Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Pesantren Menjawab Problematika Umat

Pesantren Menjawab Problematika Umat

Pondok Pesantren Al Ihsan Boarding School habis terbakar tengah malam tadi, Selasa (12/5/15).
Pondok Pesantren Al Ihsan Boarding School habis terbakar tengah malam, Selasa (12/5/15).

dakwatuna.com – Kita adalah juru dakwah sebelum menjadi siapapun. Dakwah tak mungkin dipisahkan dalam kehidupan seorang muslim. Dan karena dakwah itulah, seorang muslim wajib memahami agamanya dengan baik dan komprehensif sehingga mereka mampu melaksakan kewajiban dakwah yang mesti ia pikul.

Seorang juru dakwah harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas dakwahnya memiliki konsekuensi sebagai resiko yang terencana. Sehingga resiko sebesar apapun tidak akan menghentikan tekad dan perjuangannya. Begitu terkembang, perahu dakwah terus berlayar menuju tujuan amal Islami apapun resikonya.

Inilah yang lazim diteladankan para ustadz dan kiai dalam dunia pesantren. Para santri belajar tentang keteguhan tekad, ketulusan sikap dan kemuliaan perilaku dari guru-guru mereka di sana. Mereka menyimak, mendengar, meresapi dan menghayati seluruh nilai-nilai tersebut dalam interaksi 24 jam yang kemudian melekat menjadi sebuah karakter.

Pesantren Al-Ihsan dan Hikmah Musibah Kebakaran

Kebakaran erat hubungannya dengan bencana atau musibah. Musibah kebakaran Pesantren Al-Ihsan belum lama ini cukup menghentak kesadaran kita semua. Rasulullah SAW bersabda: Apabila kalian melihat kebakaran bertakbirlah, karena sesungguhnya takbir dapat memadamkannya (Riwayat Ibnu Asakir)

Hadits ini menganjurkan kepada kita bertakbir bila melihat kebakaran, niscaya api akan padam. Dianjurkan demikian karena setan berasal dari api, sedangkan dalam hadits lain disebutkan, apabila suara adzan diserukan maka setan lari terbirit-birit dengan nafas yang terengah-engah. Di antara lafadz adzan terdapat takbir. Oleh karena itu, bila terjadi kebakaran hendaklah bertakbir, insya Allah dengan seizin-Nya kebakaran akan padam.
Semangat takbir dari hadits di atas hendaknya menjadi jiwa dari pembenahan kembali Pesantren Al-Ihsan. Pembenahan yang tidak saja mencakup aspek fisik semata namun juga aspek spiritual. Pembenahan aspek fisik kita perlu semaksimal mungkin menangkal bencana dan musibah dengan berbagai sarana dan prasarananya. Misalnya, merancang masterplan pembangunan yang komprehensif, tata ruang  yang bisa mereduksi kerugian jika terjadi bencana, membangun drainase yang baik, dan mengelola perangkat pencengahan dan peringatan dini dari bahaya kebakaran serta kesiapsiagaan penghuninya.

Pembenahan spiritual (ruhiyah) agar setiap bencana dapat disikapi dengan sabar dan sebagai sarana mengokohkan tauhid. Tidak ada di kalangan manusia manapun yang suka kepada bencana, karena bencana sangat menyusahkan. Ada yang ditimpa bencana sekali-kali saja, ada yang selalu, ada yang ringan, ada yang berat, ada yang terjadi pada dirinya atau keluarganya yang terpenting adalah bagaimana setiap musibah bisa disikapi sebagai bentuk takdir dan ujian  Allah SWT bisa disikapi penuh kesadaran.

Saya memulai analisa ini dengan, insya Allah, syahidnya dua orang santri Pesantren Al-Ihsan akibat kebakaran yang menimpa gedung asrama tempat mereka bermukim. Adalah Arsadi Robbani dan Musa Alimul Haq, sosok anak muda yang begitu menggugah kita yakni sosok  yang tumbuh berkembang dalam ketaatan kepada Allah swt.

Setidaknya ada tiga alasan argumentatif yang melatarbekangi diambilnya sosok dua santri ini menjadi jiwa pembenahan Pesantren Al-Ihsan: pertama, kedua santri telah kami kenal aktivitas kesehariannya. Di mana mereka bermukim 24 jam di sana sehingga informasi mengenai keduanya mudah untuk diakses. Kedua, mereka adalah para santri yang sedang menimba ilmu, baik akademis, life skill maupun keagamaan. Ketiga, mereka adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh dewasa di mana godaan hingar- bingar kehidupan kawula muda sangat terbuka, namun mereka memilih berada di pesantren untuk berkhidmat pada agamanya.

Ini merupakan fenomena langka di mana terdapat sekumpulan pemuda berada di majelis-majelis ilmu apatah lagi berada di pesantren untuk mengkhususkan diri belajar agama. Sebuah tantangan berat di tengah apatisme publik akan lahirnya generasi muda berkualitas yang mampu memakmurkan negara dan bangsa yang besar ini.

Di sisi lain, agama sebenarnya telah memberikan jawaban konkrit dan lugas atas masalah tersebut yakni mengalihkan energi besar yang dimiliki anak-anak muda pada aktivitas positif dan syarat nilai-nilai spiritualitas.

Pesantren, sarana pembentuk pribadi unggul

Hingga saat ini, umat Islam masih meletakkan harapan besar pada dunia pesantren sebagai lembaga yang mampu memberi solusi terhadap permasalahan pembinaan generasi muda. Sementara model pendidikan kontemporer mulai ‘menggoda’ dunia pesantren yang sebenarnya telah memiliki ‘keunggulan’ dalam metode pendidikan khasnya.
Masuknya model pendidikan kontemporer yaitu memasukkan kurikulum baru (di luar kajian Islam) dan mengurangi materi pendidikan agama (Islam.red) yang justru berakibat pada terjadinya penurunan kualitas santri dalam melakukan pendalaman agama (tafaqquh fi al-din). (Sarmidi – Dilema Pendidikan Pesantren). Sebuah dilematika pendidikan yang harusnya tidak boleh terjadi dan segera mendapat jawaban jitu.

Dalam pandangan saya, dunia pesantren harus melakukan beberapa langkah strategis yang sangat substansi. Pertama, pesantren harus memahamkan dirinya dengan benar tentang tujuan utama keberadaannya. Kedua, pesantren tidak boleh mengalami ‘keterkejutan budaya’ dalam menghadapi arus gelombang model pendidikan kontemporer. Dan ketiga,  pesantren harus percaya diri dan mampu mengokohkan eksistensinya dalam mengambil peran di masyarakat yakni dengan aktif menghasilkan lulusan yang berkualitas unggul secara kompetensi.

Di titik inilah, pesantren harus berani tampil secara cerdas dan hadir sebagai problem solver. Kecerdasan ini terkait dengan kehandalan manajemen yang dikomandani oleh Pemimpin yang kuat dan berkarakter (Strong Leader), manajemen yang sistematis, sistem pendidikan yang terpadu yang akan menjadi model untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Problem solver. Inilah yang dilakukan pesantren di masa lalu. Para santri adalah sosok penerjemah peran pesantren dalam memberikan solusi atas problematika di tengah masyarakatnya. Salah satu yang bisa kita jadikan referensi adalah bagaimana kiprah KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyyah atau KH. Hasyim Ashari dengan Nahdlatul Ulamanya. Mereka hadir terus menerus menjaga umat Islam melalui sekolah dan pesantren yang mereka dirikan hingga saat ini. Dari sana pula hadir santri-santri yang luar biasa besarnya dalam percaturan kehidupan umat Islam.

Tentu ada pertanyaan mendasar, mengapa para Kiai dulu dan hingga detik ini mampu menghadirkan kader-kader yang kiprahnya demikian luar biasa. Lihat saja, bagaimana Pondok Modern Gontor yang alumninya telah merambah ke manca negara bahkan menjadi tokoh-tokoh penting di negeri ini.

Jawabannya, karena di pesantrenlah para santri dididik dan dibentuk untuk memiliki kedewasaan moral di usia baligh. Dewasa di usia masih belia, saat banyak orang dewasa bersifat kekanak-kanakan dalam pemikiran dan kematangan jiwa.

Jiwa Pesantren Al-Ihsan

Kedewasaan moral di usia baligh inilah yang menjadi keunggulan pesantren dalam menghadapi derasnya tantangan kehidupan modern. Kedewasaan di usia baligh bisa diindikasikan sebagai pribadi santri yang berpenampilan sederhana, memiliki ketekunan untuk memelihara shalatnya, memiliki interaksi yang kuat dengan kitab sucinya, memiliki sikap kewaspadaan yang tinggi dan berakhlak mulia.

Tidak mudah untuk membentuk karakter anak-anak usia baligh atau kita sebut saja ABG (Anak Baru Gede) sebagaimana yang dimaksud dalam kedewasaan moral ini. Mereka harus memiliki sifat-sifat dasar yang harusnya sudah dikenalkan dan ditanamkan oleh orang tuanya sejak dini. Namun, kebanyakan orang tua apalagi di zaman yang berteknologi tinggi saat ini, kesadaran untuk menanamkan nilai-nilai substansi kepada jiwa anak sering kali luput dari pengamatan mereka. Kesibukan, itulah yang kerap menjadi argumentasi utama atas kealpaan tersebut.

Namun, ‘kealpaan’ atas pembentukan karakter utama ini tidak boleh berlaku, apalagi sengaja dilupakan bagi pesantren. Menjunjung nilai-nilai kebenaran (siddiq), menjadi anak yang bisa dipercaya (amanah), tertanam jwa dan pikiran yang cerdas (fathanah) dan memiliki tabiat yang sangat komunikatif (tabligh) adalah nilai-nilai pendidikan utama yang harus terpancar dari pribadi setiap santri .

Dalam tekad itulah, Pesantren Al-Ihsan kemudian merangkai sebuah slogan yakni Ihsan Fikri, Ihsan Akhlak, dan Ihsan Qolbu. Slogan yang berupaya terus menerus diingatkan kepada setiap santri bahwa mereka harus selalu dalam kondisi ‘terbaik’ dalam berpikir, berakhlak/ berperilaku dan bersikap. Agar dalam kondisi ‘terbaik’ inilah, seorang santri akhirnya mampu menerima nilai-nilai kebenaran dengan lapang dada penuh kesadaran. Mereka pun hadir sebagai insan yang layak dan patut untuk dipercaya. Mereka juga memiliki kecerdasan dalam analisa sehingga bisa memberikan solusi bagi masyarakatnya serta berjiwa komunikatif sehingga mampu memahamkan orang lain dengan hikmah yang memuliakan.

Dengan cara inilah, maka pesantren akan mampu hadir sesuai dengan maksud keberadaannya yakni menjadi ‘jawaban’ atas problematika umat yang demikian luas, berat dan kompleks tersebut. Semoga, dengan mendapat pertolongan, taufik dan hidayah Allah sajalah, kita semua berharap para santri yang telah ‘lulus’ dari seluruh pesantren di negeri ini menjadi apa yang telah didambakan umat Islam dunia sejak lama. Wallahu’alam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Meneguhkan Pesantren Tanpa Rokok

Figure
Organization