Topic
Home / Berita / Opini / Proyek Kelahiran

Proyek Kelahiran

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Penulis ingin mengajak alam pikiran anda berkelana pada beberapa peristiwa. Yang penulis ingin ceritakan ini adalah kisah nyata. Beberapa kisah mungkin sudah anda pernah dengar sebelumnya. Semoga saja anda tak bosan dan mau bersabar membersamai penulis menjelajahi semua kisah masa lalu.

Kisah pertama adalah kisah Nabi Sulaiman. Ia adalah Nabi yang hidup di tahun 900-an Sebelum Masehi. Ia dianugerahi Allah dengan kebijaksanaan tentang hukum dan berbagai peristiwa serta pengetahuan tentang komunikasi. Dalam sebuah kisah, Nabi Sulaiman pernah memberikan masukan kepada ayahnya, Nabi Daud, saat memutuskan perkara.

Tatkala dua orang petani dan peternak kambing saling berseteru karena kambing-kambing telah menghabisi tanaman milik petani, Daud memerintahkan pemilik kambing untuk menyerahkan kambing kepada petani sebagai ganti rugi. Tapi Sulaiman justru berpikir berbeda; alih-alih membebankan kepada salah satu, Sulaiman justru mengusulkan agar petani memelihara kambing dan mengambil manfaatnya, dan penggembala dibebani tugas untuk menanam kembali tanaman yang dirusak hingga waktu panen masing-masing peliharaan tiba. Semuanya mendapatkan untung dari usulan Sulaiman. Kalau istilah sekarang namanya win-win solution.

Karakter Sulaiman yang bijak dan adil itu tidak ujug-ujug hadir. Ia memang sedari kecil dididik oleh ayahnya untuk senantiasa bekerja keras, mandiri, bersikap jujur dan disipilin. Kelak, sifat-sifat ini menjadi semakin cemerlang saat Sulaiman duduk menjadi raja Kaum Israil menggantikan ayahnya. Beberapa cerita kebijaksanaan Sulaiman bisa kita baca dalam beberapa fragmen yang tertulis dalam Alquran.

Sekarang kita membuka lembaran kisah kedua. Kisah Nabi Yusuf. Ia adalah Nabi yang juga menjadi Menteri Keuangan pada zaman pemerintahan Imra’atul Aziz di tahun 1600-an Sebelum Masehi. Kisah kehidupannya dipenuhi oleh banyak cerita yang mencerminkan dedikasi dan kejujuran. Saat ia diangkat menjadi Menteri Keuangan itulah ia mampu menyelamatkan krisis yang melanda Mesir saat itu dengan memerintah mengatur konsumsi penduduk dan menyimpan hasil panen untuk digunakan saat periode krisis melanda.

Penduduk Mesir tentu saja mentaati perintah Raja dan Menteri Keuangannya. Tapi bukan ujug-ujug taat. Kejujuran dan kesabaran Yusuf memang sudah menjadi buah bibir rakyat sehingga mereka percaya dengan kata-katanya. Dan sifat jujur Yusuf untuk tak melakukan korupsi atau menyelewengkan dana hasil panen yang disimpan dalam ruang perbendaharaan kerajaan juga bukan sifat ujug-ujug. Memang dalam sejarah kehidupannya, kalau kita baca, Yusuf sudah dikenal sebagai orang yang santun, penyayang, penyabar dan jujur sejak masa anak-anak

Sekarang kita meloncat ke cerita ketiga. Kisah dari negara kita sendiri. Kisah Muhamad Hatta. Proklamator kemerdekaan yang kisah kejujuran dan kesederhanaannya menjadi cerita turun-temurun. Sebut saja misalnya kisah Hatta yang tak mau memakan gaji karena kondisi negara saat itu mengalami krisis dan lebih senang membagikan gajinya untuk rakyat. Atau kisah ia yang tak mampu membeli sepatu dan mesin jahit padahal jabatannya bergengsi saat itu; Wakil Presiden.

Sifatnya yang menjadi teladan banyak orang itu menjadikan namanya didedikasikan bagi sebuah penghargaan bergengsi yang terselenggara sejak 2003 yang diberikan kepada para pelopor terpilih dari berbagai kalangan yang mendedikasikan hidupnya untuk melawan korupsi dan memberikan teladan tentang praktik hidup nir-korupsi; Bung Hatta Anticoruption Award.

Tentu saja, sifat sederhana, jujur, penuh tanggungjawab dan sangat peduli rakyatnya itu tak serta-merta hadir dalam pribadi Hatta. Ia memang sedari kecil dididik oleh ayahnya -dan dilanjutkan oleh pamannya saat remaja- tentang berbagai teladan agama dan perilaku positif yang hidup dalam pribadi ayah dan pamannya. Kelak, di biografinya, Hatta mengakui bahwa sifat keduanyalah yang banyak mempengaruhi kekuatan intelektual, emosional, dan prinsip-prinsip hidup yang diyakininya saat dewasa.

Sifat-sifat yang terkumpul dalam ketiga cerita itu (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggungjawab, kerja keras, sederhana, berani, adil, sabar) kita sebut sebagai karakter mulia atau karakter positif. Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan atau akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Saat karakter ini mengiringi kedewasaan orang, ia menjadi watak. Kumpulan sepuluh sifat itu menjadi sifat mulia yang diidamkan oleh seluruh manusia.

Sehari yang lalu (8/12), Ridwan Kamil Walikota Bandung yang kotanya menjadi tuan rumah penyelenggara Festival Anti Korupsi 2015, memberikan definisi sederhana tentang sifat mulia kemanusiaan kita sekaligus memotivasi para jomblo; “Lelaki mah gak perlu ganteng. Yang penting punya karakter dan determinasi”. Dua hal penting agar kita bisa hidup dengan terhormat dan menjadi pembeda kita dengan yang lain menurut Ridwan Kamil, adalah karakter dan determinan.

Apa itu determinan. Determinan adalah faktor yang menentukan kita berbeda dengan yang lain. Bisa berupa kapasitas atau bahkan bisa berupa karakter teladan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Kalau karakter itu sudah menjadi urat nadi kehidupan, tak hanya sekadar kata tapi maujud dalam aktivitas di dunia kerja atau kehidupan sosial kita, maka kita menamainya integritas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas adalah mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki kemampuan untuk memancarkan kewibawaan. Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak pernah goyah dalam menjunjung tinggi  nilai-nilai, moral dan etika luhur. Integritas juga bisa dimaknai sebagai keunggulan moral dan menyamakan integritas sebagai “jati diri”. Kita bisa dikatakan memiliki integritas apabila tindakan kita sesuai dengan nilai dan prinsip luhur yang kita yakini.

Jadi, integritas kata kuncinya. Ia semacam kata ajaib yang menjadikan manusia jadi mulia. Lalu dari mana muncul karakter yang kemudian menjadi integritas seseorang ?. Ada kata-kata mutiara yang menerangkan prioritas pembentukan jiwa kemanusiaan kita; “When you are looking at the characteristics on how to build your personal life, first comes integrity; second, motivation; third, capacity; fourth, understanding; fifth, knowledge; and last and least, experience”.

Penulis membaca beberapa negara yang telah mewujudkan praktik nir-korupsi dan prosentasi penyalahgunaan wewenang dalam kehidupan negara di multi sektor yang sangat minim. Misalnya saja Denmark yang merupakan negara dengan tingkat korupsi paling rendah sedunia. Di tingkat dasar, anak-anak di titikberatkan pada permainan,  pendidikan karakter, humanities, musik dan practical subject. Atau misalnya Selandia Baru yang merupakan negara dengan prosentase korupsi terendah kedua di dunia. Ternyata, pendidikan dasar mereka lebih menekankan tentang pendekatan anak pada alam dan lingkungan, yang perlahan tapi pasti ikut membentuk karakter anak-anak.

Penulis tidak menafikan konsepsi pemerintahan yang transparan, tegasnya penegakan hukum atau terlibatnya masyarakat secara aktif yang menjadi faktor besar pemberantasan korupsi. Yang ingin saya tekankan adalah soal pembentukan karakter positif di usia dini sebagai bagian dari operasi besar kelahiran generasi baru dengan karakter mulia yang mampu mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi.

Jadi, penulis percaya; tidak ujug-ujug calon pemimpin yang menandatangani Pakta Integritas dalam event pemilihan kepala daerah lantas ia dengan sekali kedip langsung berubah menjadi orang yang memiliki integritas. Penulis cukup geli dengan gembar-gembor seperti itu. Walaupun, dalam rangka meneguhkan komitmen pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang baik, penandatanganan Pakta Integritas menjadi terobosan yang cukup maju dan lebih baik. Tapi, memang, ada hal yang lebih penting dari sekedar penandatangan Pakta Integritas, yaitu sejarah yang terbentang dalam layar hidup calon (pejabat) yang bisa menjadi referensi penilaian.

Kesimpulan ceritanya; dengan kondisi negara yang sedang mengalami krisis seperti ini, kita memerlukan hakim yang lembut dan tidak keras menghukum rakyat. Perlu inovasi win-win solution karena kita sedang susah semua. Yang kedua, diperlukan pemimpin dan bendahara yang memiliki integritas, tidak sekadar kampanye penghematan, tapi juga bisa memberikan teladan. Pemimpin boleh saja kaya, tapi sederhana itu soal karakter. Yang ketiga, kita perlu pemimpin yang tak sekedar kata, tapi bisa bekerja menggerakkan rakyat untuk mengatasi masalah

Kesimpulan lain; pendidikan karakter yang memunculkan sifat-sifat mulia (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggungjawab, kerja keras, sederhana, berani, adil, sabar) harus segera menjadi program nasional untuk melahirkan generasi baru yang kita impikan bersama. Yang kedua, sifat mulia Sulaiman, Yusuf dan Muhammad Hatta tidak serta-merta hadir. Ia lahir dari serangkaian proses sejak belia. Ia lahir dari melihat dan menyaksikan keteladanan keluarga dan kerabat terdekatnya. Yang ketiga, memulai generasi antikorupsi harus dari diri kita, dengan cara meyakini bahwa uang hasil korupsi itu bukan rezeki. Ia harus kita hindari dan jangan sampai masuk ke perut istri dan anak kita.

Selamat Hari Antikorupsi Sedunia !

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Anggota Keluarga Alumni KAMMI.

Lihat Juga

Oposisi Israel Ramai-Ramai Desak Benyamin Netanyahu Mundur

Figure
Organization