Topic
Home / Berita / Perjalanan / I am Muslim, I am Tourist

I am Muslim, I am Tourist

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Masyarakat Srinagar bersiap mendirikan Shalat Jumat (spesial)
Masyarakat Srinagar bersiap mendirikan Shalat Jumat (spesial)

dakwatuna.com – Pendudukan suatu wilayah oleh Bangsa Asing selalu saja meninggalkan kepiluan yang dalam. Kecurigaan ditumbuhkan di mana-mana. Kewaspadaan terhadap masyarakat pribumi menjadi sangat berlebihan. Semua seolah dianggap membahayakan. Semuanya seolah dianggap martir yang akan sekonyong-konyong meledakkan diri di kerumunan masyarakat atau kantor pemerintahan.

Setidaknya itulah gambaran saya terhadap kependudukan Otoritas India terhadap wilayah Kashmir. Di Srinagar, tempat saya menginjakkan kaki di tanah berjuluk “The Heaven on Earth” ini, ribuan tentara India dikerahkan. Rasanya di setiap jengkal tanah Kashmir ada mereka. Kondisi ‘Siaga 1” menjadi pemandangan sehari-hari. Tentara dengan senjata lengkap, Tank Baja, Barakuda, bahkan kawat-kawat berduri berada di sana-sini.

Tak terkecuali Masjid sebagai tempat ibadah kaum Muslimin di seluruh penjuru Kashmir. Pengalaman miris ini aku alami ketika akan mendirikan Shalat Jum’at di salah satu Masjid terbesar di Srinagar.

***

“Pergilah ke salah satu Masjid terbesar di Srinagar ini. Hazratbal namanya. Kamu akan melihat bagaimana masyarakat Kashmir menyambut hari Jum’at,” demikian pesan Baba Aslam, pemilik House Boat tempat kami menginap. Sebelum kami berangkat ditemani anaknya, Saheel..

Jarak Masjid dari House Boat yang kami tinggali sebenarnya tak berapa jauh. Masih sama-sama di wilayah Danau Dal, sebuah danau besar yang sangat terkenal di Kashmir. Letak House Boat sendiri berada di tengah-tengah danau besar itu. Sementara letak Masjid yang dimaksud berada persis di tepian danau.

Luar biasa kulihat antusiasme masyarakat Srinagar khususnya dalam merayakan hari Jum’at. Sebagian kaum lelaki dan anak-anak mulai berjalan menuju Masjid. Begitu juga kulihat banyak ibu-ibu menuju ke arah yang sama. Berduyun-duyun, bahkan jauh sebelum Sholat Jum’at dimulai.

Namun ada perasaan miris terselip dalam hatiku. Ketika langkahku semakin dekat, aku mulai melihat kawat-kawat berduri, tank baja, hingga tentara bersenjata berat berjaga dengan ketat. Ya, mereka para tentara India! Tak berhenti sampai di situ, di gerbang masuk ke Masjid, tentara dengan senjata lengkap menggeledah setiap umat Islam yang hendak masuk ke Masjid tanpa terkecuali. Hal yang tak lazim terjadi di Indonesia, Negara yang kucinta tentunya.

“Kamera tidak akan bisa masuk, Brother,” Saheel setengah berbisik kepadaku.

“Aman, aku hanya membawa smart phone saja. Selebihnya dokumen perjalanan,” begitu kataku.

“Biasanya akan disita juga,” katanya.

“Aku coba saja. Let’s see,” kataku. Kebandelanku sebagai seorang traveler rasanya kembali muncul sebagai bentuk protes atas apa yang kulihat.

Benar saja, ketika giliranku melewati gerbang, dengan sigap seorang tentara memerintahkanku untuk mengangkat tangan.

“Angkat tanganmu, kami akan periksa,” ujarnya tanpa basa-basi. Kumis tebal yang melintang di atas bibirnya seolah memang dipelihara sedemikian rupa. Biar tambah sangar. Mungkin! Hehehe.

Tangan Tentara itu meraih metal detector dari atas meja yang tak jauh dari tempatku diperiksa.

“Tut… Tut…” suara detector menangkap sesuatu di tas pinggangku.

Open your bag, Sir” katanya melirik tas pinggangku.

Aku mengambil tasku. Kuambil passport, lalu kuserahkan tasku untuk diperiksa.

Smart phone ini tidak bisa masuk. Kami harus menahannya,” katanya singkat.

Kejengkelanku tiba-tiba saja memuncak. Namun kucoba menahan diri sekuat tenaga demi menghindarkan hal-hal yang lebih rumit lagi.

Sir, saya ke sini untuk beribadah. Bukan untuk membuat masalah. Bagaimana mungkin hanya sebuah smart phone saja Anda harus tahan?” aku berusaha mempertahankan diri.

“Anda bisa memotret apa saja di dalam. Itu tidak diperbolehkan. It’s a prohibited area?” kurang lebih begitu kata Sang Tentara.

Aku sejatinya tak begitu jelas mengerti kata per kata apa yang diucapkannya. Dialek Hindi-nya teramat kental bahkan ketika ia berbicara bahasa Inggris.

Aku tersenyum. Sengaja kuperlihatkan seringai sedikit mengejek.

“Di Negaraku, Masjid bahkan dibuat jadi tempat tujuan wisata, Pak. Unik rasanya kalau Anda bilang di sini sebagai tempat terlarang dan area dengan pengawasan khusus seperti ini,”

I am Muslim. I am tourist, Sir! Anda lihat passport dan visa saya. Ini otoritas India yang mengeluarkan lho. Kalau saya sulit di sini, saya pastikan akan melapor ke Kedutaan Indonesia terkait perilaku seperti ini,” kataku melanjutkan.

Aku tahu betul, bagaimanapun seorang turis asing di India akan mendapat sedikit keistimewaan. Para Tentara, Polisi, dan para petugas resmi akan dengan senang hati memberikan informasi bahkan membantu para pelancong seperti saya ini.

“Saya bisa saja meninggalkan smart phone ini. Yakin Anda bertanggung jawab? Dan, izinkan saya mencatat nama Anda. Ayolah, Pak. Lagian saya di sini cuma mau beribadah. Kenapa urusan kecil semacam smart phone begini saja Anda harus urus. Percayalah, Pak. Saya bukan pengacau, apalagi teroris,” kataku berusaha merayu. Semanis mungkin senyum kubuat. Meski hati sebenarnya jengkel bukan kepalang.

Sang Tentara merenung. Nampaknya alasan-alasanku bisa diterimanya. Sejenak kemudian ia memandang wajahku. Kepalanya menggeleng. Khas sekali gerakannya, macam penari-penari Bollywood di televisi. Tangannya memasukkan smart phone ke dalam tas pinggangku. Lalu tas itu diserahkannya padaku.

“Okay. Move!” katanya singkat. Tangan kanannya bergerak seperti mengibas. Tubuhnya menyingkir dari hadapanku.

Ya, akhirnya aku diizinkan untuk masuk. Saheel yang sudah menungguku tak jauh dari tempat pemeriksaan menjabat tanganku.

“Ada yang ditahan?”

“Nggak. Masa Cuma sama smart phone aja dia takut,” kataku.

Kami melangkah sama-sama ke tepian Danau Dal. Nyaris ke bibir danau. Telah dibuat undakan seperti tangga yang digunakan para jamaah untuk mengambil wudhu’ dari air danau di sana.

Keisenganku kembali tumbuh. Larangan untuk tidak mengambil gambar tak lagi aku pedulikan. Kukeluarkan smart phone-ku. Setelah dirasa aman, secara sembunyi-sembunyi kubidik beberapa spot, meski tentu saja hasilnya ala kadarnya. Tapi jadilah…

Perasaan miris ketika memasuki Masjid Hazratbal dengan segenap penjagaannya tentu tak akan hilang dengan lekas dari ingatanku. Di sana aku mendapatkan sebuah pembelajaran, bahwa pendudukan terhadap wilayah Muslim yang dilakukan orang-orang non-muslim, ternyata tak memberi ruang bebas untuk toleransi seperti yang kerap digembar-gemborkan. Ada pengekangan, ada kecurigaan yang tak semestinya. Contohnya, sekadar untuk melaksanakan Shalat Jumat saja sudah diperlakukan layaknya orang-orang yang berbahaya, sehingga harus diperiksa dan dijaga ketat sedemikian rupa. Aku membuktikannya! (ewa/dakwatuna)

 

 

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Eko Wahyudi atau yang akrab disapa Kang Ewa ini merupakan blogger, penulis, pecinta baca, dan traveler. Menjadi Penulis Lepas merupakan aktivitas pria penikmat bidang Ilmu Komunikasi Jurnalistik ini selain mengemban amanah sebagai Direktur Utama pada salah satu perusahaan swasta nasional. Tulisan pria kelahiran Pangandaran, Jawa Barat ini juga dibukukan dalam antologi cerpen Cinta dari Cikini (Indie Publishing, 2010), Kisah Inspiratif Pahlawan dalam Diam (Indie Publishing, 2014), serta Kisah Perjalanan From New Zealand to Netherlands (Halaman Moeka, 2015), dan Surga yang Tersembunyi (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Untuk bersilaturahim dengan Kang Ewa bisa melalui email: [email protected]

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization