Topic
Home / Berita / Opini / Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung: Lajulah Laju, Kepentingan Nasional

Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung: Lajulah Laju, Kepentingan Nasional

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Kereta Api Cepat (voaindonesia.com)
Kereta Api Cepat (voaindonesia.com)

dakwatuna.com – Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung memang menggairahkan. Bayangkan, kita akan bisa melihat dan mengalami sendiri teknologi tinggi transportasi ini di depan hidung kita.

Mungkin saya salah informasi atau salah hitung. Biaya proyek kereta api cepat ini sekitar 60 Trilliun. Dengan tenor selama 40 tahun dan bunga 2% maka nilai bunganya adalah sekitar 1,2 T. Anggap saja bunga dibayar sama tiap tahun, maka selama 40 tahun hutang tersebut harus dibayar 1,2 T x 40 tahun = 48 T.

Hitungan kasar ala bakul pasar menghasilkan pemahaman seperti ini. Si A berhutang 60 T dan membayar balik sebesar 108 T.

Jika mau kita perhatikan, uang sebesar itu untuk membiayai transportasi Jakarta-Bandung yang berdasarkan data yang dihimpun detikFinance dari beberapa sumber adalah sebagai berikut. Dari data 2014 PT Jasa Marga selaku pengelola tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), tercatat jumlah penumpang per hari Bandung-Jakarta rata-rata mencapai 51.626 orang. Sedangkan arah sebaliknya dari Jakarta-Bandung mencapai 1.639.435 orang.

Sedangkan berdasarkan estimasi, jumlah penumpang yang menggunakan kereta cepat Jakarta-Bandung pada 2019 saat mulai beroperasi, bisa mencapai 45.325 orang per hari (versi Jepang), atau 28.872 orang per hari (versi China).

Dari perbandingan itu, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah akan ada migrasi besar-besaran masyarakat yang beralih ke kereta cepat?, dari transportasi kendaraan pribadi, bus, kereta Argo Parahyangan, dan sebagainya. Ada yang menganggap perhitungan estimasi penumpang kereta cepat terlalu berlebihan.

Hubungan hutang dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ini adalah B2B (Business to Business). Banyak yang mengira hal ini akan aman-aman saja tidak merugikan negara.

Namun, timbul pertanyaan. RRT menanggung semua resiko atas dana US 5 Milliar yang dikucurkannya. Dan proyek ini termasuk “raksasa” terutama secara citra publik. Bila terjadi apapun terkait resiko yang terjadi, tentu pemerintah tak akan tinggal diam. Proyek ini terlalu “besar” untuk dibiarkan “mangkrak”.

Anggaplan terjadi resiko di dalam proyek ini. Maka pemerintah punya dua pilihan, apakah turun tangan membantu proyek dengan kucuran dana pemerintah atau membiarkannya. Apabila pemerintah memilih membiarkannya, maka jelaslah para kreditor dari RRT tersebut tentu berhak untuk melakukan upaya penyelamatan yang salah satunya adalah masuk sebagai pemegang saham perusahaan-perusahaan yang berhutang tadi.

Siapa saja mereka? Laman Indonesianreview mengulas bahwa perusahaan-perusahaan ini adalah: PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, PT Perkebunan Nusantara VIII, BNI, BRI, dan Bank Mandiri. Seluruhnya adalah BUMN strategis negara.

Bahkan sampai sekarang belum jelas, langkah-langkah antisipasi apa yang telah dipersiapkan oleh pemerintah menghadapi kemungkinan-kemungkinan di atas. Studi resiko barangkali sudah pernah dilakukan. Namun apakah studi tersebut sudah masuk ke ranah global berupa kepentingan nasional?

Sejauh ini, para menteri terkait menunjukkan rasa puas atas keberanian Cina mengucurkan US$ 5 miliar dolar tanpa jaminan dari pemerintah. Dan banyak pihak yang memuji tanpa khawatir dengan skema B2B yang terjadi. Bisa jadi, mungkin mereka berpikir, kalau nanti ada apa-apa, tanggung jawabnya toh tidak berada di tangan pemerintah atau menteri yang sekarang.

Cara berpikir ini barangkali wajar ditemui baik di pemerintahan pusat atau daerah. Karena setiap lima tahun Indonesia menyelanggarakan Pilpres. Maka tak mengherankan bila sekarang pemerintah masih bernafsu besar membangun proyek-proyek infrastruktur yang studi kelayakannya belum jelas.

Belum pula resiko yang akan menimpa nasional berupa ancaman pindahnya investasi yang ditanah oleh pengusaha Jepang di tanah air kita. Khususnya investasi berupa industri pendukung seperti: aksesoris otomotif, komponen elektronik, dan lainnya. (hatma/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Tenaga ahli untuk business sustainability and locak-regional economic development. Saat ini Hatma sedang berkarya di suatu perusahaan minyak & gas nasional untuk mengelola: CSR, social engineering dan keberlanjutan bisnis (business sustainability) di aset-aset milik perusahaan tersebut. Dengan latar belakang Teknologi Pertanian (UGM) dan Magister Teknik Industri (UII), Hatma yang sedang menempuh pendidikan Ekonomi Islam di IOU (Qatar) ini mendapatkan pengakuan sebagai tenaga ahli di bidang Regional Economic Development dari pemerintah Jerman di 2010. Mengkonsentrasikan diri pada isu tentang business sustainability melalui pendekatan social engineering dan community development, pelbagai pelatihan dan sertifikasi baik di level nasional dan internasional telah diikutinya.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization