Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Fiqih I’tikaf: Bolehkah I’tikaf Selain Ramadhan dan Tanpa Puasa? (Bagian Ketiga)

Fiqih I’tikaf: Bolehkah I’tikaf Selain Ramadhan dan Tanpa Puasa? (Bagian Ketiga)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Masjidil Haram, Makah.  (izismile.com)
Masjidil Haram, Makah. (izismile.com)

dakwatuna.com – Dalam hal ini terjadi khilafiyah, Syaikh Utsaimin berkata, “Yang nampak benar bagi saya, bahwa manusia jika i’tikaf pada selain Ramadhan, hal itu tidaklah diingkari berdasarkan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan Umar bin Al Khathab menepati nazarnya. Seandainya nazar tesebut makruh atau haram, niscaya Beliau tidak akan mengizinkan memenuhi nazarnya. Tetapi, kami tidak menuntut setiap orang untuk beri’tikaf pada bulan apa saja semaunya dia, bahkan kami katakan sebaiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan I’tikaf selain Ramadan, bahkan diluar 10 hari terakhir adalah sunah dan berpahala, niscaya Beliau akan menjelaskan kepada umat sehingga umat mengerjakannya.” (Syarhul Mumti’, 6/164. Mawqi’ Ruh Al Islam)

فالذي يظهر لي أن الإنسان لو اعتكف في غير رمضان، فإنه لا ينكر عليه بدليل أن الرسول صلّى الله عليه وسلّم أذن لعمر بن الخطاب أن يوفي بنذره ولو كان هذا النذر مكروهاً أو حراماً، لم يأذن له بوفاء نذره، لكننا لا نطلب من كل واحد أن يعتكف في أي وقت شاء، بل نقول خير الهدي هدي محمد صلّى الله عليه وسلّم، ولو كان الرسول صلّى الله عليه وسلّم يعلم أن في الاعتكاف في غير رمضان، بل وفي غير العشر الأواخر منه سنة وأجراً لبينه للأمة حتى تعمل به

“Yang nampak benar bagi saya, bahwa manusia jika i’tikaf pada selain Ramadhan, hal itu tidaklah diingkari berdasarkan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan Umar bin Al Khathab menepati nazarnya. Seandainya nazar tesebut makruh atau haram, niscaya Beliau tidak akan mengizinkan memenuhi nazarnya. Tetapi, kami tidak menuntut setiap orang untuk beri’tikaf pada bulan apa saja semaunya dia, bahkan kami katakan sebaiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan I’tikaf selain Ramadan, bahkan diluar 10 hari terakhir adalah sunah dan berpahala, niscaya Beliau akan menjelaskan kepada umat sehingga umat mengerjakannya.” (Syarhul Mumti’, 6/164. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Hadits yang dimaksud oleh Syaikh Utsaimin, yakni Dari Ibnu Umar, bahwa Umar bin Khatab berkata:

يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام. فقال: أوف بنذرك

“Wahai Rasulullah, saya bernazar pada masa jahiliyah untuk i’tikaf pada malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nazarmu.” (HR. Bukhari No. 1927, 1937,1938)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

ففى أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم له بالوفاء بالنذر دليل على ان الصوم ليس شرطا في صحة الاعتكاف، إذ أنه لا يصح الصيام في الليل.

Maka, pada perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya (Umar) untuk memenuhi nazar, merupakan dalil bahwa berpuasa bukanlah syarat bagi sahnya i’tikaf, mengingat bahwa tidak sahnya berpuasa malam hari. (Fiqhus Sunnah, 1/478)

Inilah pendapat Ali, Ibnu Mas’ud, Al Hasan Al Bashri, Asy Syafi’i, dll. Sedangkan ‘Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Sa’id bin Al Musayyib, Urwah bin Zubeir, Az Zuhri, Al Auza’i, Malik, Abu Hanifah, menyatakan bahwa I’tikaf tidak sah tanpa berpuasa. (Ibid, 1/479)

Faktanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah I’tikaf pada bulan Syawwal, yaitu 10 hari terakhir bulan Syawwal, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitab Shahihnya:

بَاب الِاعْتِكَافِ فِي شَوَّالٍ

Bab I’tkaf Pada Bulan Syawwal

Maka, pandangan yang lebih kuat adalah bahwa I’tikaf tetap sah dilakukan tanpa puasa dan sah pula di luar Ramadhan. Jika ditambah puasa maka itu afdhal. Wallahu A’lam

I’tikaf Wajib di Masjid; Masjid yang bagaimanakah?

Di masjid adalah syarat sahnya i’tikaf sesuai petunjuk Alquran, surat Al-Baqarah ayat 187, juga contoh dari sunah Rasululah saw.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ لِلرَّجُل أَنْ يَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: { وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ } ، وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْتَكِفْ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ.

وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَدْ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا كَالرَّجُل لاَ يَصِحُّ أَنْ تَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ ، مَا عَدَا الْحَنَفِيَّةَ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّهَا تَعْتَكِفُ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا لأَِنَّهُ هُوَ مَوْضِعُ صَلاَتِهَا ، وَلَوِ اعْتَكَفَتْ فِي مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ.

“Fuqaha telah ijma’ bahwa tidak sah bagi laki-laki yang beri’itikaf kecuali di masjid, sesuai firmanNya Ta’ala: sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah: 187), dan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak beri’tikaf kecuali di masjid.

Ada pun wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak sah I’tikaf kecuali di masjid, kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa waita i’tikaf di masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya mereka I’tikaf di masjid, boleh saja namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh).” (Al Mausu’ah, 37/213)

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّة الْمَسْجِدِ لِلِاعْتِكَافِ ، إِلَّا مُحَمَّدَ بْن عُمَر اِبْن لُبَابَةَ الْمَالِكِيَّ فَأَجَازَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ ، وَأَجَازَ الْحَنَفِيَّةُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا وَهُوَ الْمَكَان الْمُعَدُّ لِلصَّلَاةِ فِيهِ

“Ulama telah sepakat atas pensyaratan masjid untuk I’tikaf, kecuali Muhammad bin Umar bin Lubabah Al Maliki yang membolehkan di setiap tempat. Kalangan Hanafiyah membolehkan kaum wanita I’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang dipersiapkan untuk shalat di dalamnya.” (Fathul Bari, 4/272. Darul Fikr)

Demikian kesepakatannya, ada pun adanya pendapat yang menyendiri yang bertabrakan dengan mainstream dalam hal ini, tidaklah dianggap. Namun walau mereka bersepakat tentang keharusan di masjid, mereka berselisih pendapat tentang jenis masjidnya.

Beliau melanjutkan:

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَة وَأَحْمَد إِلَى اِخْتِصَاصه بِالْمَسَاجِدِ الَّتِي تُقَام فِيهَا الصَّلَوَات ، وَخَصَّهُ أَبُو يُوسُف بِالْوَاجِبِ مِنْهُ وَأَمَّا النَّفْل فَفِي كُلّ مَسْجِد ، وَقَالَ الْجُمْهُور بِعُمُومِهِ مِنْ كُلّ مَسْجِد إِلَّا لِمَنْ تَلْزَمهُ الْجُمُعَةُ فَاسْتَحَبَّ لَهُ الشَّافِعِيّ فِي الْجَامِع ، وَشَرَطَهُ مَالِكٌ لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ عِنْدهمَا يَنْقَطِعُ بِالْجُمُعَةِ ، وَيَجِبُ بِالشُّرُوعِ عِنْد مَالِك ، وَخَصَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَف كَالزُّهْرِيِّ بِالْجَامِعِ مُطْلَقًا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيّ فِي الْقَدِيم ، وَخَصَّهُ حُذَيْفَةُ بْن الْيَمَانِ بِالْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَة ، وَعَطَاءٌ بِمَسْجِدِ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَابْنُ الْمُسَيِّبِ بِمَسْجِدِ الْمَدِينَةِ ، وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ

“Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat dikhususnya I’tikaf hanya pada masjid yang di dalamnya dilaksanakan berbagai shalat, Imam Abu Yusuf mengkhususkan pada shalat wajib saja, ada pun shalat sunah bisa di semua masjid. Mayoritas (jumhur) berpendapat sesuai keumumannya pada semua masjid, kecuali bagi orang yang juga sekalian shalat Jumat, maka kalangan Imam Asy Syafi’i menyunnahkan di masjid Jami’, ada pun Imam Malik mensyaratkan hal itu (Masjid Jami’) karena menurut mereka berdua, i’tikaf menjadi terputus karena shalat Jumat. Imam Malik mewajibkan hal itu (keberadaan di masjid Jami’) sejak permulaan I’tikaf. Sebagian salaf seperti Az Zuhri mengkhususkan masjid jami’ secara mutlak, hal itu juga diisyaratkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat lamanya.

Sedangkan Hudzaifah bin Yaman mengkhususkan di tiga masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha), Atha’ mengkhususkan pada masjid di Mekkah dan Madinah, Said bin Al Musayyib mengkhususkan masjid di Madinah, dan mereka sepakat tidak ada batasan dalam hal banyaknya.” (Ibid)

Dari penjelasan Al Hafizh, kita bisa simpulkan, bahwa para fuqaha berselisih tentang jenis masjid yang boleh dilakukan i’tikaf di dalamnya:

Sahnya I’tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan shalat Jumat (Istilahnya: masjid jami’). Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll

I’tikaf sah dilakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan shalat Jumat. (istilahnya: masjid ghairu Jami’ – surau), inilah pendapat, Syafi’i, Daud, dll. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Imam Bukhari juga mengikuti pendapat ini, beliau menulis dalam Shahihnya:

بَاب الِاعْتِكَافِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالِاعْتِكَافِ فِي الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا

Bab I’tikaf di 10 Hari terakhir dan I’tikaf Masjid-Masjid Seluruhnya. (lalu beliau mengutip Al Baqarah 187)

I’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Ahu, ini yang nampak dari pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2786.

Hanya masjid di Mekkah dan Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat ‘Atha

Hanya masjid di Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat Sa’id bin Al Musayyib

Nampak bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin pada pembahasan selanjutnya.

Hadits: Tidak Ada I’tikaf Kecuali Pada Tiga Masjid

Bunyi hadits:

لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة

“Tidak ada i’tikaf kecuali pada 3 masjid.” (HR. Ath Thahawi, Syarh Musykilul Atsar No. 2771. Al Baihaqi, 4/316) yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha

Syaikh Utsaimin mengatakan: hadits ini dhaif (lemah). (Syarhul Mumti’, 6/164).

Sementara Syaikh Al Albani mengatakan:

و هذا إسناد صحيح على شرط الشيخين

Isnad hadits ini shahih sesuai syarat syaikhain (Bukhari-Muslim). (As Silsilah Ash Shahihah No. 2786)

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu memaknai bahwa hadits di atas, hanya mengingkari kesempurnaan I’tikaf saja, tidak sampai mengingkari keabsahan I’tikaf di masjid lain. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mentakwil demikian, Katanya:

لا اعتكاف كاملا ، كقوله صلى الله عليه وسلم: ” لا إيمان لمن لا أمانة له ، و لا دين لمن لا عهد له ” و الله أعلم

“I’tikafnya tidak sempurna, sebagaimana Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak ada iman bagi yang tidak menjaga amanah, dan tidak beragama bagi yang tidak menepati janji.” Wallahu A’lam (Ibid)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah juga memahami demikian, katanya:

إن صح هذا الحديث فالمراد به لا اعتكاف تام، أي أن الاعتكاف في هذه المساجد أتم وأفضل، من الاعتكاف في المساجد الأخرى، كما أن الصلاة فيها أفضل من الصلاة في المساجد الأخرى. ويدل على أنه عام في كل مسجد قوله تعالى: {{وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}} [البقرة: 187].فقوله تعالى: {{فِي الْمَسَاجِدِ}} (الـ) هنا للعموم….

Jika hadits ini shahih, maka maksudnya adalah I’tkafnya tidak sempurna, yaitu sesungguhnya I’tikaf di masjid-masjid ini adalah lebih sempurna dan afdhal dibanding I’tikaf di masjid lain sebagaimana shalat di dalamnya lebih afdhal dibanding shalat di masjid lain. Hal yang menunjukkan bahwa ini berlaku untuk semua masjid adalah firmanNya: (Janganlah kalian mencampuri mereka sedangkan kalian I’tikaf di masjid-masjid), firman Allah fil Masajid(di masjid-masjid), Al (alif lam) di sini menunjukkan umum … (Ibid)

Beliau melanjutkan:

ثم كيف يكون هذا الحكم في كتاب الله للأمة من مشارق الأرض ومغاربها، ثم نقول: لا يصح إلا في المساجد الثلاثة؟! فهذا بعيد أن يكون حكم مذكور على سبيل العموم للأمة الإسلامية، ثم نقول: إن هذه العبادة لا تصح إلا في المساجد الثلاثة، كالطواف لا يصح إلا في المسجد الحرام. فالصواب أنه عام في كل مسجد، لكن لا شك أن الاعتكاف في المساجد الثلاثة أفضل، كما أن الصلاة في المساجد الثلاثة أفضل.

Lalu, bagaimana bisa hukum yang terdapat dalam kitabullah yang berlaku bagi umat di timur dan barat, lalu kita mengatakan kepada mereka: tidak sah kecuali di tiga masjid? Ini adalah sangat jauh, jika hukum tersebut diterapkan secara umum bagi semua umat Islam. Kemudian kita mengatakan ibadah ini tidak sah kecuali di tiga masjid, seperti thawaf tidak sah kecuali di masjidil haram.

Yang benar adalah bahwa ini berlaku umum pada setiap masjid, tetapi tidak ragu lagi I’tikaf di tiga masjid tersebut lebih utama, sebagaimana shalat di dalamnya lebih utama. (Ibid)

Hanya saja Syaikh Utsaimin menegaskan, bahwa yang disebut masjid adalah yang di dalamnya ditegakkan shalat berjamaah dan shalat Jumat, jika tidak ada shalat Jumat, maka itu bukan masjid. Dengan kata lain, beliau sebenarnya berada pada kelompok pertama, yaitu hanya membolehkan I’tikaf pada masjid jami’, hanya saja beliau tidak mengistilahkannya dengan masjid jami’.

Makna Masjid dan Batasannya

Secara bahasa (lughah) masjid adalah:

بَيْتُ الصَّلاَةِ ، وَمَوْضِعُ السُّجُودِ مِنْ بَدَنِ الإِْنْسَانِ وَالْجَمْعُ مَسَاجِدُ

Rumah untuk shalat, dan tempat sujud bagi badan manusia, jamaknya adalah masajid. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/194)

Sedangkan, secara istilah terdapat pendefinisian yang banyak dari para ulama, di antaranya:

أَنَّهَا الْبُيُوتُ الْمَبْنِيَّةُ لِلصَّلاَةِ فِيهَا لِلَّهِ فَهِيَ خَالِصَةٌ لَهُ سُبْحَانَهُ وَلِعِبَادَتِهِ

“Rumah-rumah yang yang dibangun untuk shalat di dalamnya, ikhlas hanya untuk Allah semata dan untuk mengibadahiNya.” (Imam An Nasafi, Madarik At Tanzil, 4/1-3. Darl Kutub Al ‘Arabi, Beirut)

وَكُل مَوْضِعٍ يُمْكِنُ أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ فِيهِ وَيُسْجَدَ لَهُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: جُعِلَتْ لِي الأَْرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“Setiap tempat yang memungkinkan di dalamnya untuk menyembah Allah dan bersujud kepadaNya, sebab sabdanya Shallallahu ‘Alaihiwa Sallam: “Dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan suci.”[1] (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 2/78. Darul Kutub Al Mishriyah)

Berkata Syaikh Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql Hafizhahullah, sebagai berikut:

المسجد هو مكان الصلاة للجماعة وللجمعة ، وكل ما اتخذه الناس مصلى فهو مسجد ؛ لأن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: « وجُعلَت لي الأرض مسجدا وطهورا » ، وإن كان مسمى المسجد صار أخص من سائر الأرض. والمسجد في الإسلام ، وكما كان في عهد النبي -صلى الله عليه وسلم- ليس مكان إقامة الصلاة فحسب ، بل كان منطلق أنشطة كثيرة… فكان النبي -صلى الله عليه وسلم- يعقد فيه الاجتماعات ، ويستقبل فيه الوفود ، ويقيم فيه حلق الذكر والعلم والإعلام ، ومنطلق الدعوة والبعوث ، ويبرم فيه كل أمر ذي بال في السلم والحرب. وأول عمل ذي بال بدأه النبي -صلى الله عليه وسلم- حين قدم المدينة مهاجرا أن شرع في بناء المسجد ، وكان النبي -صلى الله عليه وسلم- إذا قدم أن سفر بدأ بالمسجد ، كما ورد في الصحيح.

“Masjid adalah tempat shalat bagi (shalat) jamaah dan shalat jumat, dan setiap tempat yang dijadikan oleh manusia sebagai tempat shalat maka itu adalah masjid. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dijadikan untukku bumi sebagai masjid yang suci.” Sesungguhnya penamaan masjid merupakan sesuatu yang lebih khusus dibanding semua bagian bumi. Dan, masjid dalam Islam, sebagaimana pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukanlah hanya tempat shalat semata, bahkan di sana menjadi titik tolak aktifitas yang banyak… Dahulu Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengikat (mengadakan) berbagai perkumpulan, menerima utusan, dan mendirikan berbagai halaqah dzikir, ilmu, dan informasi, mengirim da’i dan utusan, memperkuat segala urusan yang terkait hal perdamaian dan perang. Aktifitas pertama yang dimulai oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika datang hijrah ke Madinah adalah menetapkan pembangunan masjid, dan Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam, jika datang dari berpergian juga mampir ke masjid dulu, sebagaimana diriwayatkan dari hadits shahih.”(Syaikh Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql, Atsarul ‘Ulama fi Tahqiqi Risalatil Masjid, Hal. 12. Mawqi’ Al Islam)

Ada pun yang menjadi batasan masjid telah terjadi perbedaan para ulama, namun pandangan yang lebih mengena adalah ruang apa pun yang padanya jamaah sudah layak melakukan shalat tahiyatul masjid, maka dia termasuk bagian masjid. Maka, taman masjid, parkiran, ruang perpustakaan, aula yang disewakan, bukanlah termasuk masjid walau mereka di lingkungan sekitar atau area masjid. Sebab, tempat-tempat ini tidak lazim digunakan untuk tahiyatul masjid, dan biasanya manusia tidak akan berfikir tahiyatul masjid di dalamnya. Sehingga jika mu’takif (orang yang i’tikaf) ke tempat-tempat ini tanpa hajat yang syar’i, maka i’tikafnya terputus. Wallahu a’lam. (farid/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization