Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Qurban Dalam Kepungan Asap

Qurban Dalam Kepungan Asap

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Kabut asap menyelimuti kota Pekanbaru, Riau dan menyebabkan 25.000 warga menderita ISPA.  (kopas.com)
Kabut asap menyelimuti kota Pekanbaru, Riau dan menyebabkan 25.000 warga menderita ISPA. (kopas.com)

dakwatuna.com – Memasuki Idul Adha tahun ini terasa agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, karena gemuruh Takbir ‘lebaran haji’ sekarang ini dihiasi sedikit nestapa oleh panorama kabut asap yang memenuhi ruang udara. Euphoria kegembiraan berqurban sedikit terasa peri, karena bencana asap yang tak kunjung henti. Hari-hari tasyriq yang diharamkan berpuasa itu, pun menyimpan duka, mengingat bias asap berubah status menjadi bencana.

Meskipun dalam kondisi menyantap asap, sentuhan keimanan menyambut hari raya Qurban (‘Idul Adha) tetap tak boleh pupus dari sensitifitas keberagamaan. Tamu agung yang juga dinamakan yaum al-nahr itu, dalam beberapa rangkain syi’ar-utama nya adalah ibadah qurban. Dalam bahasa jurisprudensi (fiqh) Islam, ibadah Qurban dinamakan udlhiyah yang berarti menyembelih hewan tertentu dengan niat dan sesuai waktu yang telah ditentukan, atau menyembelih binatang pada hari taysriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Seruan syariat untuk berqurban tersebut dimulai pada tahun kedua Hijriyah yang seumur dengan perintah zakat dan perintah shalat dua hari raya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt dalam firman-Nya “maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berqurbanlah” (QS; 108:2).

Secara historis, perintah Qurban merupakan lanjutan dari peristiwa bersejarah pengorbanan nabi Ibrahim ketika diperintahkan Allah swt menyembelih anaknya nabi Ismail. Perintah ‘menyembelih’ yang sangat berat dari perspektif naluri kemanusiaan tersebut, kemudian menjadi i’tibar yang sangat berharga bagi perjalanan kehidupan peradaban manusia. Kisah totalitas nabi Ibrahim as dalam merealiasasikan instruksi Tuhannya itu, telah mengajarkan banyak hal, bukan semata dalam koridor menambah keimanan kepada Allah (habl min Allah), namun juga dari perspektif merajut komunikasi antar sesama manusia (habl min alnas).

Secara simbolik, perintah menyembelih hewan qurban berada dalam wilayah ta’abbudi (ruang ibadah) yang secara harfiah harus mengikuti aturan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh baginda Rasul saw. Makanya, hewan-hewan qurban hanya terbatas pada jenis kambing atau sapi dan sejenisnya. Akan tetapi, secara maknawi, penyembelihan hewan qurban memiliki nuansa spritualitas yang sangat tinggi, yaitu totalitas pengabdian dan kepatuhan kepada titah Yang Maha Kuasa. Dalam ruang ini, ruang akal sedikit dieliminir untuk bertanya dahulu terhadap kegunaan melaksanakan perintah itu. Karena, sudah pasti tidak logis dan mustahil, jika perintah Tuhan tersebut tidak memberi manfaat serta hikmah kebaikan bagi kehidupan manusia.

Secara tegas, penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk simbolik penyerahan dan kepatuhan, bukan berupa “sogokan” untuk kepentingan Allah swt, namun lebih kepada syi’ar yang diekspresikan seorang hamba sebagai luapan syukur atas segala anugerah-Nya. Selanjutnya, secara substantif, sembelihan itu menjadi neraca ketaqwaan, karena sifat taqwa itulah orientasi utama yang diinginkan oleh Allah swt kepada hamba-Nya. Hal ini secara terang, dijelaskan oleh Allah swt “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai  (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”(QS:22,37).

Elaborasi taqwa dalam qurban tersebut tercermin dari keharusan untuk mendistribusikan daging-daging hewan itu kepada kaum fuqara, yang secara sosial ekonomi belum mencukupi kebutuhan untuk hidup selayaknya. Bahkan, Imam Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Fath al-Wahhab ‘ala Syarh Manhaj al-Thullab menyebutkan, pembagian daging hewan itu lebih utama (afdhal) diberikan secara keseluruhan kepada mereka (fuqara) dengan hanya menyisakan sedikit, sebatas untuk mencicipinya. Pendapat ini berargumentasi dari sabda Rasul saw yang menyebutkan, bahwa baginda nabi hanya mencicipi daging hati dari hewan qurbannya. Jika demikian, ketaqwaan yang melebur dalam empati kemanusiaan itulah pesan esensial yang ingin disampaikan dalam ritualitas berqurban.

Memang, dalam semua ibadah Islam, pesan dan spirit kemanusiaan tidak pernah terlewatkan. Karena pada prinsipnya, ketundukan kepada Tuhan mesti selaras dengan keserasian hubungan dengan sesama manusia, bahkan kepada semua makhluk-Nya. Dari itulah, fungsi Rasul saw diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin).

Orientasi taqwa dalam ritualitas Qurban sejatinya tidak menjadi ruang terasing yang seolah cara pendekatan ibadah ini saja yang bisa menyelamatkan manusia dari murka Tuhan. Terma taqwa yang ada dalam Qurban sejatinya memiliki nuansa makna yang lebih universal, meliputi ketundukan dan ‘ketakutan’ akan murka Tuhan terhadap pelbagai penyimpangan, termasuk pada penyimpangan ekologis yang mengkibatkan lahirnya banyak bencana, temasuk kabut asap.

Persoalan kabut asap yang berubah status menjadi bencana bagi manusia tersebut menunjukkan, bahwa pemaknaan taqwa masih sangat parsial, yang masih terkungkung dalam ruang ‘ibadah mahdhah semata. Sehingga ranah ekologis dianggap persoalan ‘luar’ yang tidak memiliki akar teologis. Jadinya, alam yang terbentang luas tersebut dianggap bebas dieksploitasi tanpa memikirkan danpak negatifnya. Padahal, kata al-ardh (bumi) yang diungkapkan dalam Alquran memiliki indikasi kuat, bahwa Alquran menjadikan kata al-ardh itu sebagai salah satu terma dalam mengungkapkan tentang urgensi lingkungan. Maka, kata al-ardh digunakan sebagai konotasi ekosistem, lingkungan hidup, dan habitat. Artinya, domain lingkungan dan ekosistem merupakan persoalan yang tidak bisa dipisahkan dari ruang taqwa, sehingga pengelolaannya tidak menimbulkan masalah, apalagi menjadi sumber bencana bagi manusia.

Jika benar demikian, maka pelaksanaan Qurban dalam kerangka ketaatan untuk mencari status taqwa menjadi setara dengan meminimalisir, bahkan mencegah terjadi bencana. Keduanya wajib menyimpan unsur taqwa, sehingga dapat berbuah amal yang berstatus qurban (mendekatkan diri dengan Allah swt). Jika unsur ketaqwaan pupus dalam semua amaliyah itu, baik dalam berqurban maupun dalam meminimalisir bencana, maka artinya, semua amal yang yang berdimensi taqwa tersebut seperti perkerjaan seseorang yang sedang menggantang asap, hanya mendapat lelah dan hanpa faedah. Nauzubillah!

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di Batu Penyabung Sarolangun Jambi. Mengabdi kepada negara sebagai tenaga pengajar di beberapa institusi Pendidikan di Jambi. Dosen Fak Syariah IAIN STS Jambi. Alumni Ph.D National University of Malaysia. Dosen Pascasarjana & Kepala Pusat Penetian dan Penerbitan IAIN STS Jambi.

Lihat Juga

Qurban Masuk Desa (QURMADES), Sensasi Qurban Zaman Now

Figure
Organization