Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Membangun Kepedulian Berpolitik

Membangun Kepedulian Berpolitik

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (dakwatuna.com / hdn)
Ilustrasi. (dakwatuna.com / hdn)

dakwatuna.com – Politik merupakan ro’sul umur (kepala dari segala urusan). Karena sifatnya yang melibatkan kepentingan orang banyak. Bahkan saking pentingnya Ibnu Taimiyah mengatakan dalam fiqh siyasah syar’iyah-nya, bahwa wilayatu amri nas (wilayah kekuasaan manusia), adalah a’dzomu wajibatu ad-din (kewajiban agama yang paling agung).

Makanya di dalam trilogi godaan dunia; harta, tahta, & wanita selalu berputar didalam siklus kompetisi politik. Bahkan ibnu qoyyim al-jauziyah mengatakan, diantara semua syahwat yang melekat pada diri manusia, maka syahwat politiklah yang paling tinggi. Karena ketika syahwat politik sudah terpenuhi, maka manusia akan lebih mudah memenuhi jenis-jenis syahwat lainnya.

Jika mengingat fakta di lapangan, kita akan mengetahui bahwa aktivis dakwah itu memang terkenal dengan keihkhlasannya, tekun dalam bekerja, jujur dalam beramal. Sehingga sifat-sifat keulamaan itu sangat melekat pada diri seorang aktivis dakwah. Tetapi ada suatu paradoks yang sering melekat, yaitu hilangnya sifat ke-umara-an (negarawan). Sifat seorang umara yang menuntut kemampuan leadership, kemampuan berkomunikasi, memobilisasi dan kemampuan bersiyasah lainnya seringkali kurang dikuasai oleh para aktivis dakwah.

Padahal jika kita membaca sejarah kejayaan islam secara baik, maka kita akan menemukan fakta bahwa, semua pemimpin muslim selalu menyatukan sifat keulamaan dan keumaraan sekaligus. Pemimpin dari zaman khulafaurrasyidin hingga keruntuhan turki ustmani, sangat menguasai sekali kedua sifat tersebut. Mereka handal jika berbicara mengenai negara, tapi juga paham jika berbicara mengenai agama. Sehingga produk kebijakan yang dihasilkan pun masih bersumber pada hukum-hukum islam.

Saat ini pun, kita berada pada era abad kemunduran. Di mana sekulerisme menjalar, dan bermetamorfosa kedalam beragam bentuk. Sehingga kita banyak menemui isme-isme yang yang memisahkan hubungan antara agama dan negara. Ada komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan beragam isme-isme lainnya. Sehingga salah satu bentuk perjuangan kita didalam dunia pendidikan, adalah didirikannya Sekolah Islam terpadu. Kita mencoba memadukan, antara ilmu kenegaraan dan ilmu keagamaan. Bahwa pancasila yang menjadi platform bersama masyarakat Indonesia, dengan poin-poinnya yang dipaparkan dengan bahasa yang sangat umum, harus kita tafsirkan secara riil dengan nilai islam. Dan dipraktikkan langsung ke dalam dunia pendidikan.

Dalam hal ini, setidaknya aktivis dakwah kampus harus membangun kepedulian berpolitiknya dimulai dari dunia kampus, dan selanjutnya terus berjuang hingga bisa berkontribusi pada level negara;

  1. Kepedulian Politik di Level Kampus

Banyak aktivis dakwah yang berpikiran bahwa politik adalah ranah yang tidak perlu diisi oleh aktivis dakwah. Bahwa politik adalah medan yang kotor, penuh intrik, penuh manuver serangan, dan lain sebagainya. Itu benar di satu sisi, tapi kita tidak boleh melupakan sisi yang lebih penting; bahwa politik pun harus diisi oleh orang-orang yang shaleh, dan harus diisi oleh orang yang memiliki 2 sifat (ulama dan umara) sekaligus.

Sehingga wawasan lintas pergerakan memang menjadi wawasan mutlak kita dalam berharokah. Karena dari situlah kita menjadi yakin dan semakin mantap berjuang dengan jamaah dakwah tarbiyah ini. Karena dari sekian banyak harokah yang bertebaran di bumi Indonesia, jamaah tarbiyahlah yang kader-kadernya paling memenuhi persyaratan (ulama dan umara) tadi. Dan kita tidak perlu membicarakan detailnya. Cukup lihat kualitas kader yang dihasilkan. Bagaimana akhlak mereka, interaksi laki-laki dan perempuan, kejujuran, kedisiplinan, dan kepribadian penting lainnya yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah.

Dan kita juga perlu membiasakan diri mengadakan hiwar haroki (dialog antar pergerakan), agar dada kita senantiasa lapang, dan pemikiran kita senantiasa terbuka. Karena itu pulalah kepribadian rasul. Masa kecil rasul di padang pasir yang luas terbentang, membuat pikirannya senantiasa terbuka terhadap berbagai macam kemungkinan. Lalu peristiwa pembelahan dadanya oleh malaikat jibril, membuatnya senantiasa memiliki dada yang lapang. Alangkah bahagianya pribadi individu yang melekatkan dua kepribadian mulia itu.

  1. Kepedulian Politik di Level Negara

Jika kita mempelajari sejarah perpolitikan Indonesia dengan baik, maka kita akan mendapatkan fakta bahwa, perdebatan antara Islam dan keIndonesiaan adalah perdebatan yang tak kunjung usai. Sejak era kemerdekaan dibawah kepemimpinan Soekarno, lalu memasuki era orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto, hingga era reformasi seperti saat ini; yaitu penyingkiran aktivis islam politik yang tidak pernah usai. Yang membedakan hanya tingkat tekanannya.

Sehingga para akhir tahun 80-an hingga awal awal 90-an, ada fase yang para intelektual biasa sebut dengan ‘gelombang pasang islam politik’. Pada saat itulah intelektual-intelektual islam bermunculan kepermukaan. Sehingga semangat para aktivis islam politik pun kembali mencuat. Mungkin kita terbiasa mendengar tokoh-tokoh Islam pembaharu seperti; Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), Munawir Syadjali, hingga Harun Nasution. Mereka semua adalah tokoh islam pembaharu, yang menekankan islam lebih kepada nilai reaktualisasi dan desakralisasi. Sehingga semangat pemikiran mereka lebih bersifat kenusantaraan, dan dekat dengan nilai sekuler.

Adapun kubu pembandingnya, ialah golongan yang lebih mendekatkan Islam kepada nilai otentiknya, tanpa menghilangkan kepribadian sebagai seorang Indonesia. Adapun tokohnya seperti Amien Rais, Deliar Noer, Endang Saifuddin, H.M Rasjidi dan banyak tokoh lainnya. Kedua kubu ini tak henti-hentinya mengisi wacana Islam kebangsaan, dengan seluruh kapasitas intelektual yang mereka miliki. Makanya tak jarang, jika mereka saling mengkritik satu sama lainnya.

Sehingga pada tahapan kepedulian berpolitik pada tingkatan negara ini, sudah seharusnya kita memiliki semangat yang sama. Yaitu semangat membangkitkan nilai Islam dengan fikroh islam yang kita bawa. Karena perjuangan kita dalam dunia dakwah ini pun, kita berjuang dengan nilai yang sama. Yang membedakan hanyalah pendekatannya.

Oleh karenanya, jika kita sudah memahami hakikat urgensi berpolitik pada level kampus dan level negara, maka hal selanjutnya yang harus dikuasai adalah keterampilan. Dan Dr. Yusuf Qaradhawi memberikan kita konsep fiqh aljadid (fiqh pembaharuan), dalam cara kita merespon segala dinamika kekinian, khususnya dalam berpolitik. Adapun penjabaran fiqh aljadid(fiqh pembaharuan) itu adalah; 1.Fiqh maqoshid syariah (tujuan pemberlakuan syariah), 2.Fiqh Waqi’(realitas), 3. Fiqh Taghyir (perubahan), 4. Fiqh al aulawiyat (prioritas), dan fiqh muwazanah (keseimbangan). Dengan ke5 fiqh inilah, seorang muslim dapat menguasai sifat dan keterampilan ulama dan umara sekaligus.

Bahkan di dalam fiqh, terdapat tingkatan keilmuan seseorang dalam usahanya berijtihad. Yang paling dasar ialah 1. Muqallid, 2. Muttabi’, dan yang paling tinggi ialah 3. Mujtahid. Mujtahid banyak ragamnya. Adapun yang paling umum adalah mujtahid mazhab, dan mujtahid mutlak. Mujtahid mutlak yang paling tinggi. Dengan adanya pengetahuan derajat keilmuan seperti ini, setidaknya kita harus semakin giat menuntut ilmu, agar tingkat kelayakan kita dalam mengambil keputusan politik pun terus meningkat.

Begitulah hakikat membangun kepedulian berpolitik, agar kita semakin mantap dalam barisan dakwah yang berafiliasi langsung dengan dunia politik. Karena semakin kita mengetahui keurgensian politik didalam dinamika dakwah, maka akan semakin bersemangatlah kita untuk turun langsung berdakwah.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

Lihat Juga

Dakwah Islam Kewajiban Semua Muslim

Figure
Organization