Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Tentang Akhlak yang Melepuh

Tentang Akhlak yang Melepuh

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ping.busuk.org)
Ilustrasi. (ping.busuk.org)

dakwatuna.com – Seorang teman pernah bertanya tanpa nada menghina, “Apakah, orang-orang sepertimu itu, dijamin masuk surga?”

Belum sempat bersuara, dia sudah kembali berkata. “Dan yang seperti kami ini, pasti masuk neraka?” dia tersenyum. Dengan senyum yang membuatku ngilu sekaligus kelu.

“Padahal yang aku lihat, orang-orang dari golonganmu itu, mereka telah masuk dalam kategori munafik yang disebutkan Rasul kita”

Dengan dada yang berdebar semakin kencang, aku tidak dapat sedikitpun membuka mulut bahkan untuk sekadar bertanya mengapa.

Dia kembali tersenyum. Jilbabnya bergoyang diterbangkan angin.

“Menjaga hati? Huh,” lagi-lagi, temanku ini melempar senyum. Matanya berkilat-kilat dan membuatku menunduk lebih dalam. “Yang ada, pergaulan mereka dengan lelaki malah lebih mengerikan dari pada kami. Mata-mata mereka, hati-hati mereka, ponsel-ponsel dengan jejaring sosial yang dipenuhi setan …”

Hati … lagi-lagi masalah hati. Ingin rasanya aku menampar saudaraku ini dan membungkam mulutnya agar berhenti bicara. Tidak semua yang dia katakan benar. Tidak semua yang dilakukan teman-teman akhwatku seperti itu. Tidak semua …

“Tidak semua,” seakan hendak menenangkanku, dia menyodorkan minuman kaleng yang dibelinya tadi di sebuah minimarket. “Aku tahu tidak semuanya seperti itu. Tapi apa maksudnya?” dia sengaja memutus katanya.

“Mengharamkan musik, menolak nasyid-nasyid yang bermusik, tapi mendengarkan lagu-lagu Arab yang musiknya jauh lebih kencang,” dia tertawa. Dengan tawa yang mampu menyayat kerongkonganku.

“Mengatakan kebersihan adalah sebagian dari iman, tapi membiarkan bau busuk dari kaos kaki-kaos kaki mereka mencemari udara. Lalu bau badan mereka meresahkan sekitar. Tawa-tawa keras mereka saat membicarakan lawan jenis, terdengar begitu membosankan. Kalau begitu, di mana iman?”

C’mon, guys! Menutup rapat tubuhnya hingga muka, memakai kaos kaki dan manset. Menunduk saat berjalan. Tapi hati-hati mereka … terbuka dengan lebarnya. Untuk pesan-pesan genit pada banyak lelaki, untuk tawa manja, untuk keluh yang seharusnya bisa saja tidak diruahkan pada kaum lainnya. Untuk … foto-foto yang menyisakan dua kelopak mata yang mengerling dan bertebar di sosial media. Untuk apa? Semua itu untuk apa?”

Aku semakin ternganga. Kata-kata manis yang biasanya sangat mudah kurangkai, menguap entah ke mana.

“Stereotype.”

Checkmate. Aku menyerah. Aku benar-benar tak mampu berkata-kata, sekadar untuk memberikan pemahaman yang baik kepada temanku ini. Dia selalu mengamati, menganalisa, dan bersikap teliti, lebih dariku. Tentu saat berkata, tentu saat mengungkapkan itu semua, adalah murni rasa yang menyesakkan dadanya, tanpa niat membuat hatiku terluka.

Lagi-lagi senyum itu terkembang. Masih teduh, seperti biasanya. Dia merangkulku, matanya menatap lurus jauh ke depan. “Tidak usah dijawab. Biar mereka sendiri yang memberikan jawaban kepada umat …”

***

“Takut. Kami takut.” Seorang ibu rumah tangga, yang sedang menyuapi balitanya dengan bubur ayam yang baru dibelinya, dengan terang mengungkapkan hal itu pada kami.

“Kalian hanya menatap kita dengan tajam, seolah kita-kita ini adalah makhluk asing dari planet lain yang tidak boleh hidup bersama kalian. Membawa virus, atau … ah …”

“Ibu …” aku dengan seorang temanku, saling berpegangan tangan dengan erat saat Ibu itu bahkan belum menyelesaikan kata-katanya.

Sang Ibu tersenyum. “Padahal, sering kudengar. Seharusnya, yang muda kepada yang lebih tua. Yang berjalan kepada yang duduk. Yang berkendara pada yang jalan. Bukankah benar begitu?”

Kami mengangguk. Hadits dari Abu Hurairah itu, diingatnya dengan baik.

“Lalu kalian melakukannya?” Ibu itu masih menyelesaikan suapan terakhir untuk putrinya yang sedari tadi tertawa-tawa. “Yang kulihat, hanya kepada sesamamu lah, kalian saling bertukar senyum dan sapa-sapa mesra. Bukankah seharusnya juga, pada orang yang engkau kenal dan tidak kenal?”

Ibu itu kembali mengingatkan kepada kami tentang jawaban Rasulullah ketika ditanya perihal Islam yang baik.

“Lalu untuk apa? Semua itu untuk apa? Menciptakan jarak? Membedakan mana penghuni surga dan neraka?”

Kami menggigit bibir kami kuat-kuat.

***

“Fitrah manusia itu, menyukai kebaikan, dan membenci keburukan.” Seorang akhwat mengingatkan kami saat kita sedang bersama membahas tentang hadits ketiga dalam Kitabul Jami’.

Ingatanku melayang pada keluh orang-orang tentang kaum kami. Segolongan orang yang seharusnya memberi teladan. Segolongan orang yang berniat menggapai surgaNya. Segolongan orang yang membanggakan manhaj yang dianutnya, yang katanya paling benar dan berdiri di atas sunnah Rasulullah.

Bah! Tiba-tiba aku muak dengan diriku sendiri. Dengan lingkungan, juga dengan pikiran-pikiran dan sikap yang sempit.

Kenapa harus menjadi munafik? Mengatakan kata-kata dengan ringan, jika berkhalwat itu haram, berikhtilat itu dijauhi saja … tapi ternyata, hati-hati kita sendiri lah yang berdarah. Bercampur nanah.

Untuk apa mencipta jarak? Alasan kuat apa yang dipakai untuk tidak berbaur? Padahal, bukankah sesungguhnya mereka adalah ladang dakwah kita? Orang-orang yang mengantar kita ke surga? Kaum yang dapat dijadikan hujjah, saat Allah bertanya ke manakah ilmu-ilmu kita?

Apakah dengan menutup tubuh dengan rapat saja, itu sudah cukup membuat kita terlepas dari tanggung jawab, dan dosa-dosa?

Apakah dengan dalih bahwa iman-iman itu pasti akan naik dan turun, lalu membuat kita bebas melakukan apa yang kita larang untuk kita sendiri, dengan alasan, sedang futur. Sedang berkurang imannya. Itu adalah fitrah dan tak perlu resah???

Padahal orang-orang melihat kita karena akhlak, bukan dari seberapa rapat kita menutup pakaian, seberapa panjang menjulurkan kerudung, seberapa tinggi mengangkat celana di atas mata kaki, dan bukan dari seberapa banyak ilmu yang kita miliki.

Kembali terlintas, lalu untuk apa mendatangi kajian-kajian di berbagai tempat? Mengagendakan majlis-majlis ilmu yang bertebar, rutin menghadiri tarbyiah, menghapal ayat-ayat cinta-Nya dengan banyak … semua itu untuk apa?

Jika, waktu-waktu kita hanya habis untuk itu. Lalu merasa cukup. Tanpa merasa memikul tanggung jawab atas ilmu-ilmu yang semakin bertambah. Tanpa sadar, jika di luar sana, banyak yang butuh uluran tangan dan hati kita. Tanpa ingat, ada yang akan mempertanyakan apa yang kita perbuat, dan menuntut kita kelak di akhirat.

“Dan apa-apa yang membuat dadamu sesak, apa-apa yang membuatmu rapat menutupi, agar tak ada orang lain yang mengetahuinya selainmu. Apa-apa yang membuatmu merasa terganjal. Adalah dosa …”

Kami memegang Alquran kami semakin erat saat murabbiyah mulai menerangkan dan membuat dada kami bergetar-getar.

Yang menulis ini, tidak lebih baik daripada yang membaca.

Muhasabah dirii, semoga ampunan Allah melimpahi. Semoga semakin terjaga hati-hati.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Zulfa Rahmatina merupakan sarjana Psikologi. Asisten peneliti di Center for Islamic and Indigenous Psychology (CIIP) UMS (2015-2019), dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan sebagai pemimpin redaksi Majalah Pabelan (2017). Tulisan-tulisannya tergabung dalam buku-buku antologi yang diterbitkan oleh penerbit mayor maupun indie.

Lihat Juga

Revolusi Akhlak Dalam Keluarga

Figure
Organization