Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Yang Berubah Dari Kelas Kita

Yang Berubah Dari Kelas Kita

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Proses belajar di kelas (ilustrasi).  (viva.co.id)
Proses belajar di kelas (ilustrasi). (viva.co.id)

dakwatuna.com – Dihitung dari masa setelah merdeka generasi kita telah mengalami 70 tahun masa pendidikan dengan pemerintahan sendiri, dalam rentang tersebut Indonesia sebagai bangsa telah mampu mengubah pendidikan yang mulanya lebih banyak ditujukan untuk kaum ningrat, menjadi dapat ditempuh oleh semua kelas sosial. Telah berhasil mengentas angka buta aksara yang sangat besar dari awal mula kemerdekaan. Akan tetapi sejak itu juga belum pernah muncul lulusan dari rahim pendidikan Indonesia sekaliber Soekarno, Natsir dan angkatan 1928 lainnya yang pada dasarnya menempuh pendidikan pada masa penjajahan. Artinya pendidikan yang dilaksanakan belum juga lebih baik dari pada pendidikan pada masa penjajahan dulu. Atau malah lebih buruk. Sejak merdeka tidak ada yang banyak berubah dalam pendidikan nasional, jikapun ada itu dalam tataran kurikulum yang telah banyak berubah pasca reformasi. Sedang dalam penerapan di tingkat persekolahan tiada beda antara sejak mula merdeka hingga hari ini.

Silakan berkunjung ke sekolah maka akan menjumpai suasana kelas yang sama seperti dahulu kita pernah menempuh sekolah. Kelas masih juga begitu, guru dan murid saling berhadapan. Meja berjajar dua puluhan ke belakang berhadapan dengan satu meja guru. Seolah ingin menunjukkan bahwa guru adalah sumber dari segala sumber belajar. Guru memiliki otoritas khusus yang jika seorang siswa tidak menaati apa yang dikehendaki guru akan langsung berhadapan dengannya. Amat jarang dijumpai kelas dengan formasi bangku berbeda, melingkar, saling berhadapan, membentuk kelompok-kelompok kecil atau formasi lain. Dengan formasi bangku yang demikian langsung dapat diketahui bagaimana cara belajar yang berlangsung di kelas. Yaitu guru dan siswa memegang buku yang sama untuk dipelajari bersama. Siswa duduk rapi di bangku masing masing dengan tenang. Menyimak setiap ceramah guru yang sudah tertera pada buku di hadapannya. Jika jumlah buku yang dimiliki sekolah kurang maka guru akan mendiktekan atau mencatatkan materi yang “diperlukan oleh siswa”.

Masih dengan posisi bangku yang menghadap guru, juga dapat diketahui proses pembelajaran hanya sedikit menggunakan pendekatan kooperatif. Proses pembelajaran berpusat pada guru. Siswa tidak tahu guru serba tahu. Siswa diatur guru mengatur dan siswa belajar sedang guru mengajar. Guru tetap menjadi penceramah tunggal. Jika ada pelibatan siswa dalam proses belajar mengajar paling tidak dalam bentuk siswa maju menghafal apa yang diberikan oleh guru, baik berupa mengerjakan soal maupun dalam bentuk tanya jawab lisan. Amat jarang ditemui siswa belajar dari rekan sesama siswa apalagi belajar dari lingkungan sekitar.

Dalam hal prestasi, sekolah masih juga menjadikan persaingan sebagai penggerak dalam proses pembelajaran. Siswa diberi dengan berbagai prestasi pada satu sisi untuk mengatakan bahwa siswa lain tidak berprestasi. Digolongkan siswa dalam kelas A hingga E yang menunjukkan tingkat kepintaran siswa ketika masuk sekolah. Belum lagi seabreg gelar yang dianugerahkan sang guru pada murid dikelas. Mulai dari anak paling rajin, paling pintar hingga paling telat ataupun paling bodoh. Sedang dalam memotivasi belajar siswa digunakan pemberian hukuman, jika dahulu hukuman lebih banyak bersifat fisik maka sekarang bergeser menjadi lebih samar dan simbolik dengan rangking, hadiah, pujian dan menobatkan siapa juara dan ini itu, maupun sikap guru yang pilih kasih. Kesemua jenis pemberian gelar terhadap siswa tersebut juga menyisakan gelar yang tidak baik bagi anak, si nakal, si bodoh dan sejenisnya. Gelar tersebut akan melekat selama menempuh jenjang persekolahan. Tak terbayangkan bagaimana dampak psikis bagi sang anak, terutama yang mendapat predikat negatif.

Pembelajaran masih juga bertumpu pada kognitif utamanya hafalan. Ujian nasional pun bertumpu pada hafalan siswa, siapa yang paling banyak hafal dialah yang akan mendapatkan predikat lulusan terbaik. Mau tidak mau proses pendidikan tersebut telah terjadi pada persekolahan paska kemerdekaan hingga kini dan telah berjasa menjadikan kita terentas dari buta aksara. Pendidikan yang demikian harus diakui sebagai pendidikan yang paling efektif dan efisien yang telah dilakukan. Dan harus juga diakui paling tidak bermakna. Kesemua proses pendidikan tersebut bukan tidak penting, tapi mengabaikan keterampilan yang lebih penting, yaitu belajar bagimana cara belajar. Siswa semestinya dibekali dengan keterampilan untuk menjadi pribadi pembelajar. Sehingga ketika selesai sekolah siswa tidak berhenti belajar tapi akan terus belajar. Selese sekolah bukan berarti tidak membaca buku lagi. Selesai sekolah bukan berarti berhenti mengembangkan keterampilan sesuai dengan profesinya. Selesai sekolah bukan berarti selesai menjadi manusia pembelajar. Jika pendidikan tidak juga berubah hingga bertahun kedepan. Maka bisa jadi kita kian tidak mampu menghasilkan lulusan yang lebih dari Soekarno. Jangankan lebih baik sama pun meragukan.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Anak bungsu dari keluarga sederhana dan senang dengan petualangan yang menantang.

Lihat Juga

Muliakan Kaum Santri, IZI Perbaiki Pesantren di Seluruh Indonesia

Figure
Organization