Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ketika Cintaku Buatmu

Ketika Cintaku Buatmu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (bundafairy.blogspot.com)
Ilustrasi. (bundafairy.blogspot.com)

dakwatuna.com – Kulihat jam dinding di kantor yang tak pernah bosan berdetak. Ternyata sudah berjam-jam lamanya diriku mengikuti sebuah rapat mendadak. Jarum pendek tersipu malu ketika akhirnya bertemu dengan angka empat. Sedangkan jarum panjang mulai terlihat menyambangi angka dua belas melalui sebuah upaya pedekate jarak dekat.

Kini ragaku telah sempurna berselimut peluh dan penat. Menandakan rutinitas pekerjaan kantor harus berhenti, setidaknya untuk sesaat. Rumah adalah satu-satunya solusi penghapus lelah yang paling hebat. Ingin rasanya diriku cepat sampai ke rumah dengan melompat.

Namun, aku datang pukul delapan kurang sedikit dan itu artinya aku datang terlambat. Aku harus pulang minimal pukul setengah lima sore tanpa bisa diralat. Padahal kendaraan ‘pribadi’ milikku, kereta api ekonomi, datang menjemput di Stasiun Kemayoran pada pukul 16.20 tepat. Kereta api berikutnya baru akan menjemputku pada pukul 17.45 lewat. Hal ini menyebabkan aku tidak bisa pulang ke rumah dengan cepat.

Akhirnya kubuka kembali file tulisan cerpenku yang belum selesai dibuat tadi pagi. Sebenarnya aku berniat menyelesaikannya di sela-sela rutinitas bekerja dan berharap dapat mengirimkannya sore ini. Namun, ternyata aku harus rapat mendadak dari pagi sampai sore hari. Artinya aku harus menunda atau bahkan batal mengirimkan cerpenku sama sekali.

Kenapa harus datang undangan rapat di saat yang tidak tepat?” batinku dalam hati. Padahal deadline pengumpulan naskah tinggal hari ini saja sampai pukul 24.00. Sedangkan aku hanya punya waktu sampai sore hari untuk menyelesaikan naskah dan mengirimkannya karena aku tidak punya laptop atau komputer di rumah. Jadi, siapa yang harus disalahkan? Aku sadar sepenuhnya bahwa dalam kasus ini memang akulah yang berada pada pihak yang salah.

Waktu bekerja seharusnya memang digunakan untuk kepentingan pekerjaan. Aku pun diberikan fasilitas komputer untuk memudahkan pekerjaan. Bukan malah memanfaatkannya untuk urusan pribadiku, termasuk hobi baruku yaitu menulis. Namun, ketiadaan fasilitas penunjang di rumah menyebabkan komputer kantor merupakan jalan keluar terbaik untuk menyalurkan kecintaanku kepada dunia literasi.

Setelah kupertimbangkan dengan matang, aku bertekad untuk menyelesaikan cerpen ini secepat kilat. Setelah itu, aku akan mengirimkannya ke PJ lomba. Aku sadar bahwa persaingan akan sangat berat karena aku hanya seorang penulis unyu-unyu yang minim pengalaman di dunia literasi. Namun, tidak ada salahnya kan jika aku mencoba bermimpi? Aku bermimpi menang lomba dan hadiah uang tunainya akan kugunakan untuk membeli laptop sehingga nantinya aku bisa menulis di rumah.

Aku punya waktu satu setengah jam untuk mengeluarkan jurus pamungkas, the power of kepepet. Seluruh ide yang lewat langsung saja kutangkap dengan cepat dan segera kuikat menjadi lantunan kalimat yang memikat. Kumainkan jemariku di atas keyboard dan membiarkan huruf demi huruf di layar komputer saling berkelibat.

Tak kuhiraukan lagi kaidah menulis yang baik dan benar, seperti gaya bahasa, penokohan, apalagi Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Dalam pikiranku hanya ada satu keinginan sederhana saja. Aku dapat membuat tulisan minimal enam halaman seperti yang tertera pada syarat perlombaan.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 17.30. Tandanya aku harus bergegas meninggalkan kantor dan menuju Stasiun Kemayoran. Jemputanku sebentar lagi akan datang dengan waktu kedatangan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Kuarahkan pandanganku ke sebelah kiri bawah layar komputer. Di sana tertulis dengan jelas “Page: 6 of 6”. Hm… Nampaknya persyaratan batas minimal halaman telah terpenuhi. Jadi, segera kuselesaikan saja konflik yang kubangun dengan sebuah antiklimaks beraliran happy ending. Kukirim segera ke email PJ lomba yang telah ditentukan dalam pengumuman, tanpa pikir panjang dan sempat mengecek ulang.

***

Satu bulan telah berlalu dan rutinitasku tetap sama seperti biasanya. Bekerja dan mencuri waktu untuk menulis di sela kesibukan bekerja. Tiba-tiba saja handphone-ku berdering. Sebuah nomor asing yang tidak tersimpan di phonebook milikku. Tidak ada salahnya untuk mengangkat, siapa tahu ada urusan penting, batinku dalam hati.

Assalamu’alaikum,” ujarku membuka percakapan dengan salam.

Wa’alaykumussalam,” jawab seseorang di ujung telepon.

“Maaf ini siapa ya?” tanyaku penasaran.

“Perkenalkan, nama saya Dede. Ini Mas Bayu kan?” ujarnya lagi.

“Betul. Ada apa ya?” tanyaku tambah penasaran.

“Saya adalah PJ lomba cerpen bertema ‘Cinta’. Saya hanya ingin memberitahukan bahwa cerpen Mas Bayu yang berjudul ‘Ketika Cintaku Buatmu’ berhasil menjadi juara pertama. Tolong kirimkan nomor rekening Mas Bayu secepatnya ke nomor saya untuk pengiriman hadiah,” jelasnya panjang lebar.

‘”Eh, ini beneran? Nggak bercanda?” tanyaku lagi dengan nada tidak percaya.

“Kalau untuk urusan kayak begini, saya nggak bisa diajak bercanda, Mas!”

Ternyata orang tersebut adalah PJ lomba cerpen yang kuikuti sebulan yang lalu. Alhamdulillah kabar gembira itupun datang menghampiri diri. Naskah cerpenku berhasil menjadi juara pertama. Padahal sebenarnya aku sudah tidak terlalu memikirkan naskah cerpen yang kukirim tempo hari.

Memang aku bermimpi untuk menang lomba, tetapi aku tidak berharap terlalu muluk-muluk. Aku hanya takut menjadi pungguk yang merindukan bulan. Terasa seperti mimpi yang menjadi nyata, layaknya Putri Cinderella yang bertemu dengan pangerannya. Akhirnya aku bisa mewujudkan mimpi untuk membeli sebuah laptop.

***

Aku berjalan ke arah mesin ATM untuk mengambil sejumlah uang. Tak sabar rasanya memeluk sebuah laptop baru. Sebentar lagi aku akan memiliki pasangan setia yang akan menemani malam panjang. Mencari sebongkah inspirasi demi kecintaanku kepada dunia literasi.

Baru saja kupegang handle pintu ATM untuk dibuka, tiba-tiba saja handpone di kantong celanaku bergetar. Kukeluarkan dengan sigap dan kulihat ada tulisan “my lovely brother”, Mas Azzam, di layar handphone.

Mas Azzam memang jarang meneleponku. Kalau kutanya mengapa, maka jawabannya singkat saja, “Mas takut mengganggu kamu.” Nah, jika Mas Azzam menelepon, maka bisa dipastikan ada masalah yang sangat penting sekali. Kuurungkan niatku masuk ke dalam ATM dan aku memilih berteduh di bawah pohon rindang.

Assalamu’alaikum. Ada apa, Mas?” Kubuka pembicaraan dengan salam.

Wa’alaykumussalam. Kamu lagi sibuk nggak? Maaf kalau Mas mengganggu waktu kamu,” jawab Mas Azzam dengan hati-hati.

Nggak sibuk kok, Mas. Ada yang bisa kubantu?” tanyaku penasaran.

“Eh… Ini… Mas mau pinjam uang sama kamu. Agak banyak. Li… Li… Lima juta rupiah,” kata Mas Azzam dengan nada gemetar.

“Untuk apa, Mas?” tanyaku sambil iseng menendang-nendang pohon.

“Kemarin Mas kecelakaan sepeda motor. Mas agak mengantuk dan menabrak trotoar. Alhamdulillah Mas hanya lecet sedikit saja, tetapi motor Mas rusak parah. Sekarang sedang menginap di bengkel dan harus diperbaiki secara total. Butuh biaya sekitar lima juta Rupiah,” Mas Azzam menghentikan pembicaraannya sejenak.

Dari nada suaranya di seberang sana, aku bisa merasakan ada sebuah beban berat yang sedang menimpa dirinya.

“Pokoknya kamu tenang saja. Kalau nanti Mas punya rezeki lebih, Mas janji akan ganti secepatnya,” sambung Mas Azzam mencoba untuk meyakinkanku.

Aku menghela nafas sejenak dan berpikir cepat. Mas Azzam menjadi tumpuan keluarga sejak bapak di-PHK dan ibu meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu. Beliau yang selalu membantuku tanpa pamrih. Membayarkan uang kuliah, memberikan uang saku, membelikan buku paket, sampai biaya untuk keperluan wisuda. Bahkan Mas Azzam rela menunda keinginannya untuk menikah sampai aku selesai kuliah.

Aku tahu persis kalau Mas Azzam mengumpulkan uang dengan susah payah karena dia hanyalah seorang tukang ojek. Aku juga tahu persis kalau sepeda motornya adalah harta paling berharga dalam hidupnya. Jika sepeda motornya rusak, maka ia akan kehilangan mata pencahariannya dan tidak bisa menghidupi keluarganya.

“Mas, tolong kirim nomor rekeningnya. Nanti kutransfer uangnya. Kebetulan aku sedang berada di dekat ATM sekarang. Mas tidak perlu memikirkan kapan dan bagaimana cara menggantinya. Pokoknya pakai saja dulu untuk membetulkan motor Mas yang rusak itu,” ujarku mantap dengan penuh keikhlasan.

Aku memang mencintai dunia literasi, namun aku lebih mencintai keluargaku. Terlebih cintaku kepada Mas Azzam, kakak semata wayang yang paling kusayang. Laptop bagiku memang penting, namun sepeda motor bagi Mas Azzam jauh lebih penting. Oleh karena itu, kutunda keinginanku untuk membeli laptop sementara waktu.

Sang Maha Sutradara telah membuat sebuah skenario dengan begitu sempurna. Saat ini aku sedang bermain dalam sebuah episode kehidupan. Aku menjadi seorang pemeran yang bertindak sebagai perantara rezeki bagi Mas Azzam. Alhamdulillah akhirnya episode ini ditutup dengan happy ending seperti cerpen yang kumenangkan tempo hari.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Bayu Bondan adalah nama pena dari penulis berkacamata ini. Setelah 4 tahun berguru kepada maestro angka, Alhamdulillah saya berhasil merengkuh toga gagah di kepala dan telah bekerja sebagai PNS di daerah Jakarta Pusat. Di sela-sela kesibukan aktivitas sehari-hari, saya mulai sedikit berpaling dari angka dan mencoba berteman dengan aksara. Biarkan saja pena menari dan lihat saja hasilnya nanti.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization