dakwatuna.com – Tujuh puluh tahun yang lalu kemerdekaan itu telah diraih, dengan kucuran keringat hingga darah para pejuang, tiada kekesalan apalagi kemalasan di hati mereka. Hari-hari mereka penuh dengan semangat keikhlasan untuk merebut Indonesia dari tangan penjajah, agar anak cucu dapat hidup tenang kelak sepeninggal mereka. Tak ada alat perang super canggih yang mereka gunakan, tapi bekal bamboo runcing dan semangat kebersamaan bisa hantarkan mereka mendapatkan kemerdekaan.
Kemerdekaan adalah anugerah terindah setelah sekian lama terjajah. Senyum yang selama ini tenggelam dalam risau dan ketakutan kini bisa sumringah. Ibarat bakal bunga yang terjebak dalam kelopak karena kemarau panjang, tersiram berkah hujan hingga mekar dan merekah. Semua ini tidak akan jadi kenyataan andai dulu mereka tak satukan semangat kebersamaan. Tak ketinggalan bamboo runcing yang menjadi saksi perjuangan.
Begitu besar jasa bamboo runcing membantu pejuang melawan penjajah, tidak hanya sebelum kemerdekaan. Hari ini pun bamboo masih mengibarkan merah putih dengan berdiri gagah, bedanya kini tak lagi runcing. Ada haru menyelinap di hati ini, setiap kali kupandangi bamboo yang berdiri di lapangan sekolah nan sepi. Bukan tanpa alasan, tujuh puluh tahun sudah kemerdekaan, bamboo masih setia jadi tiang bendera di hadapan puluhan siswa. Ia jadi pembangkit rasa nasionalisme dalam jiwa anak bangsa. Meski pun angin kencang dengan debu kemarau yang tebal, tetap saja ia berdiri tegap.
Setianya bamboo terkadang membuatku begitu malu. Bagaimana tidak saat bamboo tetap berdiri untuk mengibarkan merah putih sepanjang hari, kita masih enggan meluangkan waktu untuk sekadar mengikatkan bendera di bamboo dalam acara formal setiap senin pagi. Apa susahnya berdiri sebentar di lapangan bersama siswa (terkhusus untuk para guru hebat), seberapa banyak kesibukan kita hingga untuk upacara pun seakan tak sempat. Para pejuang dulu bukan mewariskan kemerdekaan kepada para bamboo, tapi kita para anak bangsa.
Kenyataan kini membuktikan bahwa bamboo lebih setia dibanding kita, mungkin saja jika bamboo bisa bicara ia akan ingatkan bahkan tegur kita. Para jiwa yang terlupa betapa perihnya perjuangan menuai merdeka. Para hati yang terlena menikmati kebebebasan yang sekian lama. Mari ingat kembali keringat dan darah para pejuang yang dulu ditindas penjajah, tak mudah…sangat tak mudah. Layakkah hari ini kita lengah, dan sibuk umpati pemerintah?
Bahkan terkadang aku berpikir, tak salah orang yang menebang bamboo tiang bendera di sekolahku. Mungkin mereka kasihan melihat bamboo yang berdiri kesepian, sementara guru sibuk membicarakan kesejahteraan yang jauh dari harapan. Murid-murid pun sibuk mencatat pelajaran di buku sambil didiktekan teman. Bagaimanakah rasa nasionalisme akan dapat terus diwariskan jika estafet itu terhenti di tengah perjalanan, di tangan kita para guru-guru yang selalu melimpahkan kewajiban. Aku tak tahu pasti sampai kapan bamboo kan mampu terus setia seperti Ini. Yang jelas bamboo setia Indonesiaku telah jadikan mukaku tertunduk malu.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: