Topic
Home / Narasi Islam / Khutbah / Khutbah Idul Fitri / Khutbah Idul Fitri 1436 H: Insyaf, Perbaikan Diri, Keluarga, dan Masyarakat

Khutbah Idul Fitri 1436 H: Insyaf, Perbaikan Diri, Keluarga, dan Masyarakat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (islamreview.ru)
Ilustrasi. (islamreview.ru)

dakwatuna.com – Gema takbir terdengar di seluruh penjuru bumi pertiwi menyambut dan mengiringi hari kemenangan, harinya Umat Islam, harinya Bangsa Indonesia kembali kepada kesuciannya, harinya Hamba Allah kembali kepada fitrahnya. Kembali kepada kesucian, kembali kepada fitrah adalah Keagungan Allah. Betapa tidak, hamba Allah yang sempat tercemari kotoran dosanya, kini bersih dengan istighfarnya, bersih dengan puasanya, bersih dengan tarawihnya, bersih dengan sedekah dan zakatnya. Ini  menunjukkan bahwa Allah Maha Penyayang dan Allah Maha Pengampun. Dengan Maha Pengampunnya, Allah selalu memberi tangguh ajal seorang hamba-Nya yang penuh dosa untuk kembali kepada-Nya.

Kembali kepada Allah, bertaubat kepada Allah tumbuh dari jiwa yang insyaf, sadar akan kekeliruannya dan bertekad akan memperbaiki dirinya. Perasaan insyaf ini penting, karena dia lah yang akan membawa pemiliknya berupaya memperbaiki diri, ke arah yang lebih baik, sampai mendapatkan ridha-Nya Allah Tabaraka wa ta’ala.

Bersalah bagi manusia adalah salah satu cirinya. Lupa bagi manusia juga bagian dari ceritanya. Sehingga sulit bagi manusia untuk lepas dari dua hal itu. Seperti yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, “al-insanu mahalul khatha wa nisyan.” Manusia itu tempat kesalahan dan lupa. Manusia tidak akan dipersalahkan karena kesalahannya. Yang salah itu bila berbuat salah tapi tidak pernah sadar (insyaf) akan kesalahannya. Dan bila berbuat salah dan terus menerus dalam keadaan salah. Sehingga Nabi Muhammad SAW memberikan statement yang menyejukkan, “setiap anak cucu Adam melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya pelaku kesalahan adalah orang yang bertaubat.” Lihat, Baginda Nabi menyebutnya “sebaik-baik pelaku kesalahan”, masih ada kata “baik” untuk pelaku kesalahan. Ini juga yang menunjukkan bahwa Nabi kita dan Allah, Tuhan kita memiliki kasih sayang yang luas, seluas pasir pantai yang menutupi beberapa butir pasir kesalahan manusia.

Untuk sampai ke tingkat insyaf perlu ada satu jeda dalam kehidupan kita yaitu melakukan muhasabah, introspeksi diri, melihat sendiri tentang diri kita. Kita perlu becermin untuk melihat seperti apa diri kita? Ada yang unik dari kebiasaan Baginda Nabi Muhammad saw ketika becermin, beliau berdoa, “Allahumma kama hasanta khalqi fa hassin khuluqi.” (ya Allah seperti Engkau membaguskan wujudku, maka baguskan juga akhlakku). Becermin bukan sekedar mematut-matut diri, agar pantas dilihat orang. Tapi, becermin agar diri berakhlak mulia, untuk orang dapat mencintai kita.

Muhasabah membuat pelakunya melihat kekurangan, melihat aib dirinya, sekaligus melihat kelebihannya. Muhasabah untuk mengetahui perbuatan mana yang sudah ditunaikan dan perbuatan mana yang belum diselesaikan. Ketika kita mendapati diri kita dalam keadaan baik, maka bersyukur kepada Allah. Dan ketika kita melihat kekurangan kita, di sinilah saatnya untuk meminta ampun kepada Allah. Dan saat inilah kita melihat kemanusiaan kita. Dan saat inilah kita melihat kesempurnaan Allah Tabarka wa Ta’ala. Dengan kesadaran seperti inilah, semoga kita mampu menjawab seruan Allah,

توبوا إلى الله ……….

Kembalilah kepada Allah,

Orang yang kembali kepada Allah, orang yang bertaubat kepada Allah dengan lirih mengucapkan, “Astaghfirullah ‘azhim alladzi la ilaha illa huwalhayyul qayyum wa atuubu ilaihi,  maka dia akan mendapatkan 3 keuntungan paling tidak, seperti sabdanya:

من أكثر الاستغفار جعل الله من كل همّ فرجا، ومن كل ضيق مخرجا، ورزقه الله من حيث لا يحتسب

Orang yang banyak-banyak meminta ampun, Allah akan menjadikan setiap kesedihannya menjadi kegembiraan, setiap kesempitan menjadi keleluasaan, Allah akan memberikan rizki dari yang tidak diduga.

Pengakuan atas kesalahan akan berbuah kebaikan, bahkan perbaikan. Jadi, bukan aib mengakui kesalahan itu, apalagi pengakuan disampaikan kepada Allah Rabb semesta alam. Bahkan Allah senang menerima taubatnya, seorang hamba untuk kembali ke pangkuan-Nya.

Dengan kondisi kembali ini, seorang pribadi memiliki kekuatan untuk memiliki nurani yang peka, yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, memiliki pandangan yang jernih sehingga mampu membedakan yang benar dan salah, memiliki keinginan dan daya juang yang kuat untuk menjalankan misi kemanusiaannya di bumi.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu,

Perbaikan diri adalah awal perbaikan yang lainnya. Perbaikan diri akan menyebabkan perbaikan keluarga. Karena keluarga merupakan himpunan kekerabatan yang terdiri dari beberapa pribadi. Kalau pribadi-pribadi yang berkumpul itu orang-orang yang baik, maka keluarga itu pun akan baik.

Keluarga—di dalam Islam—untuk membentuk rumah tangga. Bukan sekedar berkumpul dua orang. Apalagi berkumpulnya bukan sepasang, pria saja, atau wanita saja. Keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah berpikir Islam, menjaga etika Islam dalam setiap kehidupan rumah tangga. Memilih pasangan yang prioritaskan agama seperti yang dianjurkan Rasulullah Saw. Keluarga yang memenuhi hak setiap anggotanya. Keluarga yang menjalankan kewajiban untuk setiap anggotanya. Keluarga yang berkomitmen untuk mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islam. Keluarga yang mendidik dan menghargai pembantunya yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Keluarga ini bercirikan: (1) keluarga yang terdiri dari suami istri yang muslim, shalih dan shalihah; (2) masing-masing pasangan menunaikan kewajiban di dalam rumah tangga; (3) satu sama lain bekerja sama dalam melaksanakan tugas masing-masing; (4) berupaya untuk melahirkan dan menumbuhkan rasa cinta (mawaddah), rasa sayang (rahmah), serta hubungan yang romantis di dalam keluarga; (5) mampu menyelesaikan setiap persoalan keluarga, dan konflik yang terjadi di dalamnya.

Keluarga ini pula yang mampu memerankan “sekolah” untuk putra-putrinya: orang tua yang mampu menggunakan metode yang tepat untuk pendidikan putra-putrinya. Orang tua yang pandai berinteraksi dengan putra-putrinya. Orang tua yang pandai membentuk pribadi putra-putrinya yang paripurna: akidah, ibadah, akhlak, dan aspek lainnya. Orang tua yang membantu menemukan bakat putra-putrinya. Orang tua yang membantu putra-putrinya untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan oleh anaknya kelak.

Keluarga seperti ini juga pengaruhnya menjalar ke keluarga besarnya. Kekerabatan tidak hanya cukup suami istri dan anak-anaknya tetapi berpengaruh ke keluarga besar suami, juga ke keluarga istri. Bahkan keluarga ini berpengaruh juga kepada masyarakat di sekitarnya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamdu,

Kebaikan pribadi tidak hanya berpengaruh kepada keluarga, tetapi juga kepada masyarakat. Sebelumnya, kemampuan pribadi membentuk keluarga yang baik, sekarang dia pun bersama dengan keluarganya berpengaruh kepada masyarakat.

Masyarakat yang semua keluarga tinggal adalah masyarakat yang tergabung dalam ikatan persaudaraan dan cinta antar anggotanya. Masyarakat yang menghargai batas-batas hak dan kewajibannya. Masyarakat yang bekerja sama dalam proyek-proyek kebaikan. Masyarakat ini adalah masyarakat idaman di tengah gempuran dekadensi moral, hilangnya standar nilai yang tinggi, mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum, bersikap pengecut dan takut menghadapi kenyataan, lari dari masalah dan tidak mencoba menyelesaikannya, serta ancaman perpecahan.

Untuk itu, kita harus sekuat tenaga bertahan atas gempuran itu dan meningkatkan kerja sama kita untuk membangun masyarakat Indonesia yang kuat, agar Indonesia menjadi bangsa yang kuat.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni LIPIA Jakarta. Aleg DPR RI Dapil Jakarta Timur.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization