlambat ke sekolah. Ketika guru mengajukan sebuah pertanyaan, semua siswa mengacungkan tangannya untuk menjawab sebuah kuis. Kecuali dia yang tak mengacungkan tangan. Dia tidak pernah berpartisipasi aktif di dalam kelas.

Guru ini terus berusaha melakukan berbagai cara untuk menyukai anak tersebut, tapi tidak pernah berhasil. Hingga akhirnya ia bermasa bodoh terhadap anak itu. Di raport semester ganjil, guru tersebut menulis apa adanya mengenai keburukan anak tersebut.

Suatu hari tanpa disengaja, guru itu membolak-balikkan raport anak tersebut dari kelas 1. Di antara catatan raport dari wali kelasnya terdahulu ada catatan yang tertulis, “Ramah, menyukai teman-temannya, ceria, sopan, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, memiliki potensi untuk berhasil.”

“Ini pasti salah, bisa mengikuti pelajaran darimana? Pasti wali kelasnya ngarang.” Pikir guru tersebut sambil melanjutkan membaca catatan raport anak ini.

Di catatan raport kelas duanya tertulis, “Kadang terlambat datang ke sekolah disebabkan harus mengurusi ibunya yang sedang sakit terlebih dahulu.”

Di kelas 3 catatan semester ganjilnya tertulis, “ Sering mengantuk di dalam kelas, disebabkan penyakit ibunya yang semakin memburuk.” Catatan semester genapnya tertulis, “Sering merenung, tak punya semangat disebabkan karena ibunya meninggal.”

Di catatan raport kelas 4 nya tertulis, “Ayahnya depresi sehingga sering melakukan tindak kekerasan kepada anak ini.”

Tiba-tiba guru ini merasakan sesak di dadanya, tanpa ia sadari air matanya jatuh berlinang. Ia menyesal telah mengumpat anak ini dengan sebutan anak yang pemalas, padahal anak ini sudah berusaha dengan sangat tangguh untuk bertahan dari pilu yang ia rasakan begitu mendalam.

Keesokan harinya, selesai jam sekolah ia menyapa anak ini. “Kebetulan ibu ada sesuatu yang mau dikerjakan di sekolah sampai sore, kamu mau nggak belajar mengejar ketertinggalan kamu di pelajaran? kalau ada yang kamu nggak ngerti, entar ibu yang ajarin.”

Mendengar gurunya memberi perhatian kepadanya, anak ini memberikan senyuman manisnya kepada guru tersebut. Guru tersebut tentunya juga sangatlah senang melihat siswa yang dicapnya pemalas itu mulai bangkit dari keterpurukannya.

Semenjak saat itu, anak tersebut bersungguh-sungguh belajar. Suatu hari pada saat guru tersebut masuk ke dalam kelas dan memberikan kuis lagi kepada siswa-siswanya, anak ini mengacungkan tangannya. Rasa senang yang guru tersebut rasakan tidak mampu diucapkan dengan kata-kata. Kepercayaan diri si anak ini mulai tumbuh kembali.

Di kelas 6, guru tersebut tidaklah menjadi wali kelas si anak. Pada saat pengumuman kelulusan, guru tersebut mendapat selembar kertas dari anak tersebut. Di dalam surat tersebut tertulis, “Bu guru sangat baik padaku seperti mama, bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”

Setelah sepuluh tahun kemudian, guru tersebut kembali mendapat sebuah kertas yang bertulis, “Saya menjadi dokter yang mengerti rasa sakit dan mengerti rasa syukur. Saya mengerti rasa sakit karena saya pernah menerima pukulan-pukulan dari ayah, saya mengerti rasa syukur karena telah dipertemukan dengan ibu guru.”

Kertas itu diakhiri dengan kalimat, “Saya tidak pernah lupa dengan ibu guru saya waktu kelas 5. Mungkin bu guru yang Allah kirimkan untuk menyelamatkan saya dari keterpurukan yang berkepanjangan. Sekarang saya sudah dewasa dan menjadi dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah wali kelas saya di kelas 5 SD.”

Setahun kemudian, kertas yang datang adalah surat undangan, dalam kertas tersebut tertulis, “Mohon duduk di kursi mama di pernikahan saya.” Air mata guru tersebut tumpah tanpa mampu ia bendung lagi, rasa haru dan bahagia menyelimutinya seketika.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization