Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Guru Nan Selalu Dirindu

Guru Nan Selalu Dirindu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Kondisi ruangan kelas di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. (Januarita Sasni)
Kondisi ruangan kelas di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. (Januarita Sasni)

dakwatuna.com – Delapan tahun, bukanlah waktu yang sebentar ikut berjuang mencerdaskan anak bangsa. Merintis sekolah dari gubuk bamboo hingga gedung permanen. Dari madrasah kecil yang tak dilirik hingga sekolah yang selalu mengantongi tropi dalam setiap kali kompetisi. Asam garam sudah tak sedikit yang dirasa, hingga semuanya begitu membekas di hati para siswa.

Seorang guru muda yang sangat sederhana, menggugah rasa haru di jiwaku saat melihat wajah teduhnya. Sembilan purnama sudah kehadiranku di sini baru lima kali kuberjumpa dengannya. Jujur aku tak terlalu bisa mengenal pribadinya langsung dalam pertemuan yang hanya sesaat. Tapi dari cerita para siswa aku pun kenal bagaimana sesungguhnya sosok seorang pak Suparman.

Puluhan tropi yang berjejer rapi di lemari sekolah itu pun tak terlepas dari campur tangannya. Terkadang aku merasa menyesal kenapa kami baru bertemu sekarang, seharusnya dari dulu aku berada di sini agar bisa belajar dari sosoknya. Terlepas dari semua “kabar miring” yang karena jarang hadir di sekolah, aku salut pada setiap kontribusinya.

Meskipun tak kusaksikan langsung bagaimana sepak terjangnya, karena jarang sekali bisa hadir di sekolah. Tapi setiap kabar berita yang dibawa siswa tak mengurangi kekagumanku padanya. Kagum pada kebijaksanaannya yang menghadirkan ketenangan di hati para siswa. Kagum pada kesabarannya selama delapan tahun mengajar tak pernah terlihat marah pada mereka, siswanya.

Aku ingin belajar banyak padanya, tapi kini semuanya telah kian sulit tuk kujalani. Pak suparman tak lagi mengajar di sini, beliau telah mengambil keputusan melepaskan sekolah ini dari pada tak bisa menunaikan amanah. Sungguh luar biasa, tak kusangka sepotong kalimatku kala menjadi MC di rapat kerja dua bulan yang lalu menjadi penguat pilihannya. “menjadi guru itu adalah amanah, dan setiap amanah itu akan diminta pertanggung jawabannya kelak”, begitulah kalimatku kala itu. Keputusan beliau menghadirkan ketakutan dalam hatiku, takut jika diriku tak bisa amanah dengan kalimatku kala itu. Di mana pun tempat yang dipilih untuk mengabdi tetap saja butuh dedikasi. Di madrasah ini atau tidak sebenarnya sama saja, karena semuanya sama-sama pewaris masa depan bangsa. Harapanku akan banyak lagi sosok-sosok yang peduli dan sepenuh hati merubah wajah pendidikan di negeri ini.

Kurasa meninggalkan sekolah setelah ikut merintis selama delapan tahun bukanlah pilihan yang mudah, hanya orang yang besar hatilah yang mampu melakukannya. Kepergian pak Suparman memberikan tantangan besar untuk guru-guru yang masih tertinggal di sekolah ini. Masihkah nama madrasah ini menggema di panggung-panggung penghargaan setiap kali perlombaan, ataukah hanya akan tenggelam dalam pesona indahnya kenangan.

Sulit menemukan guru dengan dedikasi tinggi di daerah terpencil seperti ini. Dengan gaji honor yang tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Medan menuju sekolah yang begitu sulit, apalagi jika musim hujan. Sekolah dengan sarana prasarana yang jauh dari layak. Maka sangat beruntunglah masih ada sosok yang peduli dengan kemajuan pendidikan bagi masyarakatnya. Hadirnya sosok seperti ini bagai anugerah yang tiada kan pernah terganti.

Secara tidak langsung aku pun menarik sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya keberhasilan seorang guru itu bukanlah dari penilaian rekan sesama guru, tapi keberhasilan seorang guru itu dapat dilihat dari bagaimana siswa menilainya. Jika dimata rekan yang lain libur mengajar tanpa keterangan bisa menghapuskan jasa meskipun telah mengabdi puluhan tahun, maka bukan begitu dengan siswa. Sekali hati mereka tergenggam maka akan teramat sulit untuk dilepaskan.

Meskipun sudah hampir dua semester pak Suparman tidak mengajar di sini, tetap saja siswa selalu menunggu kedatangannya. Baru mendengar motornya dari jauh saja, siswa sudah berteriak-teriak memanggilnya. Timbul rasa iri di hati ini melihat guru yang dikagumi. Aku sangat ingin belajar darinya. Dalam setiap huruf yang diajarkan tersimpan kasih sayang tulus tanpa kemarahan. Dalam setiap detik menanam peradaban, dia tlah pahatkan begitu banyak kenangan. Sosoknya yang penuh kebijaksanaan, jadikan dia sebagai guru nan selalu dirindu.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Program Polisi Pi Ajar Sekolah, Pengabdian Polisi Jadi Guru SD dan TK

Figure
Organization