Topic
Home / Berita / Opini / 70 Tahun Indonesia Merdeka, Refleksi Seorang Guru

70 Tahun Indonesia Merdeka, Refleksi Seorang Guru

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ist)
Ilustrasi. (ist)

dakwatuna.com – Pada 17 Agustus 2015, Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan oleh Allah SWT mengikuti upacara memperingati HUT ke 70 Republik Indonesia. Kebetulan saya ditunjuk oleh Kepala sekolah menjadi Pembina upacara. Menjadi Pembina upacara otomatis harus memberikan pidato berupa refleksi singkat di hadapan para guru dan murid-murid di MTs-MA Muhammadiyah 2 kota Malang.

Usia 70 tahun untuk ukuran manusia sudah tergolong usia tua. Namun untuk ukuran sebuah bangsa, masih relatif muda. Kemerdekaan bangsa kita berkat rahmat Allah SWT. Hal ini sudah termaktub dalam pembukaan UUD tahun 1945. Selain itu atas perjuangan dan pengorbanan para pahlawan. Yang namanya Pahlawan bukan hanya kalangan militer. Ada dari kalangan ulama, guru, dan petani yang turut berjuang membebaskan bangsa ini dari jerat penjajahan. Mereka punya semboyan, “Merdeka atau mati syahid”.

Ada pangeran Diponegoro yang ternyata seorang ulama dan Musyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiah. Dalam perang Jawa, beliau dibantu Kyai Maja sebagai guru spiritual. Perang Jawa menelan korban yang tidak sedikit, disebutkan 200 ribu jiwa rakyat yang wafat. Sosok Panglima besar Jenderal Sudirman ternyata seorang ustadz Muhammadiyah. Konon pak Sudirman pernah menjual perhiasan istrinya demi membiayai perang khususnya ransum untuk tentaranya. Kemudian KH Hasyim Asyari, ulama besar asal Tebuireng-Jombang. Beliau penggagas Resolusi jihad. Apabila kita menyimak film “Sang kyai”, di sana ada santri beliau yang berhasil menghabisi jenderal AWS Malaby.

Kalau di kota Malang ini banyak pahlawan yang berjasa, nama-nama mereka diabadikan menjadi nama Jalan raya dan Tugu peringatan. Misalnya Kyai Tamin,dan Hamid Rusdi. Hamid Rusdi adalah pahlawan yang berasal dari Pagak, kabupaten Malang. Beliau pejuang 3 zaman, era Belanda, Jepang dan pra kemerdekaan. Hamid Rusdi ternyata seorang guru agama, sehari harinya bekerja menjadi supir dan pernah jadi staf partai NU. Tolong jangan lupakan fakta sejarah ini.

Sekarang ini menjadi tugas generasi muda untuk mempertahankannya. Generasi sekarang bukanlah generasi pejuang (baca: angkat senjata) seperti Cut nyak dien, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Kapitan Pattimura maupun I gusti Ngurah Rai, bukan pula generasi perintis seperti HOS Tjokroaminoto, bung Karno, bung Hatta, bung Tomo, Haji Agus Salim, Dr M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, KH Wahid Hasyim dll. Posisi kita ini sebagai generasi pembangun sekaligus mempertahankan keutuhan bangsa.

Tantangan kita dalam mempertahankan bangsa ini cukup berat, karena yang dihadapi bukan hanya pihak asing melainkan “bangsa kita sendiri”. Contoh pejabat korup, mafia hukum, tukang Plagiat dan Bandar Narkoba.  Terkait Narkoba saja, Mantan Menkumham, Patrialis akbar pernah menyatakan sekitar 50 persen dari 135.000 penghuni lembaga pemasyarakatan (LP) di Indonesia adalah pengguna narkoba.

Boleh jadi kita lepas dari penjajahan fisik, tapi belum tentu lepas dari penjajahan berbentuk pemikiran atau ideologi. Ambil contoh di bidang hukum kita belum bisa lepas dari produk hukum peninggalan kolonial Belanda. Di bidang budaya kita masih dirongrong budaya atau gaya hidup kebarat-baratan dan K-Pop yang orientasinya 3F: Food, Fun dan Fashion. Di bidang ekonomi, kita belumlah berdikari. Masih mengandalkan utang luar negeri untuk menyokong APBN.

Tidak dapat dipungkiri kondisi bangsa sedang di ambang krisis moneter. Ekonomi lesu dan baru baru ini terjadi gelombang PHK massal. Yang bisa kita lakukan sebagai orang yang bukan pelaku moneter adalah mendoakan Gubernur BI, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan dan Bappenas, semoga mereka dapat menghindarkan bangsa ini dari krisis.

Di usia 70 tahun sudah banyak pencapaian yang dilalui bangsa kita. Dulu awal kemerdekaan, buta aksara masih tinggi. Sekitar 9 dari 10 orang mengalami buta aksara. Syukurlah untuk sekarang tersisa 5% dari jumlah total penduduk bangsa Indonesia. Dulu kita dilarang mengkritik kolonial maupun pemerintah berlatar belakang militer. Kini berubah drastis, kita boleh mengkritisi kebijakan pemerintah. Dalam bidang teknologi, kita boleh berbanggalah hati karena putra terbaik Bangsa yakni BJ Habibie mampu membuat Pesawat CN 235. Selain itu ilmuwan-ilmuwan kita sudah mampu membuat pesawat tanpa awak (PUNA Sriti besutan BPPT), memanipulasi cuaca hingga membuat Panser dan Kapal perang.

Jangan apatis terhadap kondisi bangsa ini, mari kita optimis saja. Jadilah generasi muda yang lebih baik dari generasi terdahulu. Jadilah orang baik yang bisa memperbaiki orang lain. Bangsa ini tidak butuh generasi muda yang bisanya mencaci maki “kegelapan” tapi enggan menyalakan lilin atau lentera (baca: harapan dan aksi). Demikian refleksi saya sebagai seorang guru dalam melihat pasang surut bangsa ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi anda semua. Wallahu’alam bishawwab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni Jurusan Studi Ilmu Agama Islam di Pascasarjana UIN Malang. Pasca lulus, pada 2013-2015 menjadi Dosen tetap di STAI al-Yasini, Pasuruan. Sejak Februari 2015, menjadi Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di MTs-MA Muhammadiyah 2 kota Malang. Telah mengunggah lebih dari 50 karangan populer dan ilmiah, terutama di bidang Pemikiran Islam, Filsafat, Tasawuf dan Politik. Artikel terbaru berjudul 'Para Penguasa Suriah Dalam Catatan Sejarah' dimuat di Majalah Tabligh bulan April 2018

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization