Topic
Home / Berita / Opini / Jalan Tengah untuk Islam Nusantara

Jalan Tengah untuk Islam Nusantara

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Peta Kesultanan Islam di bumi Nusantara (inet) - catatanristanto.wordpress.com)
Peta Kesultanan Islam di bumi Nusantara (inet) – catatanristanto.wordpress.com)

dakwatuna.com – Lahir dan besar di negeri yang kaya ini adalah salah satu anugerah terbesar dalam kehidupan kita, terlebih saat kita dapati diri sebagai seorang muslim Indonesia yang merupakan komunitas islam terbesar di dunia. Sehingga, tidak ada salahnya ketika ada sekelompok umat muslim Indonesia -karena saking cintanya kepada Indonesia- bertendensi bahwa islam di Indonesia lebih kondusif ketimbang muslim di belahan bumi lainnya.

Sekali lagi ini bicara soal perspektif dan keberpihakan ideologis. Jika kita tilik kembali sejarah kehadiran bangsa asing di nusantara, maka salah satu yang perlu kita garis bawahi adalah sikap pribumi yang terbuka dan toleran terhadap pendatang. Sikap ini pada hakikatnya adalah fitrah lahiriyah, manusia pada lahirnya tercipta manusiawi, dia membutuhkan kedamaian, toleransi, keterbukaan, dan hasrat bekerjasama sebagai makhluk sosial. Dengan begitu, sikap masyarakat Indonesia tersebut –yang sampai sekarang masih membudaya dalam masyarakat kita– tidak lebih sebagai bawaan lahir sebagai manusia. Bukan tradisi. Akan tetapi, fitrah kemanusiaan ini perlahan mulai hilang di belahan bumi manapun, termasuk di nusantara, oleh karena itulah oleh penciptaNya diturunkanlah seorang Rasul untuk membawa risalah kebenaran dan menyempurnakan kemanusiwian (akhlak) yang mulai hilang tersebut.

Kedatangan ulama dan pedagang muslim dari timur-tengah di abad VII ke nusantara, menjadi titik awal terciptanya sebuah pertemuan antara budaya lokal dengan sistem islam yang syumul (menyeluruh menyentuh segala aspek). Pertemuan ini pada akhirnya menciptakan sebuah peradaban baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang suatu hari diklaim sebagai: Islam nusantara.

Membaca Realitas

Islam sesungguhnya hanya satu, namun memiliki corak tampilan yang beragam. Termasuk Islam di Indonesia, hanya saja ia terkreasikan dengan tradisi, seperti: peringatan maulid nabi, manaqib, halal-bilhalal, tawasul, istighosah, berjanji, pembacaan talqin jenazah, selamatan orang mati, pembacaan ushalli, pembacaan qunut shalat shubuh, pakai sarung dan peci, dan beragam tradisi lainnya.

Tradisi inilah yang kemudian menghadirkan beragam perdebatan dan pada kesempatan lainnya menjadi sebuah tuduhan yang mengatakan bawah Islam Indonesia itu adalah Islam yang sinkretisme, tidak murni dan ternoda.

Namun, yang mesti kita sadari bahwa, Islam di Indonesia yang penuh tradisi tersebut, hanyalah hasil pembacaan dan penafsiran terhadap subtansi keberislaman yang ditransformasikan dengan realitas budaya masyarakat Indonesia. Ia tidak mengubah Islam pada sisi theologis (Aqidah dan Fiqh).

Dari hasil pembacaan realitas tersebut, Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Pd dalam bukunya “Fajar baru islam Indonesia?” menyimpulkan lima keunggulan Islam di nusantara. Pertama, sikap moderasi dari segi pemikiran dan tindakan, masyarakat Islam Indonesia memilih berdiri di tengah-tengah pusaran antara fundamentalisme melawan liberalisme. Kedua, toleransi yang tinggi sebagai hasil olah budaya yang multikultural. Ketiga, mampu bertahan memegang prinsip Islam dalam kehidupan pluralisme. Keempat, secara politik lebih demokratis, terbukti dengan dijadikannya Indonesia sebagai prototype demokrasi di dunia islam. Dan, kelima, dakwah menggunakan pendekatan kultural.

Pada dasarnya, kelima keunggulan ini bukanlah milik Islam Indonesia yang orisinil berasal dari kearifan lokal, tapi ia terbentuk atas pertemuan antara realitas budaya masyarakat Indonesia dengan ajaran islam yang menjunjung tinggi kepahaman terhadap islam (al-fahmu), sehingga tidak ada lagi blok yang memisahkan antara fanatisme beragama dan kelonggaran dalam agama, seperti yang terjadi saat ini: fundamentalis vs liberalis. Konsepsi fundamentalis atau liberalis ini pada prinsipnya telah melenceng dari hakikat islam yang rahmatan lil alamiin yang hanya satu, dan islam yang benar adalah yang bisa diterima oleh semua kelompok, kecuali bagi mereka yang mendustakan kebenaran.

Demikian juga dengan ajaran toleransi, islam hadir dalam realitas masyarakat dunia yang beragam, sebuah sistem yang syumul tentu sudah terspesifikasi dengan realitas kehidupan, termasuklah toleransi. Dari sini, dapat kita ambil sebuah hikmah, bahwa Islam hadir tidak untuk berbenturan dengan realitas, justru sebagai penyempurna tatanan kehidupan.

Dalam Islam juga diajarkan untuk menerima konsensus (kesepakatan) yang menghindarkan umat dari kemudhoratan dan mengambil manfaat (kebaikan) sebesar-besarnya. Dan di Indonesia, demokrasi adalah bagian dari konsensus tersebut.

Selanjutnya tentang pendekatan kultural, kita tentu masih mengingat bagaimana dakwah Rasulullah, salah satu nilai yang dapat diteladani yaitu kemampuan Islam berkembang dan menjadi sebuah peradaban tingkat tinggi di tengah-tengah keragaman masyarakat Arab dan sekitarnya. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menyentuh hati masyarakat (dakwah kultural).

Intinya, segala hal keutamaan dan keunggulan Islam Indonesia yang saat ini sedang digaung-gaungkan bukanlah hasil olah manusia Indonesia, melainkan turunan dari sempurnanya ajaran islam yang satu. Dan… jika memang demikian dikatakan bahwa Islam Indonesia lebih baik daripada Islam di belahan bumi lainnya, maka sepatutnyalah kita bersyukur bahwa Allah telah memudahkan kita untuk menerjemahkan makna Islam yang seutuh-utuhnya di tengah keberagaman budaya di bumi nusantara ini. Bukan justru mengingkarinya dengan membuat faksi-faksi islam nusantara, Islam Arab, Islam Asia Tenggara, atau lainnya.

Jika kita simak kembali dalam sejarah islamisasi nusantara, tidak lepas dari peran para walisongo. Metode dakwah yang digunakan ialah pendekatan kultural. Misalnya dengan mendirikan pesantren, penggunaan wayang dalam berceramah, slametan, dan gamelanan. Kesemuanya di desain bukanlah untuk memperbaharui Islam dengan tradisi lokal, jutsru untuk memudahkan masyarakat lokal dalam menerima ajaran Islam. Sekaligus untuk mengislamisasi budaya nusantara.

Isu kontraproduktif

Konsentrasi keumatan kita terpecah karena munculnya perbandingan-perbandingan Islam aliran. Ada kelompok yang merasa terusik padahal tidak diusik. Ada kelompok yang merasa termarjinalkan padahal berada di tengah-tengah. Walhasil, membuat keresahan semu yang terjadi di internal Islam Indonesia. Padahal, seharusnya konsentrasi kita beralih pada rencana-rencana musuh Islam, dengan membangun basis kesatuan gerakan. Fokus kita sudah sepatutnya beralih untuk mengatasi upaya penyesatan dan keragu-raguan dalam Islam. Bukan jutsru membuat keraguan baru di internal Islam.

Munculnya istilah Islam nusantara, seperti yang dikatakan banyak kalangan, tidak akan selesai hanya sebatas istilah. Istilah ini justru akan sangat berpotensi menyumbang isu-isu baru kontraproduktif di kalangan umat muslim Indonesia. Terlebih jika itu menjurus pada pembedaan antara islam di Indonesia dengan kondisi umat Islam di belahan bumi lainnya.

Prof. Azyumardi Azra, dalam sebuah wawancara di BBC beberapa waktu lalu mengatakan, Islam nusantara dibutuhkan oleh masyarakat dunia saat ini, karena bersifat moderat, jalan tengah, seimbang, tidak ekstrimis, inklusif, toleran dan bisa berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta menerima demokrasi. Selanjutnya, menurutnya perbedaan ini terletak pada realisasi sosio-kultural-politik.

Statement ini secara otomatis menstigmatisasi Islam secara keseluruhan, seolah Islam sama sekali tidak toleran, tidak cinta damai, ekslusif, dan ekstrimis. Jika hal ini yang menjadi kunci konsep Islam nusantara, maka dapat dikatakan para pengusungnya telah melalaikan Islam sebagai sistem (manhaj), mereka hanya melihat Islam sebatas pada rijaluhu (realitas kultural masyarakat) – apalagi membandingkannya dengan kondisi sosial-politik masyarakat timur-tengah saat ini. Padahal jika kita melihat Islam secara manhaji, justru nilai-nilai toleransi, kedamaian, inklusifitas, dan jalan tengah – seperti yang dikemukakan – adalah bagian kecil dari ajaran islam yang syumul (sempurna).

Alternatif lain

Oleh karena itu, kita perlu mencari jalan tengah untuk menyudahi polemik Islam nusantara ini. Di antaranya, pertama dengan melihat Islam sebagai sistem budaya masyarakat, budaya di sini bukan dimaknai tradisi lokal, tetapi menjadikan Islam sebagai bagian kehidupan yang tak terpisah, semisal budaya toleransi cerminan dari pengamalan surah Al-kafiruun, budaya mengasihi anak yatim dan membantu orang miskin sebagai cerminan amal surah Al-ma’uun, dan sebagainya.

Kedua, dengan meluruskan logika berpikir kita, tradisi yang hari ini berkembang di nusantara sejak dahulu telah dugunakan sebagai medium dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam. Bukan sebaliknya, menjadikan Islam sebagai medium untuk melestarikan budaya, seperti kehebohan tilawah langgam jawa beberapa waktu lalu. Ketiga, menyadari bahwa, Islam di Indonesia (nusantara) yang benar adalah Islam yang sesuai dengan ahlus sunnah wal-jama’ah. Islam yang terbebas dari takhayul, bid’ah, dan khurafat. Keempat, eksrimisme – baik kiri maupun kanan – harus dipahami sebagai bentuk penyimpangan dari islam itu sendiri, artinya kondisi sosio-kultural yang menampakkan kelompok ekstrimis kiri-kanan tidak mencerminkan Islam. Islam itu rahmatan lil aalamiin, sehingga tidak diperlukan alternatif baru (semacam Islam nusantara) untuk menjadi penengah di antara keduanya.

Kelima, mengingat kembali, bahwa tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran) adalah produk Islam yang syumul, bukan produk baru di tengah-tengah krisis sosial-kultural-politik saat ini. Dan, terakhir kita mesti selalu mengingat bahwa, budaya Islam adalah budaya yang mendahulukan syariat ketimbang tradisi, tapi bukan berarti melenyapkan keberadaan tradisi.

Pada akhirnya, dengan melihat Islam sebagai sistem bukan sebagai bagian dari tradisi, maka kita sebetulnya tidak lagi memerlukan ide Islam nusantara. Namun, jika tetap keukeh melihat Islam sebagai tradisi, bukan sebagai syariat (sistem), maka ide islam nusantara tidak relevan menjadi sebuah solusi peradaban. Karena Islam tetaplah Islam yang satu dan sempurna. Tidak mungkin jika hanya menghadirkan tradisi untuk mengatasi beragam persoalan yang kompleks.

Semoga dengan adanya polemik semacam ini, semakin menambah semangat pembaruan kontruktif pemikiran Islam, guna menerjemahkan Islam yang – seperti diungkapkan oleh KH. Hasyim Asy’ari – pada prinsipnya hadir menjadi solusi peradaban dunia yang lebih kondusif bagi persemaian keadilan, melindungi hak, perbaikan kualitas hidup, dan kemakmuran masyarakat. Islam yang rahmatan lil‘aalamiin. []

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Gubernur Mahasiswa FKIP Unila 2013-2014, Kepala Kebijakan Publik PD KAMMI BandarLampung, tertarik dengan dunia gerakan, kepenulisan, dan pendidikan. Saat ini, selain aktif di organisasi, ia juga aktif sebagai staf pendidik di salah satu sekolah islam terpadu di Bandar Lampung.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization