Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Dunia Riba di Bumi Kontemporer

Dunia Riba di Bumi Kontemporer

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: ciputraentrepreneurship.com)
Ilustrasi. (Foto: ciputraentrepreneurship.com)

dakwatuna.com – Mungkin kita sudah sampai di masa di mana sesuatu tidak diserahkan kepada ahlinya. Banyak pertanyaan-pertanyaan seputar fiqih, persoalan hukum dalam Islam, yang ditujukan ke pada seorang teman, netizen medsos seperti facebook, twitter, line, whatsapp, dsb. Mengapa hal-hal seperti “apakah BPJS haram?” “apakah bunga bank haram?” “apakah bekerja di bank haram?” tidak mereka diskusikan dalam sebuah majelis ilmu bersama seorang ulama? Apapun alasannya, ini jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai seorang teman.

Hal mendasar dari pertanyaan yang muncul itu adalah mengenai riba. Perihal mengenai riba ini sudah diharamkan dalam Alquran dan Sunnah, salah satunya adalah “…dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya…” (An-Nisa: 160-161). Sebelum membahas lebih lanjut tentang riba, mari kita lihat lebih lanjut mengenai makna yang terdapat dalam ayat Alquran. Perlu diketahui bahwa suatu ayat Alquran memiliki makna tafsir dan makna konstektual.

Makna tafsir berarti sesuai dengan apa yang tertulis. Namun, pada suatu kajian mengenai Alquran, seorang ustadz menyampaikan bahwa penerjemah Alquran dari Arab pun tidak yakin seratus persen benar akan apa yang ia terjemahkan dari Alquran karena bahasa yang digunakan sangatlah kaya. Contoh sederhana, mari kita lihat dari ayat pertama yang turun (Al-Alaq:1-5). Jika merujuk pada sahih internasional “recite” atau terjemahan “bacalah” yang berarti melihat dan membaca ulang dari apa yang tertulis, ayat tersebut akan kehilangan maknanya. Mengapa? Apakah ada sesuatu yang tertulis yang bisa dibaca pada saat itu? Intinya adalah, bahasa Arab di dalam Alquran lebih kaya dari itu.

Makna konstektual berarti turunnya suatu ayat memiliki waktu tertentu, sebab tertentu, dan tujuan tertentu mengapa ayat itu turun. Situasi saat ayat tersebut turun, bisa menjadi berbeda dengan situasi sekarang. Seperti halnya pada Al-Mu’minun: 5-6, “…dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” Apakah hal tersebut berarti kita masih dapat menggunakan budak? Ayat tersebut turun untuk mengatur sistem perbudakan pada saat itu, karena perbudakan baru mulai dihilangkan sekitar abad ke-19. Lalu apakah berarti ayat tersebut menjadi hilang maknanya dan tidak terpakai lagi? Alquran menceritakan tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Mungkin saja di masa depan sistem perbudakan akan muncul kembali, melihat fenomena human trafficking yang terjadi di masa kini.

Memahami suatu ayat dalam Alquran tidak cukup dengan memahami kedua makna tersebut. Untuk memahaminya seutuhnya, diperlukan pemahaman mengenai seluruh ayat dalam Alquran, membandingkannya satu ayat dengan yang lain, menyandarkannya, melengkapinya dengan hadis. Hal tersebut tidak bisa didapat melalui belajar agama di sekolah selama dua belas tahun, bertanya pada suatu forum di website yang dikelola oleh seorang ustadz, atau menghadiri kajian pekanan yang diselenggarakan oleh suatu majelis. Kesabaran dalam menimba ilmu di suatu institusi pendidikan yang khusus mengkaji Alquran dan hadis bersama para ulama selama bertahun-tahun adalah hal yang diperlukan untuk memahami ayat Alquran seutuhnya.

Secara bahasa, riba berarti bunga uang (sumber: KBBI). Sahih internasional menyebutnya sebagai usury yang berarti “The action or practice of lending money at unreasonably high rates of interest.” (sumber: Oxford Dictionaries). Jika melihat definisi dari sahih internasional, kerancuan sudah dapat dillihat karena setiap orang memiliki standar “unreasonably high rates of interest” yang berbeda. Sebagai contoh, bank ABC mengularkan kartu kredit dengan suku bunga sebesar 3%, golongan A mengatakan suku bunga di bawah 5% tidaklah mencekik, namun golongan B mengatakan semua suku bunga termasuk riba, untuk menghindari kerancuan. Apakah golongan A salah karena “menghalalkan” riba? Apakah golongan B salah karena mempertahankan apa yang diyakininya atas dasar Alquran dan hadis? Sebuah sudut pandang yaitu definisi, yang diterjemahkan oleh manusia, sudah dapat menimbulkan perbedaan pendapat. Arribaa yang disebutkan dalam An-Nisa: 161 pasti memiliki makna yang lebih dari itu.

Sebuah sudut pandang yang lain, yaitu kondisi, tentunya dapat menimbulan perbedaan pendapat lainnya. Kondisi saat ini berbeda dengan kondisi 13 abad yang lalu saat ayat ini diturunkan, termasuk kondisi ekonomi. Saya tidak tahu apakah 13 abad yang lalu inflasi merupakan hal yang “lumrah”, tapi mari kita lihat ilustrasi berikut. A meminjam uang ke pada temannya B sejumlah 10 juta rupiah pada tahun 2013, kemudian A baru dapat mengembalikan utang ke pada B sejumlah 10 juta rupiah pada tahun 2015. B merasa dirugikan karena 10 juta yang dia terima dari A pada tahun 2015 tidak sama nilanya dengan 10 juta saat dia berikan pada tahun 2013, karena rupiah melemah sekian persen per tahunnya. B menyampaikan ke A bahwa A seharusnya mengembalikan uang sebesar 11.5 juta karena rupiah melemah 15% dalam kurun waktu 2 tahun. A tidak setuju ke pada B karena selisih 150 ribu rupiah merupakan riba. B tidak setuju ke pada A karena selisih 150 ribu rupiah tersebut merupakan hal yang “lumrah”. Apakah A salah karena berusaha menghindari kerancuan yang terdapat di dalam riba? Apakah B salah karena merasa dirugikan karena melihat kondisi pada saat itu? Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, diperlukan pemahaman yang lebih dari sekedar memahami arti riba.

History of Banking mengatakan bahwa loan sudah dipraktikkan pada masa Yunani kuno, maka dapat diasumsikan bahwa riba sudah ada sebelum Alquran diturunkan. Jika riba merupakan hal yang “lumrah” sejak lama, mengapa hal tersebut diharamkan kemudian? Mari kita lihat ilustrasi lainnya. Suatu negara A memiliki menggunakan koin yang terbuat dari emas murni sebagai alat tukar, yang digunakan oleh para penduduknya untuk melakukan jual beli. Negara A menggunakan emas sebagai alat tukar karena melihat sifatnya yang stabil, dapat dipastikan tidak akan rusak seiring waktu. Satu juta koin emas tersebar di antara penduduk untuk melakukan transkasi jual beli. Satu waktu, F yang merupakan penduduk negara A, menawarkan jasa peminjaman koin emas, dengan meminta jasa sebesar 5 koin emas dari 100 koin emas yang dipinjam. Pada awalnya, penduduk negara A merasa senang dengan jasa yang ditawarkan F, karena mereka dapat melakukan jual beli lebih banyak. Setelah beberapa waktu, salah seorang penduduk bertanya pada F, “Jika aku meminjam 1,000 koin emas darimu, maka aku harus mengembalikan 1,050 koin emas. Bukankah koin emas yang beredar hanya berjumlah satu juta? Bagaimana jika terdapat 10,000 orang yang meminjam 100 koin emas kepadamu? Bagaimana mereka bisa mengembalikan 50,000 koin emas yang sebenarnya tidak ada?” Sebelum penduduk negara A tersebut sadar, mereka sudah memiliki utang sebesar 500,0000 koin emas ke pada F yang tidak akan pernah bisa mereka kembalikan. Hal ini lah yang membuat riba haram. Satu orang melakukan praktik riba, seluruh orang akan terjebak dalam lingkaran setan untuk melunasi utang yang tidak akan pernah bisa lunas.

Makin banyak sudut pandang serta ilustrasi yang diberikan, makin banyak pula perbedaan pendapat yang muncul. Pertanyaannya adalah, sampai mana sesuatu hal dapat dikatakan sebagai riba? Tentu pertanyaan ini akan memunculkan banyak perselesihan karena kalau melihat dari sejarah uang itu sendiri, uang kertas yang terdapat di dalam dompet setiap orang di dunia dapat dikategorikan sebagai riba. Uang kertas tidak memiliki nilai yang stabil, inflasi merupakan hal yang “lumrah”, tidak seperti emas. Daripada membahas perbedaan pendapat mengenai riba yang tidak kunjung selesai, mari kita lihat sesuatu yang membedakan agama Islam dengan agama yang lainnya, yaitu shalat yang merupakan tiang agama.

Pada suatu kajian mengenai shalat dengan suatu ustadz, beliau memaparkan banyak perbedaan mengenai tata cara shalat mulai dari niat sebelum shalat sampai berdoa setelah shalat. Terdapat empat imam besar yang memiliki pandangan atau mazhab yang berbeda dalam melaksanakan shalat, dan semuanya berdasarkan Alquran dan hadis. Di akhir kajian, salah seorang peserta majelis bertanya, “Lalu, mana yang kita pakai ya Ustadz?” Sang Ustadz menjawab, “Pakailah yang sesuai dengan hati.” Apakah berarti kita dapat menggunakan mazhab yang kita suka dalam shalat? Maksud beliau adalah pelajari dulu mazhab-mazhab yang terdapat di dalam shalat; Pelajari imam dari mazhab tersebut, atas dasar apa mereka mendirikan suatu mazhab; Dengan siapa para imam tersebut belajar; Apa dasar dari perbedaan tersebut; Bagaimana mereka dapat berselisih pendapat; Bagimana mereka mengatasi perselisihan pendapat tersebut, barulah kamu menggunakan hati dalam meimilihnya.

Hidup ini penuh dengan perbedaan, tapi jangan sampai perbedaan tersebut memicu perselisihan. Orang-orang yang berselisih karena perbedaan pendapat hingga sedemikiran rupa, dapat diibaratkan dengan uang di dalam dompet, di mana uang kertas bernilai tinggi akan tetap terjaga rapih satu sama lain, dan uang receh yang bernilai rendah akan menimbulkan bunyi nyaring apabila beradu satu sama lain. Jadi, sebelum Anda mengejek orang yang tidak mengeraskan basmalah saat membaca Al-Fatihah dalam shalat, merendahkan orang yang bersusah payah hidup karena “mengharamkan” BPJS, mencaci orang yang tidak shalat id bersama pemerintah, menghina orang yang memakai cadar karena dianggap ekstrem, memaki orang berkumis karena dianggap mengikuti Yahudi, bagaimana dengan shalat Anda?

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Just another psychology student

Lihat Juga

Pemimpin Chechnya Tagih Janji Mo Salah Kembali Kunjungi Grozny

Figure
Organization