Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bisakah Shalat dan Dzikir Menaklukkan Lapar?

Bisakah Shalat dan Dzikir Menaklukkan Lapar?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (jr-photos.com)
Ilustrasi (jr-photos.com)

dakwatuna.com – Setiap detik, tak terkecuali ketika tidur, tubuh manusia hidup sebetulnya senantiasa bekerja. Agar kegiatan tersebut berjalan lancar, diperlukan zat gizi, yang jumlah dan ragamnya harus sesuai kebutuhan.

Sebagian besar dari zat gizi yang dibutuhkan kudu dipasok dari luar dalam bentuk makanan. Repotnya, karena kemampuan perut menampung makanan terbatas, agar kebutuhan itu tercukupi, orang perlu makan beberapa kali dalam sehari. Ada yang terbiasa makan 2 – 3 kali sehari, ada juga yang lebih dari itu. Dan manakala kebiasaan jam makan terlewatkan, orang akan merasa lapar.

Meski, secara normal, munculnya lapar merupakan indikasi bahwa persediaan energi yang beredar dalam tubuh berkurang, hingga, jika tidak segera dipenuhi, dapat membuat keseimbangannya terganggu, menyebabkan sakit, namun tidak selamanya perasaan tersebut mesti dituruti. Selain, adakalanya, munculnya perasaan tersebut bukan merupakan tanda akurat yang menggambarkan situasi kekurangan yang dimaksudkan, “pembangkangan” juga dapat bermanfaat guna memberi kesempatan tubuh membakar timbunan lemak yang dimiliki, yang justru bisa menyehatkan.

Masalahnya, sebab munculnya perasaan lapar kerap membuat kondisi tidak nyaman –hingga tak jarang membuat orang yang melakukan puasa keteteran– pertanyaannya, upaya apa yang mesti dilakukan agar orang mampu menaklukkan perasaan laparnya ?

Otak “Kadal”

Lapar diartikan sebagai rangkaian isyarat dari dalam tubuh yang mendorong usaha untuk memperoleh dan mengonsumsi makanan. Ciri pertama kemunculannya adalah tubuh mulai gelisah, kurang bertenaga, serta kemungkinan besar disertai perasaan mudah tersinggung dan lekas marah.

Ada banyak teori yang mencoba mengungkap “dalang” di balik kemunculannya. Kebiasaan, sebagaimana telah disebutkan, merupakan salah satunya. Di samping itu, beberapa faktor lainnya adalah :

Pertama, pengaruh lingkungan, misalnya suhu. Setiap saat sel-sel tubuh mengadakan pembakaran untuk menghasilkan panas yang akan menjaga suhu tubuh agar tetap normal. Bahan bakar yang digunakan untuk pembakaran ini berasal dari makanan. Jika suhu di luar cukup panas, suhu permukaan tubuh akan hangat, sehingga tidak memerlukan banyak energi untuk pembakaran. Dalam keadaan ini seseorang tidak akan mudah lapar. Sebaliknya, jika cuaca di luar cukup dingin, seseorang akan cenderung cepat lapar karena tubuhnya perlu melakukan pembakaran guna mempertahankan kehangatannya.

Kedua, diakibatkan alasan psikologis, semisal stres. Ketika orang dihadapkan pada situasi penuh tekanan, tubuh akan melepas hormon yang disebut kortisol. Sejumlah penelitian membuktikan, ketika kortisol dilepas ke aliran darah, orang jadi kurang sensitif terhadap leptin, hormon yang memberi tahu otak akan situasi kenyang, akibatnya orang jadi “berangasan”, senantiasa merasa lapar.

Ketiga, pengaruh hormon insulin. Percobaan S.C. Woods dkk. pada tahun 1978, dengan menginjeksikan insulin ke dalam cairan serebrospinal dari ventrikula lateral, yang mengenai hipothalamus baboon, telah menyebabkan binatang tersebut mengalami penurunan konsumsi makanan dan bobot tubuh. Hal mana memunculkan asumsi, salah satunya, bahwa fluktuasi kadar glukosa darah, yang mempengaruhi sekresi insulin, bisa jadi pemicu lapar.

Keempat, pengaruh penyakit, seperti obesitas. Kebutuhan energi orang gemuk lebih tinggi dibandingkan kebutuhan orang kurus. Hal ini disebabkan orang gemuk memiliki energi metabolik basal lebih tinggi. Itu sebabnya, di samping lebih banyak makannya, orang gemuk pun cenderung lebih cepat lapar kembali.

Dan kelima, lantaran kerja “otak Kadal”. Otak limbik merupakan bagian dari otak yang pertama berkembang dan paling primitif dari otak manusia. Bagian ini tak ubahnya seperti otak reptil – karenanya, disebut Mark Hyman, M.D. dalam Ultra Metabolisme, otak “kadal”. Selain mengendalikan respon melawan atau melarikan diri dari situasi berbahaya serta perilaku seksual, bagian ini berperan pula dalam mengendalikan perilaku makan manusia.

Shalat dan Dzikir

Walau diketahui bahwa datangnya lapar bisa dicetuskan berbagai sebab, banyak pakar sepakat bahwa “penggiringan” otak, sebagai “pusat komando” aktivitas manusia, dapat mengendalikannya. “Penggiringan” yang dimaksud yaitu dengan mengondisikannya dalam keadaan alfa, situasi relaks.

Herbert Benson, seorang dokter Amerika yang memperkenalkan istilah itu, memaknai keadaan ini sebagai respon tubuh yang ditandai oleh adanya ketenangan perasaan dan kejernihan pikiran.

Dalam suasana relaks, otak berada dalam keadaan terangsang secara siaga – berada dalam stadium inkubasi, yang menjadi “pintu masuk” bagi kekuatan bawah sadar. Kondisi ini selanjutnya akan membuat tubuh menjadi santai. Metabolisme dan aliran darah melambat, sementara keinginan dan perasaan negatif, termasuk lapar, sedikit demi sedikit akan terkikis.

Untuk bisa masuk dalam keadaan ini, Herbert Benson menunjukkan 9 tahapnya :

  1. Pilih kata atau kalimat pendek yang akan menjadi fokus relaksasi.
  2. Duduk tenang dalam posisi nyaman.
  3. Tutup mata perlahan.
  4. Kendurkan otot-otot tubuh.
  5. Tarik napas perlahan dan teratur. Secara bersamaan, ulangi kata atau kalimat yang menjadi fokus. Lakukan berulang sambil mengembuskan napas.
  6. Ambil sikap pasif. Jangan perdulikan hasil. Jika ada pikiran lain yang merembes masuk, katakan saja kepada diri : “tidak apa-apa”, lalu secara perlahan kembali fokus dengan kata tadi.
  7. Lakukan selama sepuluh atau dua puluh menit.
  8. Saat usai, jangan langsung berdiri. Teruslah duduk tenang selama beberapa menit. Kemudian, bukalah mata secara perlahan. Duduk lagi selama beberapa menit sebelum berdiri.
  9. Lakukan kegiatan ini minimal satu kali sehari.

Meski demikian, apa yang telah dirumuskannya itu bukanlah harga mati, sebab setiap orang pada dasarnya memiliki cara sendiri untuk bisa memasukinya. Contohnya Thomas Alfa Edison, penemu listrik. Dia melakukannya dengan cara duduk sambil menjepit sebuah batu dengan kedua pahanya, sementara seember air diletakkan di bawahnya – jika dia tertidur, batu akan jatuh ke dalam ember, hingga dia kembali tersadar.

Dengan shalat sebetulnya orang Islam bisa juga menerobos keadaan ini.

Niat ikhlas, yang dipatrikan ketika hendak memulai shalat, merupakan awal yang baik dalam memunculkan reaksi relaks.

Tekad yang diucapkan melalui doa iftitah, memberi suasana yang memudahkan konsentrasi bagi pikiran. Konsentrasi pikiran adalah kunci keberhasilan shalat, sekaligus kunci kesuksesan sebuah relaksasi.

Gerakan shalat itu sendiri adalah gerakan fisiologis tubuh. Artinya, merupakan gerakan alamiah mengikuti bentuk anatomis tubuh.

Walau begitu, penting untuk diingat, adalah keliru menjadikan tujuan relaksasi sebagai alasan melakukan shalat.

Demikian halnya dengan dzikir – penelitian Herbert Benson menunjukkan bahwa kata-kata dzikir dapat menjadi salah satu frasa fokus (kata-kata yang menjadi titik perhatian) dalam proses relaksasi.

Frasa fokus tersebut bila dikombinasikan dengan respons relaksasi, bukan hanya dapat mengikis penderitaan fisik, namun juga memunculkan efek yang lebih hebat, mampu membawa seseorang pada “kesejatian diri”, yang mencintai dan senantiasa ingin dicintai Sang Khaliq.

Allahu a’lam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis buku "Ayat-Ayat Sehat" dan "Diet Islami"

Lihat Juga

Ingat Allah Hatimu Akan Tenang

Figure
Organization