Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / 16 Jam Mencari Bahagia

16 Jam Mencari Bahagia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Hari ini saya akan membagikan sedikit pengalaman saya menantang diri. Bukan memimpin organisasi baru, ataupun mendatangi orang tua akhwat dan melamar untuk anaknya. Hari ini saya ingin menantang salah satu aspek yang menjadi kelemahan saya, yakni tantangan fisik. Saya memberanikan diri untuk menjelajahi Bogor – Bandung dengan mengendarai sepeda. Bukan sepeda milik saya, melainkan sepeda seorang teman mahasiswa yang baru menginjak status tingkat akhir yang sedang KKN. Sebenarnya saya pernah menantang diri saya untuk mengelilingi Bogor Raya dengan berlari pagi. Perjalanan sekitar 4.5 jam, namun itu masih belum membuat saya merasa bahagia karenanya. So, akhirnya saya memutuskan untuk bersepeda dari Bogor-Bandung. Berharap mendapat banyak teman dan nilai-nilai kepemimpinan selama di perjalanan.

Jam 07.00 pagi saya berangkat dari asrama dengan sepeda putih biru dengan sedikit suara unik dari klakson seperti sepeda ontel menemani. Hari itu jalanan masih sepi, tidak seperti biasanya. Rute jalan yang saya ambil menuju stasiun adalah rute yang selalu saya lewati apabila ada agenda ke UI atau UGM. Saya berpikir, yang penting sudah sampai Stasiun Bogor. Semuanya terasa tampak dekat. Bahkan ke Jogja sekalipun. Sekitar 2 jam, akhirnya saya sampai di Tugu Kujang (pemberhentian 1/5), sebuah monument menjulang berwana hitam yang terletak di tengah Kota Bogor yang menjadi signature bagi para orang asing dari Jakarta ataupun Sukabumi. Di sana saya diam di seberang tugu dan mencoba mengabadikan dengan meng-upload-nya di media sosial kegemaran saya, facebook tentunya. Dengan mengupload foto tugu itu, paling tidak ini bisa jadi komitmen saya untuk melanjutkan perjalanan mencari kebahagiaan. Hati berdebar-debar, pikiran bertanya-tanya akankah saya melanjutkan perjalanan ini. Ah, mungkin itu hanya bisikian bisikan yang hanya akan membuat saya mengurungkan niat menjadi seorang pejuang yang semangat. Karena sejatinya pejuang itu ada dua tipe : pejuang semangat dan pejuang malas. Maka saya memilih untuk menjadi pejuang yang semangat di sana.

Perjalanan ke puncak bukanlah hal yang asing bagi saya, beberapa event pelatihan kepemimpinan sering saya ikutin di sana, dari mulai locavore youthcamp, FIM Hore Gathering, hingga yang paling baru adalah global peace camp. Karena serasa bahwa puncak adalah rumah ketiga saya, saya terus percaya diri mengayuh sepeda melewati tanjakan yang bisa menghabiskan waktu saya kebanding dengan membuat sebuah website e-commerce atau sebuah sistem organisasi yang ideal. Perjalanan dari tugu hingga ke atas lumayan memakan banyak waktu dan tenaga. Hingga kaki ini kadang sudah tidak terasa masih ada atau tertinggal di belakang. Namun karena semangat untuk agenda besoknya sangat membara, saya terus meneruskan perjalanan itu. Suatu seketika ada satu mobil kol bunting (begitu saya menyebutnya di kampung) berhenti dan mengajak untuk ikut bersama sampai atas. Hati terasa senang sekali disana. Saya langsung naik dan kami banyak sekali mengobrol hingga tidak terasa telah melewati Masjid Puncak (pemberhentian 2/5). Kami banyak sekali mengobrol tentang pertanian, karena kebetulan bapak ini adalah supir dari perusahaan sayuran miliknya. Obrolan singkat akhirnya memisahkan kami. Sang bapak harus kembali mengabdikan dirinya untuk pertanian (bekerja mengambil sayuran ) dan saya harus meneruskan perjalanan ini. Dengan sedih hati, saya berpisah dengan sang bapak sayuran dan melanjutkan perjalanan. Namun berkat bapak ini, perjalanan yang awalnya panjang, bisa sedikit diskip. Disana saya mulai mengayuh sepeda kembali. Turunan masih belum ketemu, akhirnya saya harus masih tetap mendorong sepeda ini. Tak lama kemudian satu harapan yang diingikan tiba-tiba terkabul. Saya menemukan turunan yang sangat panjang sekali. Wah Alhamdulillah, akhirnya menemukan titik balik perjanalanan ini. Dengan sangat cepat saya mengendarai sepeda menuruni turunan yang luar biasa panjang itu. Setelah satu jam, barulah saya sampai di Cianjur. Mindset yang selalu saya ingat ketika saya lelah adalah mindset yang dipasang oleh seorang frodo yang berjuang mencapai puncak mordor, dan seorag luffy yang tidak henti berjuang membebaskan Portgas D Ace saat peperangan antara shirohige dan Marine. Awalnya saya kira perjalanan telah berakhir karena telah melewati buasnya tanjakan puncak. Namun di sana saya baru menyadari kalau perjalanan saya baru dimulai dari sana. Tanpa ragu lagi, saya melanjutkan perjalanan. Teriknya panas tidak membuat ayuhan sepeda berhenti. Jalanan yang sedikit datar membuat diri kembali menjadi semangat mengayuh sepeda. Waktu itu jam 14.00, dan perjalanan masih sangat panjang. Hingga akhirnya jam 15.00 sampai disebuah tempat yang menurut saya tidak asing, tempat yang biasa saya gunakan untuk bermain kepiting-kepiting kecil, tempat yang sudah lebih dari 10 tahun tak pernah dikunjungi, bahkan tidak teringat bahwa saya pernah mempunyai kenangan di sana. Ya, tempat itu adalah rumah dari kakek yang berasal dari ayah saya. Memang tempat itu tidak pernah keluarga saya kunjungi, mungkin karena kakek dan nenek saya sudah tidak berada di dunia ini lagi. Namun disana saya bertemu dengan paman-paman saya yang memang tidak satu ibu dengan ayah saya. Di sana saya istirahat sambil mengobrol-ngobrol sekitar setengah jam. Obrolan sangat terasa singkat sampai saya memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Bandung.

Perjalanan yang paling menghabiskan waktu itu adalah dimulai dari sini. Tanjakan yang luar biasa baru siap ditanjaki. Tanjakan ini terletak di wilayah Cipatat. Waktu itu menunjukan pukul 15.30. Sebelumnya saya mengirim pesan ke line sahabat saya untuk menyisihkan satu tajil di Masjid Salman ITB karena saya yakin bisa sampai di Salman ba’da maghrib. Karena semangat bertemu seorang teman dan ta’jil. Saya terus melanjutkan perjalanan. Dan tanjakan tak berujung akhirnya saya temui. Di awal saya memang mengayuh sepeda, namun seiring berjalannya waktu, saya mulai menyerah mengayuh dan mulai mendorong sepeda putih biru itu. Semakin lama waktu yang telah saya lewati semakin terasa masih panjang tanjakan yang saya lewati itu. Setelah sekitar tiga jam mengarungi samudera waktu, saya menentukan sebuah spot untuk menjadi titik pemberhentian berikutnya. Pemberhentian 3/5. Saya kira titik itu adalah titik balik tanjakan menuju turunan, ternyata kenyatannya saya masih membutuhkan dua jam lagi untuk menghabiskan. Harapan mendapat ta’jil dari Salman ITB pupuslah sudah ketika saya menyadari kalau saya baru sampai di wilayah Cimahi pada pukul 20.00. Ah, mungkin memang belum waktunya saya untuk mendapat ta’jil gratis dari salman. Tanpa pikir panjang saya tetap melanjutkan perjalanan, namun sebelum kembali mengayuh sepeda. Saya membeli gorengan tak mahal sebagai pengisi perut sementara. sekitar 30 menit, sampailah saya di portal masuk cimahi yang saya sebut pemberhentian 4/5.

Sepeda terus diayuh, suhu dingin di Bandung sudah tidak terasa lagi karena bercampur dengan panasnya suhu tubuh. Sekonyong-konyong di sebuah jalan yang saya lupa namanya, terjatuhlah sebuah kertas dan file berwarna hitam yang saya kira itu hanyalah lembaran plastik biasa. Saya hiraukan itu. Namun setelah saya mengejar pembungkus coklat file-file itu, isinya adalah sebuah hasil rontgen dari seseorang yang bernama Pak Sasmito Yupitoro yang berumur 50 Tahun. Entah mengapa, di saat yang sama saya diberikan dua orang teman baru disana. Ada satu tukang sate dan mungkin istrinya yang mengajak saya diskusi apa perlakuan yang paling tepat untuk file-file penting ini. Karena saya merasa malam itu masih panjang, so saya memberanikan diri untuk mengembalikan berkas yang alamatnya itu tidak tertera dengan penuh. Yang menjadi modal kenekatan saya waktu itu adalah nama lengkap, umur, alamat tidak lengkap dan sedikit idealism kami (isinya bisa diakses di web beasiswa saya). Bak mencari jarum di tumpukan jerami, saya tidak tahu harus kemana. Namun karena kita adalah mahluk sosial. Saya coba mengandalkan kemampuan saya berbahasa sunda dengan logat yang kata orang-orang nonsunda itu sangatlah halus. Tak lama kemudian, akhirnya saya menemukan seorang bapak-bapak dengan sarungnya habis pulang tarawih. Alhasil saya tanya kepada si bapak tentang rumah Pak “Sasmito Yupitoro” ini. Wah semakin sini, saya semakin mendapat banyak teman. Ditunjukanlah rumah bapak yang hasil rontgen-nya berada di saya itu. “Assalamualaikum “ sambil berulang-ulang menekan bel rumah sang bapak. Setelah menekan bel beberapa kali, akhirnya munculah seorang ibu yang mungkin adalah istri beliau. Langsung saja saya memperlihatkan berkas yang hilang itu karena saya takut kepada beliau. Ngomong-ngomong beliau ini adalah colonel. Begitulah sang Bapak Tarawih memberitahu branding beliau. Dan ternyata memang itu adalah berkas milik beliau yang jatuh dari mobil di jalan ketika beliau hendak melaksanakan tarawih. Rasa lelah perjalanan itu hilang seketika ketika ujian kepemimpinan diberikan. “ Nih dek buat jajan” sambil memberikan sejumlah uang yang besar. Sayangnya setiap selasa pagi, saya selalu meneriakan kalimat “ kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia, tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terimakasih. Yang kami harap adalah terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat serta kebaikan dari Allah Pencipta Alam Semesta”. Kalimat itulah yang selalu terngiang-ngiang ketika ada ujian-ujian idealisme seperti itu. Dengan segera, saya langsung pamit kembali melanjutkan perjalanan ke Salman ITB. Dari sana saya kembali lagi ke pasangan tukang sate dan bertanya rute jalan tercepat ke Bandung. Disana saya diberitahu jalan baru yang bisa langsung tembus ke portal tol Pasteur. Tanpa melihat google maps, saya menuruti apa yang dibilang pasangan itu. Perjalanan sekitar setengah jam dan saya telah mendapati diri berada di Bandung. Wilujeng Sumping Bandung, itulah kalimat yang tertera di papan paling atas sebuah gedung di sana. Jam sudah malam, tapi karena di Bandung, hati merasa sangat tenang. Disana saya hanya bisa mengikuti papan hijau bertuliskan taman sari. Sampai akhirnya saya malah mengambil jalan yang tidak boleh dilewati oleh para pesepeda ataupun para pejalan kaki. Jalan itu adalah jalan tol yang selalu saya lihat di sinetron TV “ Preman Pensiun”. Menyadari bahwa tidak ada sepeda atau pun pejalan kaki disana, saya langsung bergegas memutar arah melewati jalan terdekat disana. Perjalanan disana sudah mulai mendekati tujuan saya yakni ITB. Uniknya Bandung, walaupun hanya mengandalkan papan hijau bernama, kita bisa mencapai tujuan kita dengan mudah. Dengan sangat semangat saya terus mengayuh sepeda berbalapan dengan para pengendara motor disana. Dan banzai, akhirnya saya bisa touchdown di ITB pukul 21.30 WIB

Dari sini saya belajar banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang bisa terus membuat diri mengembangkan kapasitas. Tunggu episode keduanya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir dari keluarga yang sederhana. Mencoba meraih mimpi dengan meniti ilmu di Kampus Rakyat Institut Pertanian Bogor. Saat ini sosok Ryan Frizky sedang duduk di semester tujuh jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Beberapa pengalaman yang dipunyai oleh seorang Ryan adalah founder Inspiranessia, Desain Untuk Negeri, Kita Gerak, dan CEO Baju Gue Halal. Sekarang Ryan sedang aktif menjadi seorang peserta dua beasiswa yakni Bidik Misi IPB dan Rumah Kepemimpinan PPSDMS. Ryan aktif di organisasi dan kepanitiaan serta tak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang da�i produktif. Ryan bercita-cita menjadi seorang ustadz yang juga merupakan CEO sebuah E-Commerce makanan halal tingkat internarsional.

Lihat Juga

Bersyukurlah, Maka Hidupmu Akan Bahagia

Figure
Organization