Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Muhasabah di Atas Sajadah

Muhasabah di Atas Sajadah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
muhasabah (inet)
muhasabah (inet)j

dakwatuna.com – Mengetuk pintu ampunan di sepertiga malam dan sambil merenungi setiap hal yang telah dilakukan selama ini. Dalam keheningan malam nan panjang kala banyak mata terlelap, terselimut kantuk dan menikmati bunga mimpi. Suara parau nan rintih terpanjatkan terus pada sang Robbi. Pada beberapa ingatan, entah mengapa tiba-tiba hanya penyesalan yang dapat dilakukan. Karena memang, tak ada lagi jalan yang bisa ditempuh kecuali penyesalan yang ditujukan pada-Nya. Menyesal, menyesal dan menyesal. Jikalah ia bukan ditujukan pada Allah SWT, mungkin deraian air mata yang mengalir dengan derasnya sudah tak ada gunanya lagi di alam raya ini.

Kesungguhan yang memang sudah selayaknya dilakukan dan tak pantas untuk dilupakan. Mengingat pentingnya mempersembahkan ketakwaan usai adanya segala dosa dan kejinya perbuatan yang dulu pernah dilakukan. Perlakuan hina yang merupakan bagian dari maksiat. Setan yang menjelma rahib dan membisikkan bahwa itu adalah hal yang teramat nikmat. Perdayaan yang menghipnotis jiwa untuk dapat tunduk di bawah pengaruh jahat. Setiap bisikan darinya adalah semangat untuk berbuat keburukan. Sangat rela hal itu dilakukan. Bahkan menjadi candu yang sangat ingin dibagian bagi semua yang hendak merasakan. Nikmat dalam maksiat dan buah dosa yang muncul melalui kumpulan syair-syair indah penuh pesona, namun berisikan tipu daya.

Beruntung, Allah SWT sangat menyayangi hamba-hamba-Nya. Dia masih menanam dalam setiap jiwa, benih nurani yang tumbuh menjulang menuai cahaya. Benih yang memang sejak awal dipersiapkan oleh Dzat yang Maha Penyayang, yang bertugas menuntun seorang hamba pada jalan untuk pulang. Menuju ampunan-Nya, menuju rahmat-Nya. Bertolak dari segala hal yang membutakan seisi dunia dan bertuju pada satu tempat yang menenangkan jiwa.

Cahaya hidayah tersebut baru tersadari kala jurang yang selama ini dituruni, tak lebih terang dari cahaya di atas sana. Jurang ini hanya memantulkan bias-bias cahaya yang kemudian pergi dan tak sedikitpun bersisa. Mengejar kehampaan yang dikira harapan. Alangkah hinanya terperosok pada lembah yang nista dan malangnya diri menjauh dari sesuatu yang telah pasti.

Jalan kelam masa lalu, dari sisi yang berseberang sungguh dipandang sebagai jalan terang. Sudut pandang maksiat yang jauh dari kata taat. Fatamorgana dari bias cahaya yang sesungguhnya enggan bagi jiwa baik terasa. Ya, karena bukan cahaya, hanya bias cahaya. Kilauan sekejap yang tentunya nanti akan hilang beserta perginya sumber cahaya. Tapi lagi-lagi, bias itu sungguh memperdaya. Memperdaya mata lemah yang dikendalikan oleh jiwa yang lemah. Lemah yang kembali diperdaya oleh kata senyap bersifat jebakan. Tak lain selayak bisikan syaitan. Takaburlah dan sombonglah jiwa lemah itu, hingga tak tahu bahwa ada salahnya jalan yang sedang dituju.

Sejuta rasa syukur tetap selayaknya dicurahkan pada-Nya. Karena adanya hidayah yang telah mengubah qolbu yang lemah. Yang bagi beberapa orang amat lembut terasa kala ia datang dan mengubah segalanya. Dan bagi beberapa orang ia datang layaknya badai yang menerjang namun menghempaskan pada tempat yang kemudian memberinya cahaya terang. Hanya masalah cara penyampaian dari Dzat yang maha Memberi Hidayah. Karena-Nyalah ada kepastian arah. Arah untuk hidup yang jauh lebih bermakna dan hidup yang lebih baik dari sebelumnya.

Segala yang dilakukan manusia kelak akan berdampak pada hisab mereka di hari akhir. Masa yang tiada lagi berguna kedudukan, anak dan harta. Hanya amal diri yang dipersaksikan di hadapan Sang Robbi. Tak lebih dari itu. Jika saat hidup di dunia cara terjahat yang direncanakan dapat dilakukan guna mengelak dari hukum pengadilan, maka di akhirat semuanya menjadi tak berguna. Bahkan hal tersebut hanya akan menjadi bumerang yang terus akan menambah dosa-dosanya di hadapan Allah SWT.

Di setiap malam, di atas sajadah ini ribuan perenungan menanti. Membuka hasrat dan masa lalu yang telah terkubur, atau bahkan mengeping hati dan rasa yang telah lama hancur. Ingin rasanya setiap detik mentafakuri sendi asa kehidupan, sebagai modal takwa menuju jalan masa depan. Tapi jiwa khilaf selalu saja muncul. Andai saja ampunan dan rahmat Allah SWT tak seluas langit dan bumi, sungguh tak ada artinya lagi hidup di dunia ini.

Ya Allah Dzat yang Maha Menyayangi, terima kasih atas waktu dan kesempatan yang senantiasa Engkau berikan selama ini. Jagalah jiwa ini agar senantiasa istiqomah di hadapan-Mu dan kelak tuntunlah lisan ini, agar senantiasa menyebut asma-Mu di akhir hayat di ujung nafas terakhir pada kesempatan terakhir yang kelak akan Engkau berikan pada hamba-Mu ini. Amin ya Robbal’alamin.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang hamba Allah yang sangat ingin menginjakan kaki di syurga tertinggi. S2 Magister Ekonomi Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Program Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) DDII-BAZNAS. Sharia Financial Planner.

Lihat Juga

Jalan Meraih Taqwa

Figure
Organization